Minggu, 30 Maret 2008

Gambaran Manusia Ideal Menurut Confucius, Taoisme dan Para Legalist

Oleh: Blasius Baene

I. Pendahuluan

Pertanyaan tentang “manusia ideal” merupakan sebuah pertanyaan filosofis yang sangat sentral dan aktual dalam kehidupan manusia. Dikatakan “sentral” karena dengan menanyakan gambaran manusia ideal, berarti manusia tidak hanya dilihat secara parsial, tetapi keseluruhan eksistensi manusia menjadi objek pengamatan manusia. Dengan demikian, keberadaan manusia di dunia menjadi bahan diskusi terutama bagi para filsuf yang menggeluti dunia manusia, tidak terkecuali Confucianisme, Taoisme, dan para Legalist.

II. Pembahasan

2.1. Manusia Ideal dalam Pandangan Confucianisme

Gagasan tentang manusia ideal dalam pemikiran Confucianisme bertitik tolak dari struktur kebajikan manusia. Confucius menitiberatkan gagasannya tentang manusia pada T’ien Ming. Aliran Confucianisme mengatakan bahwa dalam T’ien Ming terbentuk hati nurani cinta kasih (Jen) yang memampukan manusia untuk membuka diri bagi orang lain. Dengan membuka diri bagi orang lain, manusia dapat mengendalikan diri dari berbagai hawa nafsu yang kerapkali membawa manusia pada kejahatan. Untuk mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam diri manusia, manusia hendaknya hidup seturut hati nurani cinta kasih itu (Jen). Dalam Confucianisme, Jen harus diungkapkan dalam sikap atau perilaku manusia, seperti menghormati orang yang lebih tua, menjalin kasih persaudaraan dengan orang lain, dan lain sebagainya. Semuanya ini harus diungkapkan dalam sikap atau perilaku, sebab jika tidak demikian, maka apa yang disebut sebagai Jen hanyalah merupakan usaha manusia belaka.
Menurut Confucius, menjadi manusia ideal berarti seseorang itu harus memperlihatkan sikap kesungguhan (chung) untuk menerima orang lain secara manusiawi, sebab ada hukum yang mengatakan bahwa “jangan melakukan kepada orang lain apa yang kamu sendiri tidak diperlakukan oleh orang lain kepadamu.” Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa “manusia ideal” dalam pemikiran Confucianisme adalah orang yang mampu mempraktekkan nilai-nilai kebajikan seperti mencintai sesama secara universal, menghormati orang yang lebih tua, menghargai pendapat dan keputusan orang lain. Jika seseorang tidak mampu melaksanakan semuanya ini, maka dia tidak bisa disebut sebagai manusia ideal.
Apa yang digagas oleh Confucianisme tentang manusia ideal segera diikuti oleh Mencius dan Hsun Tzu. Namun, keduanya memandang manusia dalam perspektif yang berbeda dengan Confucianisme. Menurut Mencius, pada dasarnya kodrat manusia itu adalah baik. Artinya, ketika manusia melihat segala sesuatu itu baik, maka kodratnya juga baik. Sebaliknya, apabila kejahatan lahir dalam diri manusia dan menjadikan manusia itu jahat, maka itu bukan karena manusia jahat melainkan karena kejahatan itu lahir dari luar diri manusia itu sendiri.
Untuk menghilangkan kejahatan yang ada dalam diri manusia, Mencius menekankan Jen harus bersama dengan Yi, karena kedua sikap ini melahirkan semangat kejujuran dalam diri manusia untuk berbuat sesuatu. Dengan adanya sikap hati nurani yang jujur, maka seseorang memiliki rasa malu terhadap kejahatan yang dia buat. Rasa malu seperti yang diungkapkan oleh Magnis Suseno dalam budaya Jawa mengandaikan sikap kejujuran dalam hati manusia yang paling dalam. Misalnya: mengapa saya mencuri, mengapa saya membunuh, dan lain sebagainya. Dengan adanya rasa malu, maka seseorang itu semakin hari semakin mengarah kepada identitas menuju “manusia ideal.” Dengan demikian, gagasan “manusia ideal” dalam pemikiran Mencius adalah manusia yang sungguh-sunguh menyadari segala sesuatu apa yang dia perbuat.
Berbeda dengan Mencius dan Confucius, Hsun Tzu melihat bahwa pada dasarnya manusia dikelilingi oleh kekuatan jahat. Fakta ini dikemukakan oleh Hsun Tzu dengan bertitik tolak dari realitas manusia. Pertama: manusia dilahirkan untuk mendapat keuntungan. Realitas ini dapat kita lihat dalam pengalaman hidup sehari-hari bahwa manusia tidak pernah merasa puas dengan apa yang ia miliki. Manusia selalu berambisi untuk menguasai orang lain. Kedua: manusia dilahirkan dengan rasa iri dan benci. Fakta ini juga dapat kita temukan dalam pengalaman hidup kita sehari-hari. Misalnya: ketika seseorang mengalami nasib yang baik, maka dalam hati kita mulai muncul suatu sikap iri dan benci bahