Kamis, 20 November 2008

KONSEP EKSISTENSIALISME SØREN KIERKEGAARD




Oleh: Blasius B. Baene



I. Pendahuluan

Bangkitanya idealisme Jerman merupakan suatu hantaman terhadap individu, karena para filsuf idealisme hanya menggeluti persoalan-persoalan yang bersifat “universal.” Artinya, para filsuf idealisme membangun satu sistem epistemologi yang berorientasi pada rasio murni. Rasio murni bukanlah produk dari intelektual individu melainkan dasar dari embrio seluruh realitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para filsuf idealisme melihat segala realitas dalam perspektif universal dan abstrak.

Bertitik tolak dari realitas yang demikian, Søren Kierkegaard[1] membangun satu sistem filsafat yang tidak menggumuli persoalan-persoalan universal dan abstrak, melainkan persoalan-persoalan konkrit sekaligus menyentuh wilayah individu. Sebab, menurut Kierkegaard, persoalan-persoalan praktis sehari-hari itulah yang konkrit dan menjadi persolan eksistensial manusia.[2] Bagi Kierkgaard, yang konkrit itulah yang menjadi titik tolak permenungan baru tentang makna keberadaan manusia.[3] Atas dasar inilah Kierkegaard mencetuskan konsep tentang eksistensialisme. Bagaimana Kierkegaard memahami manusia sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit akan penulis bahas dalam paper ini.


II. Latar Belakang Pemikiran Søren Kierkegaard

Cetusan eksistensialisme yang digaungkan oleh Kierkegaard bertitik tolak dari bangunan filsafat idealisme Jerman. Eksistensialisme merupakan suatu gugatan terhadap filsafat idealisme yang cenderung mempersoalkan realitas secara universal dan mengabaikan eksistensi individu. Secara khusus epistemologi Kirkegaard merupakan suatu usaha untuk mendobrak “abstraksionisme” Hegel yang memutlakan Idea abstrak atau Roh sebagai kenyataan.[4] Kierkegaard melihat bahwa ide “abstraksionisme” Hegel merupakan suatu pereduksian terhadap manusia konkrit atau individu bahkan kesadaran manusia konkrit hanyalah sebuah dialektika dalam roh.[5] Oleh karena itu, Kierkegaard melihat Hegelianisme sebagai ancaman besar terhadap individu, karena individu dilihat tidak lebih dari sekadar titik atau percikan dalam sejarah.[6] Dengan kata lain, Hegel mereduksi personalitas atau eksistensi manusia yang konkrit ke dalam realitas yang abstrak. Padahal, menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai “Aku umum” tetapi sebagai “aku individual” dan tidak diasalkan kepada yang lain. Hanya manusia yang bereksistensi. Bereksistensi berarti bertindak sesuai dengan pilihan saya sebagai individu yang bereksistensi.[7] Eksistensi manusia bukanlah suatu “ada” yang statis, melainkan suatu “menjadi” yang di dalamnya terkandung suatu perpindahan yaitu dari “kemungkinan” ke “kenyataan.” Oleh karena itu, Kierkegaard membedakan tiga tahap kehidupan eksistensial, yaitu tahap estetis, tahap etis dan tahap religius.


2.1. Konsep Eksistensi Menurut Søren Kierkegaard

Cetusan “eksistensi” yang dipondasikan oleh Kierkegaard bertitik tolak dari gagasannya tentang manusia sebagai individu atau persona yang bereksistensi dan konkrit. Ia melihat bahwa hal yang paling mendasar bagi manusia adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya.[8] Menurut Kierkegaard, eksistensi hanya dapat diterapkan kepada manusia sebagai individu yang konkrit, karena hanya aku individu yang konkrit ini yang bereksistensi, yang sungguh-sungguh ada dan hadir dalam realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, aku yang konkrit ini tidak dapat direduksi kepada realitas-realitas lain, sebab jika aku yang konkrit ini direduksi ke dalam realitas-realitas yang lain itu, maka realitas diriku yang sesungguhnya sebagai individu yang bereksistensi tercampur dengan realitas-realitas itu. Dengan demikian, aku individu yang konkrit ini tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan dan mewujudkan diriku sebagaimana adanya karena aku tergantung kepada realitas-realitas itu. Ketergantunganku kepada realitas-realitas itu membuat aku tidak bisa untuk merealisasikan diriku sebagaimana aku kehendaki. Padahal menurut Kierkegaard, eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya.[9]

Menurut Kierkegaard, bereksistensi bukan berarti hidup dalam pola-pola abstrak dan mekanis, tetapi terus menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal dan subjektif.[10] Dengan kata lain, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan soal komitmen total seluruh pribadi individu. Berangkat dari kebebesan sebagai corak bereksistensi, Kierkegaard dengan demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas yang abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan konkrit. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan, hanya aku yang konkrit ini yang dapat mengambil keputusan atas diriku sendiri dan bukan orang lain. Orang lain tidak berhak untuk menentukan pilihanku dalam mengambil suatu keputusan atas apa yang aku lakukan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard, barangsiapa yang tidak berani mengambil keputusan, maka ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Hanya orang yang berani mengambil keputusanlah yang dapat bereksistensi karena dengan mengambil keputusan atas pilihannya sendiri, maka dia akan menentukan kemana arah hidupnya.[11]


2.2. Dialektika Eksistensial Søren Kierkegaard

Dialektika eksistensial yang dilontarkan oleh Kierkegaard berangkat dari gugatannya terhadap pemahaman Hegel tentang dialektika itu sendiri. Sebelum masuk kepada gagasan Kierkegaard tentang dialektika eksistensial, penulis menguraikan terlebih dahulu bagaimana pandangan Hegel tentang dialektika.

Salah satu metode yang digunakan oleh Hegel dalam menguraikan filsafatnya adalah metode “dialektika.” Hegel menggunakan metode dialektika bukan hanya sekadar untuk menguraikan filsafatnya, tetapi dengan menggunakan metode ini, Hegel mau mencetuskan bahwa kenyataan atau realitas merupakan suatu proses dialektis. Proses dialektis dalam pemikiran Hegel merupakan produk dari realitas pengalaman hidup sehari-hari melalui dialog dengan orang lain. Proses dialektis yang dipahami oleh Hegel dapat kita lihat dari argumen yang dilontarkan oleh Hegel. Misalnya: apabila dalam sebuah dialog/percakapan terdapat sebuah pendapat dan pendapat itu ditentang oleh pendapat lain, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan. Menurut Hegel, apabila ada oposisi semacam ini, kita berusaha untuk mendamaikan keduanya dengan sebuah pendapat yang lebih lengkap. Tahap ini menurut Hegel disebut sebagai proses dialektis, yaitu tahap tesis, sintesis dan antitesis.[12]

Tesis Hegel tentang dialektika ditentang oleh Kierkegaard dengan asumsi bahwa tegangan-tegangan kunci dalam eksistensi manusia tidak dapat didamaikan melalui pemikiran proses rasionalisasi dan dialektis.[13] Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa apabila Hegel memahami Roh Mutlak sebagai proses dialektis, maka Kierkegaard memahaminya sebagai suatu perkembangan kehidupan eksistensial individu. Selain tidak setuju dengan dialektika Hegel, Kierkegaard juga tidak menerima pemikiran Hegel yang cenderung berpikir baik... ataupun... . Menururt Kierkegaard, peralihan dari satu tahap ke tahap lain tidak dilakukan dengan pemikiran melainkan dengan keputusan kehendak atau pilihan bahkan dengan suatu lompatan. Oleh karena itu, Kierkegaard melukiskan kehidupan eksistensial manusia dalam tiga tahap, yaitu tahap estetis, tahap etis dan tahap religius.


2.2.1. Tahap Estetis

Terminologi estetis berasal dari kata Yunani, yang berarti mengindrai, mencecap. Menurut Kierkegaard, pada tahap ini, individu diombang-ambingkan oleh dorongan-dorongan indrawi dan emosi-emosinya. Akibatnya, individu yang berada dalam tahap ini tidak mencapai suatu kesatuan batiniah yang terungkap dalam satu pendirian dan kematangan pribadi. Dengan kata lain, individu masih dihadapkan pada realitas-realitas perasaan yang menyenangkan tanpa memperhitungkan apakah perasaan itu baik atau tidak. Pada tahap ini, individu memiliki keinginan yang besar untuk menikmati seluruh pengalaman emosi dan nafsu. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard tidak ada ukuran-ukuran moral yang umum atau keyakinan iman yang ditetapkan untuk membatasi ruang gerak individu. Maka salah satu persoalan yang ditakuti oleh individu pada tahap ini adalah rasa tidak enak dan kebosanan.

Kendatipun tahap ini merupakan tahap rendah dalam eksistensi manusia, namun tahap ini tetap disebut sebagai tahap eksistensial, karena pada tahap ini setiap individu memiliki pilihan bebas atas situasi-situasi yang dia hadapi. Bagaimana memahami pilihan ini, Kierkegaard menampilkan tiga pahlawan estetis dari kebudayaan Barat, yaitu Don Juan seorang tokoh dalam opera Mozart, Faust seorang tokoh ciptaan Goethe, dan Ahasuerus seorang Yahudi yang dalam pengembaraannya tidak percaya kepada Allah maupun manusia. Menurut Kierkegaard, ketiga tokoh ini merupakan perwakilan dari rasa kebosanan dan keputusasaan. Misalnya: Don Juan memiliki rasa kebosanan keputusasaan karena apa yang dia menikmati terus menerus terulang. Demikian pula dengan Faust yang menghadapai berbagai tantangan merasa ragu apakah dia mampu untuk menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Sedangkan Ahasueres menurut Kierkegaard merupakan personifikasi dari keputuasasaan karena ia memiliki realitas hidup yang tidak jelas.

Dari ketiga contoh di atas, Kierkegaard melihat bahwa keputusan merupakan tahap akhir dari sebuah pilihan eksistensi manusia. Artinya, ketika orang berada dalam situasi kebosanan dan keputusasaan, maka orang itu memiliki kebebasan untuk berpindah kepada eksistensi yang baru. Tahap ini disebut sebagai tahap etis.


2.2.2. Tahap Etis

Tahap etis merupakan suatu tahap di mana individu membuat suatu pilihan bebas atau sebuah “lompatan eksistensial.” Lompatan eksistensial mengandaikan bahwa individu mulai secara sadar memperhitungkan atau memilah-milah dan menggunakan kategori yang baik dan yang jahat dalam bertindak. Kierkgaard melukiskan peralihan dari eksistensi estetis ke eksistensi etis seperti orang yang meninggalkan kepuasan nafsu-nafsu seksualnya yang bersifat sementara dan masuk ke dalam status perkawinan dengan menerima segala kewajibannya.[14] Pada tahap ini individu dapat menguasai dan mengenali dirinya. Pengenalan dan penguasaaan diri menghantar individu untuk menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan ukuran-ukuran moral yang bersifat universal. Dengan demikian, kehidupan seorang individu pada tahap ini ditandai oleh pilihan-pilihan konkrit berdasarkan pertimbangan rasio.

Tetapi menurut Kierkegaard, kendatipun manusia telah berusaha untuk mencapai asas-asas moral universal, namun, manusia etis masih terkungkung dalam dirinya sendiri, karena dia masih bersikap imanen, artinya mengandalkan kekuatan rasionya belaka.[15] Pada tahap ini, manusia menyadari keadaannya yang tragis. Kierkegaard menampilkan Sokrates sebagai “pahlawan tragis.” Menurut Kierkegaard, kendatipun Sokrates mengakui kelemahan-kelemahan manusia, tetapi dia tidak memahami dosa karena kelemahan-kelemahan manusia dapat diatasi dengan kehendak atau dengan ide-ide belaka. Sokrates menyangkal dirinya demi asas-asas moral universal. Oleh karena itu, individu pada tahap ini tidak memahami bahwa dasar-dasar eksistensinya terbatas. Ia juga tidak menjumpai Paradoks Absolut kecuali kalau dia memiliki realitas kehidupan yang mendalam sehingga dia ditantang untuk melompat ke eksistensi yang baru, yaitu tahap religius.


2.2.3. Tahap Religius

Tahap religius merupakan tahap tertinggi dari eksistensial manusia. Dikatakan demikian karena tahap ini tidak lagi menggeluti hal-hal yang konkrit melainkan langsung menembus inti yang paling dalam dari manusia,[16] yaitu pengakuan individu akan Allah sebagai realitas Yang Absolut dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan dari Allah. Pada tahap ini, manusia religius membiarkan diri terkena oleh mata petir rahmat Tuhan dan dengan iman kepercayaan yang besar ia mempertaruhkan seluruh kehidupannya demi Allah. Ia mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus.[17] Tetapi, Kierkegaard melihat bahwa iman kepercayaan Kristiani itu bersifat paradoks kendatipun hidup sebagai kristen merupakan cara yang paling tinggi bagi manusia.

Pada poin ini, Kierkegaard menampilkan Abraham[18] sebagai tokoh orang beriman sejati kepada Allah. Menurut Kierkegaard, ketika Abraham mengorbankan putranya Ishak, pada saat itu dia berhadapan dengan realitas paradoks, yaitu di satu pihak dia menyadari keterbatasannya sebagai manusia tetapi melalui keterbatasan itu Abraham membangun satu relasi intim dengan Yang Absolut. Pada tataran inilah Abraham benar-benar meninggalkan tahap etis dan melompat kepada tahap religius, yaitu langsung berhadapan dengan Yang Absolut, dengan Allah yang berpribadi, yang perintah-perintah-Nya bersifat mutlak dan tidak dapat diukur dengan akal manusia.[19]

III. Tinjauan Kritis Atas Konsep Eksistensialisme Søren Kierkegaard

Eksistensialisme yang dicetuskan oleh Kierkegaard merupakan suatu aliran filsafat yang hendak memperjuangkan manusia sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit. Eksistensialisme berasal dari kata “eks” yang berarti keluar dan “sistensi” dari kata “eksistere” yang berarti tampil, menempatkan diri, berdiri, ialah cara manusia berada di dunia ini.[20] Dari pengertian ini dapat kita pahami bahwa eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang menggeluti persoalan-persoalan yang berkaitan dengan eksistensi terutama eksistensi manusia. Manusia dilihat bukan dari esensinya melainkan eksistensinya. Oleh karena itu, kaum eksistensialis khususnya Kierkegaard melihat manusia sebagai individu yang bereksistensi tidak dapat direduksi ke dalam realitas-realitas lain, karena eksistensi bukanlah suatu persona yang universal melainkan individual.

Konsep eksistensialisme yang dicetuskan oleh Kiekregaard menurut penulis mengakibatkan dua hal, yaitu positif dan negatif. Secara positif, Kierkegaard membangun satu sistem filsafat yang menempatkan manusia sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit. Oleh karena itu, manusia tidak pernah dapat direduksi ke dalam realitas-realitas universal dan abstrak, karena apabila manusia direduksi ke dalam realitas-realitas abstrak dan universal, maka manusia tidak pernah memiliki kebebasan untuk merealisir atau mewujudkan dirinya sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit. Hal ini disebabkan oleh karena manusia tergantung kepada realitas-realitas itu sendiri. Dengan kata lain, realitas-realitas itu memiliki hukum-hukumnya sendiri dan ketika hukum-hukum itu diterapkan kepada individu yang bereksistensi, maka individu itu mau tidak mau harus mengikuti hukum-hukum itu. Ia tidak pernah merealisir diri sebagaimana adanya. Dengan demikian, Kierkgaard menyadarkan kita bahwa kita adalah individu yang eksis, pribadi-peribadi yang sadar bukan sekadar sebagai bagian dari suatu kerumunan, angka-angka dalam suatu kelompok atau benda-benda dalam suatu kumpulan melainkan sebagai pribadi yang bereksistensi.[21]

Sebagai dampak negatif, Kierkegaard tidak memperhatikan realitas bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk relasional. Sebagai makhluk relasional, manusia tidak bisa lepas dari realitas sosial bahwa manusia hidup dalam relasi dengan orang lain. Manusia tidak pernah hidup dalam kesendirian. Manusia selalu membutuhkan dan membangun relasi dengan orang lain. Oleh karena itu, menurut penulis manusia tidak cukup hanya bereksitensi untuk dirinya sendiri tetapi manusia bereksistensi untuk dirinya sendiri tanpa mengabaikan orang lain sebagai bagian dari kehadirannya sebagai individu. Dengan kata lain, Kierkegaard kurang menghargai hidup bersama dengan orang lain.



IV. Relevansi

Bertitik tolak dari ketiga tahap eksistensial manusia, penulis melihat bahwa apa yang digagas oleh Kierkegaard masih sangat relevan untuk zaman sekarang terutama bagaimana manusia sebagai individu secara bebas menentukan pilihannya dalam mengambil sebuah keputusan. Dalam mengambil keputusan, manusia sebagai individu tidak pernah bergantung kepada dorang lain. Orang lain tidak berhak atas setiap keputusan individu untuk dirinya sendiri, tetapi individu tidak bisa mengabaikan kehadiran orang lain dalam kehidupannya.




Blasius B. Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

DAFTAR PUSTAKA

Barret, William, Irrational Man, A Study in Existential Philosophy, Heinemann: London

------------------ Melbourne Toronto, 1961.


Budi Hardiman, F., Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta:

----------------- Gramedia, 2007.


Dagun, Save M., Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.


Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.


-----------------------, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1975.


Hammersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1984.


Martin, Vincent, O.P., Filsafat Esksistensialisme (Kierkegaard, Sartre, Camus),

----------------- Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.


Ryadi,Agustinus, Filsafat Barat Modern (Diktat kuliah), Malang: STFT Widya Sasana

------------------ Malang, 2007.


Setiaardja, A. Gunawan, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan

-------------------, Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990.


Swenson, David F. dan Walter Lowrie, (terj)., Søren Kierkegaard: Concluding

--------------------, Unscientific Postscript, Princeton: Princeton University Press, 1974.


Van der Weij, P.A., Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Jakarta: Gramedia, 1988.



[1] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007, hal. 244-246. Søren Kierkegaard lahir pada tahun 1813 di kota Kopenhagen, Denmark. Ia lahir sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Kierkegaard mewariskan sifat melankolik dan religius dari ayahnya. Pada tahun 1830, ia belajar di fakultas teologi Universitas Copenhagen untuk menyenangkan ayahnya karena Kierkegaard sendiri tidak berminat dalam bidang teologi. Selain belajar teologi, ia juga belajar filsafat dan kesusasteraan. Setelah belajar teologi, Kierkegard mulai melancarkan kritik terhadap agama Kristen di Denmark yang kemudian menghantar dia kepada sikap tidak percaya bahkan ia kehilangan kepercayaan pada patokan-patokan moral. Setelah ayahnya meninggal, Kierkegaard mengalami suatu pertobatan religius dan sempat bertunangan dengan Regina Olsen, tetapi dia memutuskan pertunangan itu dan memilih untuk hidup dalam kesendirian. Pada tahun 1855, Kierkgaard meninggal dunia. Beberapa karya Kierkgaard yang terkenal adalah antara lain: Om Begrebet Ironi (The Concept of irony), yaitu sebuah disertasi tentang konsep ironi, Either Or yang menyatakan sikap hidupnya (atau... atau...), The Concept of Dread, Philosophical Fragemnts, Stages on Life’s Way, dan Concluding Unscientific Postscript, Attack upon Christendom.

[2] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 124.

[3] P.A. Van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Jakarta: Gramedia, 1988, hal. 141.

[4] F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 248.

[5] Ibid.,

[6] P.A. Van der Weij, Op. Cit., hal., 139.

[7] Harun Hadiwijono, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1975, hal. 83.

[8] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 50.

[9] Ibid.,

[10] F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 250.

[11] Harun Hadiwijono, Ibid.,

[12] F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 181.

[13] Agustinus Ryadi, Filsafat Barat Modern (Diktat Kuliah), Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2007, hal. 110

[14] Harun Hadiwijono, Op. Cit., hal. 125.

[15] F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 253.

[16] Save M. Dagun, Op. Cit., hal. 52.

[17] P.A. Op. Cit., hal. 142.

[18] William Barret, Irrational Man: A Study in Exsistential Philosophy, Heinemmann: Melbourne Toronto, 1961.

[19] Harun Hadiwijono, Op. Cit., hal. 126-127.

[20] A. Gunawan Setiaardja, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 59.

[21] Vincent Martin, O.P. Filsafat Eksistensialisme (Kierkegaard, Sartre, Camus), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 25.



Minggu, 17 Agustus 2008

TELAAH TENTANG FUNGSIONALITAS KONFLIK DALAM MASYARAKAT MENURUT LEWIS A. COSER


Oleh: Blasius Baene

I. Pendahuluan

Konflik atau perselisihan yang terjadi dalam masyarakat, seringkali dianggap sebagai suatu masalah yang sangat kompleks, di mana kedua belah pihak yang sedang bertikai atau berselisih tidak mampu tidak mampu menciptakan suatu perdamaian, baik dalam relasi maupun dalam kehidupan sosial lainnya. Lewis A. Coser, seorang ahli sosioligi terkenal dari Amerika justru mempunyai pandangan lain terhadap konflik. Coser berpendapat bahwa konflik justru memiliki “fungsionalitas” positif dalam masyarakat. Hal ini dia gagas dalam bukunya yang berjudul: “The Functions of Social Conflict.”

Lewis A. Coesr lahir di Berlin-Jerman pada tahun 1913 dan memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Columbia. Kemudian, selama beberapa waktu, dia mengajar di universitas Chicago. Sebagian besar karir akademisnya dihabiskan di universitas Brandeis. Sejak tahun 1968, Coser menjadi Profesor luar biasa untuk bidang sosiologi di universitas negeri New York dan Stony Brook.

II. Pokok Masalah

Salah satu teori sosiologi yang berpengaruh di Amerika pada tahun 1950-an adalah “teori struktural fungsional.” Teori ini menekankan proses-proses sosial yang didasarkan pada konsensus nilai dan memandang masyarakat dari sisi solidaritas, integrasi, dan keseimbangan. Namun, para Sosiolog menganggap teori ini sebagai salah satu teori yang menutup mata terhadap konflik yang selalu melekat dalam setiap masyarakat. Dalam hal ini, teori fungsional struktural tidak melihat realitas bahwa masyarakat sesungguhnya dipenuhi oleh berbagai ketegangan dan selalu berpotensi untuk melakukan konflik. Teori fungsional cenderung melihat masyarakat berada dalam suatu posisi yang aman, damai, tentram, bersatu tanpa adanya konflik di antara mereka.

Melihat gejala konflik yang kerapkali terjadi dalam struktur sosial masyarakat, para ahli sosiologi menyumbangkan berbagai gagasan atau ide-ide untuk memecahakan aneka konflik yang ada dalam masyarakat. Misalnya: G. Simmel dan Max Weber mengatakan bahwa konflik tidak dapat dihindarkan dalam realitas sosial masyarakat, tetapi konflik memainkan peranan positif dalam mempertahankan masyarakat, yaitu memupuk rasa pemersatuan. Tetapi setelah mereka, kata “konflik” tidak terdengar lagi kecuali dalam arti yang negatif. Artinya, ada suatu paradigma baru yang menuntun para Sosiolog untuk memmberi top-ranking terhadap konsep “kesesuaian paham” atau konsensus sebagaimana terdapat dalam teori struktural fungsional. Sedangkan “konflik atau perselisihan” dilihat sebagai destruktif atau patologi masyarakat yang kemudian menghancurkan struktur relasi sosial masyarakat itu sendiri.

III. Pembahasan

Apa yang terjadi dalam tahun 1950-an mendorong Lewis A. Coser untuk menganalisa konflik yang dianggap sebagai destruktif atau patologi masyarakat oleh penganut teori struktural fungsionalisme. Dalam hal ini Coser mengawali pendekatannya dengan kecaman terhadap nilai atau konsensus normatif, keteraturan dan keselarasan.

Dalam kajian sosiologisnya, Coser berpendapat bahwa tidak selamanya konflik berkonotasi negatif, tetapi sebaliknya konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat menjadi suatu proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan kelompok sosial. Fungsi konflik yang positif dikemukakan oleh Coser dalam dinamika kelompok-dalam (in-group) versus hubungan kelompok luar (out-group). Kekuatan solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam, akan meningkat karena permusuhan atau konflik yang terjadi dengan kelompok luar bersifat lebih besar. Kemudian, Coser melihat bahwa konflik yang terjadi dalam suatu kelompok bersifat positif, karena dengan adanya konflik yang tidak terelakkan antarindividu, terciptalah suatu keinginan antarindividu untuk membangun sebuah dialog guna meningkatkan kesejahteraan, dukungan sosial dan lain sebagainya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap kelompok masyarakat konflik selalu ada, karena masing-masing pihak seringkali didorong oleh berbagai kesalah-pahaman antara satu dengan yang lainnya. Bahkan, Coser mengakui bahwa semua hubungan sosial pasti memiliki tingkat antagonisme tertentu, ketegangan atau perasaan-perasaan negatif. Coser mengatakan bahwa salah satu alternatif untuk menghilangkan konflik adalah dengan menggunakan sistim “katup penyelamat” (savety value), yaitu suatu mekanisme yang dipakai untuk mempertahankan kelompok yang menghadapi konflik tanpa merusak hubungan kelompok itu sendiri. Misalnya, rasa kekecewaan, marah terhadap kelompok dapat disalurkan melalui lelucon, gambar atau lukisan dan lain sebagainya. Coser juga melihat konflik sebagai suatu stimulus untuk membentuk integrasi antarkelompok, artinya konflik sering merasa usaha untuk mengadakan persekutuan dengan kelompok-kelompok lain.

IV. Kesimpulan

Apa yang dapat disimpulkan dari teori fungsionalitas konflik sebagaimana digagas oleh Lewis A. Coser? Ada empat kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang digagas oleg Coser berkaitan dengan fungsi konflik dalam masyarakat, antara lain: Pertama: bahwa konflik konflik antara kelompok meningkatkan solidaritas internal dalam kelompok-kelmpok yang sedang mengalami situasi konflik. Kedua: konflik di dalam kelompok mencega antagonisme yang tidak dapat dihindari yang menandai semua hubungan sosial, yakni mulai dari memupuknya sampai kepada satu titik di mana hubungan itu sendiri menjadi terancam. Ketiga: konflik meningkatkan perkembangan ikatan sosial antarkelompok, termasuk kelompok-kelompok yang sedang berkonflik itu sendiri. Keempat: konflik merupakan suatu rangsangan atau stimulus utama untuk mencapai adanya perubahan sosial.

V. Refleksi

Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik adalah merupakan suatu gejala yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia. Namun, konflik yanbg terjadi dalam masyarakat bukanlah suatu persoalan yang tidak dapat diselesaikan. Saya sependapat dengan Coser yang mengatakan bahwa “tidak selamanya konflik berkonotasi negatif.” Sebaliknya, konflik memberikan fungsi positif dalam sosial masyarakat untuk untuk menyatukan kembali kelompok-kelompok yang sedang mengalami konflik sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering berhadapan dengan apa yang disebut sebagai konflik, baik konflik yang berasal dari dalam (internal) maupun konflik yang berasal dari luar (eksternal). Misalnya: dalam hidup bersma di biara, saya sering mengalami konflik dengan teman yang kemudian memunculkan konflik batin dalam diri saya. Konflik terjadi karena adanya perbedaan pendapat, perbedaan sikap, perbedaan budaya dan lain sebagainya. Apalagi saya adalah orang yang berasal dari daerah yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan teman-teman dalam komunitas. Namun, persoalannya adalah apakah konflik yang terjadi dengan teman dalam komunitas adalah sebuah bentuk destruktif atau patologi bagi kedua belah pihak? Apakah setiap persoalan yang ada tidak dapat dieselesaikan secara damai? Menurut saya, konflik yang saya alami dengan teman-teman di dalam komunitas bukanlah suatu penyakit atau sesuatu yang tidak dapat diselesaikan secara damai. Sebaliknya, konflik yang ada justru menjadi saran untuk mempertahankan keatuan kelompok apalagi sebagai satu komunitas. Mengapa? Karena dengan adanya konflik, berarti masing-masing individu maupun kelompok di dalam komunitas itu berjuang untuk membangun dialog untuk mempertahankan integritas atau kesatuan sebagai anggota komunitas teristimewa dengan kelompok lain yang berasal dari budaya yang berbeda dengan dirinya. Selain itu, konflik dapat merangsang hidup setiap kelompok untuk merubah cara pandang yang pesimistis menjadi optimis untuk bersatu dengan kelompok-kelompok lain.
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang
Sumber:
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Modern dan Klasik, Jakarta: Gramedia, 1986.

Sabtu, 16 Agustus 2008

RELIGIOSITAS KODRATI (NATURAL RELIGION

Blasius Baene
I. Konteks

Abad ketujuh belas adalah abad pertentangan antara rasionalisme dan empirisme berkenaan dengan sumber pengetahuan.[1] Rasionalisme yang dibangun oleh Rene Descartes (1596-1650) berpendapat bahwasumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah rasio (akal). Akal tidak memerlukan pengalaman. Pengalaman hanya meneguhkan pengtahuan. Sedangkan empirisme yang dibentuk oleh Francis Bacon (1561-1626) berpendapat bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Baik pengalaman batiniah maupun pengalaman lahiriah adalah sumber pengetahuan. Akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang siperoleh pengalaman.

Edward Herbert, Lord of Cherbury (1583-1648) dariInggris berangkat dari pengalaman empiris meramu kesalehan religius dan ketertarikan intelektual akan kenampakan alam menjadi sebentuk doa kepada Allah yang menciptakan-menggerakkan-menyelenggarakan dunia. Titik tolak “mencari” menghantar Edward menghampiri Allah Yang Tak Tidak-Berbatas dan Yang-Indah-Kekal. Apa yang dia temukan adalah khas personal cita rasa miliknya sendiri. Karena itu, Edward berpendapat bahwa religiositas yang lahir dari ajaran doktriner adalah palsu. Keberadaan Allah sendiri adalah sejati. Namun apa yang sejati itu tidak boleh disandarkan keapada instansi atau institusi tertentu yang menentukan apa yang harus dipercayai manusia atau apa tang harus ditinggalkan oleh manusia.

Ramuan gagasan Edward Herebert dan filsafat pencerahan melahirkan Deisme yang memberikan alas konsep religi kodrati (natural religion) pada abad ke-18 di Inggris.[2] Deisme adalah aliran yang mengakui adanya Sang Pencipta alam semesta. Akan tetapi, setelah dunia diciptakan, Sang Pencipta itu menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Allah dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Maksud dari aliran ini adalah menaklukan wahyu Ilahi beserta dengan kesaksian-kesaksiannya, yaitu Kitab Suci, kepada kritik akal serta menjabarkan religiosita menurut pengetahuan yang alamiah, bebas dari segala doktrin gerejani. Hanya akallah satu-satunya sumber pengetahuan dan patokan kebenaran.

David Hume (1711-1776) bertitik tolak dari konsep keunggulan akal yang menjadi media pengolahan pengalaman empiris di atas menghantar kita untuk selalu meragu-ragukan apa pun. Hume membedakan antecedent skepticism dan consequent skepticism.[3] Filsafat Rene Descartes dinilai oleg Hume sebagai antecedent skepticism. Filsafat ini mengajarkan pemahaman kepada Hume bahwa pengalaman meragu-ragukan sebagai proses berpikir adalah dasar keberadaan manusia (cogito ergo sum). Penekanan pada kemungkinan salahnya pengetahuan manusia dalam proses meragu-ragukan itu menolong Hume lepas dari jerat kesalahan, prasangka dan dogmatisme buta.consequent skepticism bergrak dari penemuan bahwa kemampuan manusia (indra dan akal) tidak selalu tanpa salah. Consequent Skepticism berpendapat bahwa pengetahuan sejati adalah sebuah kemustahilan.[4] Manusia harus mengoreksi bukti langsung dari indra dengan memakai akal. Tak seorang punu terikat dan menerima pandangan tertentu karena segala sesuatu mungkin adalah tidak mungkin. Manusia harus membangun teori sendiri dengan mendasarkannya sedekat mungkin dengan pengalaman dan lepas dari belenggu dogmatisme.


II. Religiositas Kodrati

2.1. Edward, Lord of Cherbury (1583-1648)

“Pengalaman adalah suatu pengetahuan yang timbuk bukan pertama-tama dari pikiran melainkan terutama dari pergaulan praktis dengan dunia.[5] Pergaulan tersebut bersifat langsung, intuitif dan afektif. Dalam mengalami sesuatu, orang pertama-tama mesra “kena” atau “disentuh.” Edward merasakan pengalaman itu pada saat ia tak mampu menembus batas keberadaannya. Ia berkata:
“Aku tak mampu mengenali dan memahami betapa besar dan baiklah penyelenggaraan-Mu yang kekal yang telah menjadikanku sebagaimana adaku sekarang, yang menghantarku masuk ke dalam dunia, sebuah ciptaan yang hidup, bebas dan dapat bernalar, bukan sebuah ciptaan tanpa rasa, namun sebaliknya mampu untuk melihat dan memahami karya-Mu yang mengagumkan sedang bekerja sekarang.[6]
Manusia dirinyalah yang dimaksudkan oleh Edward dalam doanya itu. Potensi manusia menembus batas-batas kemungkinan yang mampu dipikirkan oleh akal budi. Akal mempunyai otonomi mutlak di bidang religi. Karena itu, Edward menolak religiositas yang menjadikan pewahyuan ilahi atau ajaran doktriner sebagai dasar. Semua ajaran yang dikatakan oleh otoritas berasal dari pewahyuan harus ditinggalkan, termasuk juga religiositas kristiani.
“Teori-teori berdasarkan iman implisit, yang dipegang teguh bukan hanya di tempat kita, tetapi juga di tempat-tempat jaun lainnya, tidak ada sangkutpautnya dengan religiositas. Hal-hal dalam keprcayaan itu, seperti: nalar manusia harus ditinggalkan agar ada cukup ruang bagi iman, Gereja mempunyai hak untuk menggariskan cara-cara ibadat ilahi yang harus ditepati detail-detailnya, tak seorang pun boleh menyangsikan otoritas suci para imam dan pewarta Sabda Allah... tak dapat dipastikan kesjatan atau kepalsuannya.”[7]

Edward menawarkan pemikiran bahwa pengalaman religius adalah pengalaman rasionalisasi. Dasar pengetahuan di bidang religi adalah beberapa pengertian namun umum yang pasti bagi semua orang dan langsung tampak jelas karena naluri alamiah, yangmendahului segala pengalaman dalam pemikiran akali. Ukuran kebenaran dan kepastiannya adalah persetujuan umum segala manusia karena kesamaan akal manusia. Ada 5 azas yang harus dijadikan sebagai landasan penyusunan religiositas kodrat (natural religion), antara lain:
1. Ada pribadi yang tertinggi di antara Pribadi-pribadi yang ditinggikan (entah dengan nama apa pun mereka disebut). Ia mempunyai delapan dimensi dalam menyatakan kerahiman ilahinya yang universal (kebijaksanaan alam).

2. Sang pribadi Ilahi ini harus diakui karena kemurah-rahiman penyelenggaraan ilahinya yang karenanya manusia tergantung kepada rahmat-Nya (kerahimana khususnya).

3. Inti terpenting praktik religius adalah paduan antara keutamaan (produk dari hati nurani) dan Kesalehan. Keutamaan diramu dengan kesalehan melahirkan pengharapan, dari pengharapan sejati melahirkan iman, dari iman sejati melahirkan kasih, dari kasih sejati melahirkan kegembiraan, dari kegembiraan sejati melahirkan hidup yang terberkati.

4. Manusia karena kodratnya benci akan keburukan mereka. Tiap keburukan dan kejahatan yang nyata dalam hidup mereka harus ditebus dengan silih.

5. Atas segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, ada ganjaran untuk kebaikan atau hukuman untuk keburukan setelah kehidupan ini.

2.2. David Hume (1711-1776)

Hume menawarkan “Teori Pengenalan” yang mengajarkan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu: kesan (impression) yang berasal dari pengalaman langsung baik lahiriah maupun batiniah dan pengertian (idea) yang berasal dari perenungan atau perefleksian kembali dalam kesadaran kesan-kesan yang diterima oleh pengalaman.[8] Idea adalah gambaran samar-samar dari kesan-kesan. Tapi, karena idea adalah tembusan (kopi) dari kesan maka isi kesan dan idea adalah sama. Ketika kesan dan idea menyatu, maka lahrilah “kepercayaan.” Kepercayaan ini tidak lagi salah atau menyesatkan. Tapi, untuk sampai ke kepercayaan ini manusia harus meragu-ragukan semuanya sampai benar-benar yakin bahwa kesan dan idea adalah satu karena keterbatasan indra manusia.

A. Politeisme adalah Religi Awali Manusia

Hume berpendapat bahwa tidak ada bukti yang membuktikan bahwa ada Pribadi Tertinggi di antara Pribadi-pribadi Tinggi dan bahwa Ia menyelenggarakan dunia. Di dalam praktik, orang meengikuti “kepercayaan” yang adalah hasil abstraksi atas yang kurang sempurna saat dihadapkan kepada apa yang sempurna. “Nalar manusia bergerak dari yang inferior ke yang superior dengan mengabstraksikan apa yang kurang sempurna terbentuklah idea akan kesempurnaan, dan secara perlahan-lahan dengan membedakan bagian yang terpenting dari yang tidak penting, idea itu bertumbuh dan termurnikan menjadi yang diilahikan.”[9]
Dalam konteks ini, Hume berpendapat bahwa religiositas asali manusia adalah politeisme. Bentuk-bentuk praktik religius manusia menunjukkan bahwa manusia menemukan banyak elemen tak terlihat yang mempunyai gradasi. Gradasi itu ditentukan oleh seberapa kuat dan menakutkan ancaman dari elemen tak terlihat itu. Itulah sebabnya, Hume percaya bahwa religiositas tidak lahir dari kontemplasi atas alam semesta dan penyelidikan sebab-sebabnya, melainkan lahir dari pengharapan dan ketakutan manusia.[10]

B. Kelahiran Politeisme

Kehadiran banyak Pribadi berkuasa dalam politeisme berasal dari kesenangan manusia melebih-lebihkan dan membanding-bandingkan apa yang kurang sempurna dengan yang lebih sempurna. Padahal, apa yang sempurna adalah akal budi manusia. Karena akal budi tergerogoti khayali ini, maka lahirlah politeisme dan aneka ragam takhyul. Dalam kesadaran khayali ini, dirasakan bahwa tidaklah mungkin hanya ada satu azas saja yang mengatur semesta. Konklusi kesadaran ini adalah bahwa pasti ada banyak elemen yang mengatur alam semesta ini.

2.3. Robert A. Segal

Segal (1994) mengakui Hume telah menyediakan landasan kokoh bagi pemahaman kodrati (a non-supernatural account) atas religi dan melemahkan pengaruh para pengikut aliran Deisme.[11] Segal yaki bahwa Hume berhasil menunjukkan bahwa praktik dan kepercayaan religius manusia lahir dari penggunaan akal budi untuk megolah pengalaman indra manusiawi.[12]

A. Kelahiran Religi

Religiositas lahir tidak di suatu tempat atau pada masa tertentu. Religiositas lahir bersamaan dengan kemanusiaan karena religiositas adalah jawaban manusia atas rasa yang sifatnya universal, yakni: rasa takut. Pengakuan akan adanya rasa takut ini menyebabkan manusia mempunyai objek tetap tempat dia mengolah ketakutan dan pengharapannya. Jadi, adalah salah jika mengatakan bahwa religiositas lahir dari kesadaran akan hadirnya Pribadi Ilahi Tertinggi. “Religi tidak lahir karena perasaan atau kehadiran Pribadi Ilahi. Religi terlahir karena perasaan berhubungan dengan perasaan takut di dalam hidup. Kepercayaan kepada Pribadi Ilahi hanyalah kesimpulan dari perasaan itu. Jadi, hal tersebut lebih merupakan idea bukan kesan.”[13]

B. Dampak dari Religi

Segal memaparkan bahwa Hume menolak baik monoteisme maupun politeisme. Kedua bentuk religiositas itu menggerogoti dan menghancurkan keberadaan kodrati manusia.kodrat manusia yang berlandaskan di atas etikalah yang menunjukkan sifat baik atau jahat secara susila, bukan religi. Suatu tindak susila berlaku jika disetujui atau ditolak oleh perasaan orang-orang yang ada di sekitar pelaku. Suatu tindakan adalah baik jikalau pelakunya merasa bahwa perbuatannya melahirkan keseangan dan persetujuan mereka yang ada di sekitarnya.

Monoteisme tidak memberikan modus vivendi (alasan membiarkan terus hidup) kepada bentuk religiositas lain. Dalam kenyataannya, akibat monoteismelah manusia menjadi kejam kepada sesamanya. Fanatisme lahir dari monoteisme. Di sisi lain, walaupun politeisme membiarkan tiap manusia menemukan bentuk religiositasnya sendiri, politeisme tak mampu memberikan bentuk otentik sejati kepada akal atas pengalaman indrawi. Karena itu, Segal yakin bahwa Hume bukanlah seorang teis. Hume adalah seorang agnostis sebagaimana ia menyatakan sendiri: “Keragu-raguan, ketidakpastian, penundaan keputusan tampak sebagai satu-satunya hasil dari penyuelidikan kita yang paling akurat berkenaan dengan sebuah subjek.”[14]

III. Pencarian Manusia Kristiani Menemukan Dia Yang-Asali-Sejati

Dalam arti kata luas, kebesaran, keindahan serta ketaraturan alam semesta mewahyukan sesuatu tentang asal usulnya, yakni tentang penciptanya. Hal ini dirasakan manusia hampir segala zaman dan lingkungan kebudayaan. Banyak di antara ahli fisika (Plank, Einstein, atau Heisenberg) yakin bahwa hukum-hukum alam memperlihatkan ide-ide atau prinsip yang ada di balik fakta yang diselidiki dengan semakin menemukan dan mengetahui alam, susunan serta hukumnya. Karena gagasan mengenai “prinsip yang ada di balik fakta itu,” banyak di antara ahli fisika itu berpandangan deterministis pengikut aliran Deisme (semua sudah ditentukan dengan pasti).[15] A. Einstein (+ 1955) berkata: pengetahuan ktia tentang yang-tak-dapat-ditembus (oleh akal budi kita), tentang manifestasi rasionalitas yang amat mendalam dan tentang keindahan yang bernyala-nyala, yang dapat didekati akal budi kita hanya dengan rumus-rumus sangat sederhana, pengetahuan dan rasa itulah pokok religiositas sesungguhnya. Dalam arti ini dan hanya di arti ini, aku adalah seorang yang sangat religius.[16]

Para teolog abad ini juga tidak asing dengan sikap agnostis. Beberapa teolog modern berpendapat bahwa kehadiran Allah tidak akan ada artinya jika manusia tidak mengalaminya. Mereka yakin bahw kehadrian Allah itu adalah pengalaman insani. Karena tidak “merasa” dan tidak “menemukan” Allah, maka banyak orang merasa bahwa Allah menyembunyikan diri dalam kegelapana.[17]

Paul Tillich (1886-1974) berpendapat bahwa “ketidakhadiran” Allah disebabkan oleh pemahaman orang bahwa Allah adalah seorang pribadi yang bersemayam di atas dunia dan umat manusia. Jika Allah datang ke dunia ini, Ia datang sebagai seorang pengunjung dari “dunia sana.” Untuk mengubah paham ini, maka Allah harus dihadirkan sebagai “pokok” kepedulian dan keprihatinan tertinggi (ultimate concern) manusia. Keprihatinan manusia atau dasar manusia itulah yang disebut Allah. Karena itu, Allah tak boleh diobjektivasi atau dihadirkan sebagai sebuah entitas. Ia hanya harus ditampilkan sebagai simbol dari situasi universal manusia.[18]

Gagasan Tillich di atas dianggap kurang radikan oleh generasi yang lebih muda. Generasi baru ini melangkah lebih jauh ke arah agonstisisme dalam suatu teologi yang diberi nama “Teologi Radikal.”[19] Titik tolak ini bukan hanya kesadaran akan pentingnya dunia melainkan juga pengakuan bahwa Allah tidak penting lagi. Harus diterima bahwa bagi seorang modern Allah telah mati. Apa yang masih tinggal ialah “manusia-bagi-orang lain,” yaitu Yesus Kristus yang juga hidup dan menderita seperti kita manusia. Karena itu, tema hidup religius dan teologi yang terpenting bagi masa sekarang bukan lagi pengakuan akan Allah, melainkan kepada keterlibatan (engagement) dalam dunia.

Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang. Tulisan ini merupakan makalah/seminar yang disampaikan oleh P. Denny A. Firmanto, Pr dalam mata kuliah Seminar Teologi Sistematis. Tulisan ini kemudian saya dokumentasikan sebagai ruang untuk mengenal dan mamahami berbagai persoalan teologi.

DAFTAR PUSTAKA

H. Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

J.K. Roth, Persoalan-persoalan Filsafat Agama, Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2003.

Syukur N. Diester, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

I. Strenski, Thinking About Religion, A. Reader, London: Blacwell Publishing, 2006.

A. Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2006.

J.H.S. Kent, Christian Theology In the Eighteenth to the Twentieth Centuries. Dalam Jones, H.C. (ed), A History of Christian Doctrine, London: T & T Clark.

T. Huijbers, Mencari Allah: Pengantar ke dalam Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Catata Kaki

[1] Hadiwijono, H, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 18.
[2] Ibid, hal. 49.
[3] Roth, J.K. Persoalan-persoalan Filsafat Agama, Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2003, hal. 195.
[4] Ibid, hal. 197.
[5] Diester Nico Syukur, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hal. 21.
[6] Edwar, The Autobiography of Edward, Lord Herbert of Cherbury. Dalam Strenski I, Thinking About Religion, A. Reader, London: Blacwell Publishing, 2006, hal.1.
[7] Edward, Common Nations Concerning Religion. Dalam Strenski I, Thinking About Religion, A Reader, London: Blacwell Publishing, 2006, hal. 3.
[8] Hadiwijono, H. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 53.
[9] Hume, D. The Natural History of Religion. Dalam Strenski I. Thinking About Religion, A Reader, London: Blacwell Publishing, hal. 9.
[10] Segal, R.A. Hume’s Natural History of Religion and the Beginning of the Social Scientific Study of Religion. Dalam Strenski I, Thinking About Religion, A Reader, London: Blacwell Publishing, 2006, hal. 15.
[11] Ibid, hal. 13.
[12] Ibid, hal. 14.
[13] Ibid.
[14] R.A. Segal, Hume’s Natural History of Religion and the Beginning of the Social Scientific Study of Religion. Dalam Strenski I, Thinking About Religion, A Reader, London: Blacwell Publishing, 2006, hal. 16.
[15] Teori Determinisme ini goyang sejak penemuan Teori Kwantum.
[16] Heuken, A. Ensiklopedi Gereja, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2006, hal. 103.
[17] Bonhoeffer, Tillich dan para Teolog Allah-Mati (teologi radikal) berangkat dari gagasan ini.
[18] Kent, J.H.S. Christian Theology In the Eighteenth to the Twentieth Centuries. Dalam Jones, H.C. (ed), A History of Christian Doctrine, London: T & T Clark, hal. 572.
[19] Huijbers, T. Mencari Allah: Pengantar ke dalam Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal. 279.

Sabtu, 02 Agustus 2008

KENAIFAN ETIKA EUDAEMONISME ARISTOTELES

Oleh: Blasius Baene

Aristoteles (384-322), dalam bukunya yang berjudul “Nicomachean Ethics,” mencetuskan apa yang disebut sebagai etika “eudaemonisme” rasional (dari Yunani “eudaemon” yang berarti bahagia).

Cetusan etika “eudaemonisme” Aristotelian tampak dalam pembukaan buku “Nicomachean ethics.” Dalam pembukaan buku tersebut, Aristoteles mengatakan bahwa segala aktivitas hidup manusia terarah kepada kebaikan. Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan cetusan yang paling sempurna, ideal dan rasional dari aktivitas tindakan manusia. Namun, apa yang disebut sebagai kebahagiaan menurut Aristoteles, bukanlah sesuatu yang sudah selesai, rampung dan tuntas. Kebahagiaan harus disamakan dengan aktivitas, yaitu aktivitas mencari kebahagiaan. Dengan demikian, etika “eudaemonisme” Aristotelian adalah etika yang berhubungan dengan rasionalitas manusia.

Etika “eudaimonia” tidak hanya dipahami oleh Aristoteles. Etika ini juga telah dipahami oleh beberapa filsuf lain. Misalnya, Epicuros, kaum Epicurian dan Jeremy Bentham yang kemudian melanjutkan gagasan kaum Epicurian. Tetapi, kebahagiaan dalam cetusan Aristoteles, berbeda dengan paham Epicuros, kaum Epicurian dan Jeremy Bentham.

Gagasan “eudaimonia” dalam pemahaman Epicuros, terwujud dalam “kenikmatan” (pleasure), yaitu kenikmatan yang mengalir dari aktivitas makan dan minum (the roots of all good is the pleasure that comes from the eating and drinking). Sedangkan menurut kaum Epicurian, kebahagiaan terletak pada aktivitas dan kepuasan diri yang rendah. Tesis kaum Epicurian, kemudian dilanjutkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Bentham mengatakan, bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh dua unsur, yaitu perasaan sakit dan kenikmatan (pain and pleasure). Pengertian ini mengandaikan sebuah karakter untuk menghindari penderitaan dan mengejar kenikmatan, yaitu kenikmatan yang terbatas pada aktivitas makan dan minum.

Berbeda dengan Epicuros, Jeremy Bentham dan kaum Epicurian, Aristoteles tidak meletakkan “eudaimonia” pada “rasa, cita rasa dan kenikmatan.” Etika “eudaimonia” Aristoteles lebih mengarah kepada karakter rasional. Bagi Aristoteles, manusia dengan rasionya (akal budinya), dapat meraih kebahagiaan bagi hidupnya. Namun, menurut Aristoteles, manusia harus menjalankan aktivitasnya (akal budinya) menurut keutamaan (virtue) untuk mencapai kebahagiaan, karena aktivitas yang disertai keutamaan (virtue) dapat membuat manusia bahagia. Kebahagiaan menurut Aristoteles tidak terletak pada pengertian menikmati hasil atau prestasi, tetapi pada karakter kontemplasi rasional sebagai suatu aktivitas manusia untuk mengalami pencerahan.

Kenaifan Etika “Eudaimonia” Aristoteles

Etika “eudaimonia” Aristoteles, menghantar kita kepada sebuah pertanyaan mendasar, yaitu dimanakah letak “kenaifan” etika eudaemonisme Aristotelian? Sekali lagi, Aristoteles menggagas bahwa hidup manusia selalu terarah pada kebaikan. Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Dengan kata lain, manusia selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kedatipun ada manusia yang menginginkan penderitaan dalam hidupnya, hal itu disebabkan oleh karena situasi hidup yang dia hadapi. Artinya, manusia ingin menghindari penderitaan itu sendiri. Realitas inilah yang terjadi pada bangsa kita sekarang ini, bahwa rakyat hidup dalam realitas ketidakbahagiaan akibat kelaparan, kemiskinan, kekurangan perhatian pemerintah atas penderitaan rakyat.

Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang makmur. Namun, dalam kenyataannya, bangsa kita telah dikuasai oleh kehausan akan harta, kekuasaan, keserakahan, dan keegoisan. Aneka persoalan memporak-porandakan bangsa kita bagaikan lingkaran setan menghantui rakyat kecil. Rakyat menderita akibat ulah pemerintah sendiri yang lebih mengedepankan kebahagiaan individual daripada kebahagiaan bersama. Maka, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa pada tataran inilah etika “eudaimonia” Aristotelian berada dalam posisi kenaifan, yaitu ketika pemerintah mengedepankan kebahagiaan individu daripada kebahagiaan bersama.

Adalah benar bahwa dalam mencetuskan etika “eudaimonia,” Aristoteles menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi. Namun, terminologi kebahagiaan dalam etika “eudaimonisme” Aristotelian perlu disimak dengan rasionalitas yang baik. Maksudnya, terminologi kebahagiaan dalam Aristotelian, bukan hanya dimaksudkan pada kebahagiaan individu atau kelompok melulu, tetapi juga menyangkut kebahagiaan bersama.

Kebahagiaan bersama tercapai apabila masing-masing pihak menyadari apa arti kebahagiaan dalam hidup manusia. Namun, persoalan yang kita hadapi adalah justru para penguasa bangsa kita tidak mampu menciptakan kebahagiaan bersama. Yang terjadi sebaliknya adalah rakyat menderita akibat ulah penguasa bangsa kita. Penguasa yang sesungguhnya menjadi pendorong untuk menciptakan “eudaimonia” bagi rakyat, justru berbalik menjadi penghambat kebahagiaan itu sendiri. Rakyat kini terperangkap dalam kemiskinan akibat kenaikan harga-harga. Tidak kalah pentingnya, rakyat kita semakin menderita, bahkan kebahagiaan itu semakin menjauh dari harapan ketika apa yang kita miliki disewakan kepada orang lain.

Manusia yang serakah

Kerakusan, keserekahan dan keegoisan para penguasa bangsa kita, membuat perhatian pemerintah kurang tanggap pada penderitaan rakyat. Lebih-lebih karena penguasa itu sendiri menjadi penghambat kebahagiaan rakyat. Bagaimana mungkin kita dapat meraih kebahagiaan jika aparat pemerintah sendiri lebih mengedepankan kebahagiaan individu daripada kebahagiaan bersama? Jika sejumlah aparat kita yang seharusnya melindungi kelestarian hutan, justru terlibat dalam pembalakan liar dan penjualan kayu di Kalimanatan? Para tersangka yang ditangkap mengungkapkan, setiap perahu motor yang membawa kayu illegal ke negeri Jiran, membayar upeti Rp. 120 juta kepada aparat (Jawa Pos, 3/4/2008).

Sungguh, penguasa bangsa kita serakah dengan harta, uang dan kekayaan. Tidak peduli pada nasib rakyat yang menderita, mati kelaparan, tidur di bawah kolong jembatan. Penguasa di negeri ini seakan tidak pernah merasa berdosa atas tindakan yang mereka lakukan. Pembabatan kayu secara liar di Kalimantan tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mengurangi kebahagiaan kita bersama. Belum lagi persoalan PP No 2/2008 yang kini menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat, karena dengan keluarnya PP tersebut, pemerintah seakan mengobral hutan lindung kita (Jawa Pos, 27/3/2008). Pemerintah menyewakan hutan lindung kita kepada 13 perusahaan. Mereka tidak pernah memikirkan apa dampak dari penyewaan hutan tersebut 50 tahun ke depan. Mereka hanya memikirkan realitas hidup saat ini. Memang, kita menerima uang, tetapi persoalannya adalah apakah uang tersebut dapat menjamin kelestarian hutan kita?

Harus kita sadari bahwa harapan untuk mewujudkan “eudaimonia” kini semakin sirna. Bahkan, kebahagiaan itu mungkin tidak pernah tercapai kalau para penguasa di negeri ini tidak mempunyai kesadaran untuk mewujudkannya. Etika “eudaemonisme” Aristotelian menjadi naif ketika pemerintah mengedepankan kebahagiaan hanya pada individu dan bukan pada kebahagiaan bersama. Oleh karena itu, untuk menciptakan kebahagiaan bersama, para pengusa diharapkan memiliki kesadaran untuk menciptakan kebahagiaan bersama dan bukan kebahagiaan individu. Sehingga dengan demikian, kita sampai kepada apa yang kita sebut sebagai “bonum commune” (kesejahteraan bersama) dan bukan sebaliknya, yaitu “malum commune” (keburukan bersama).
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang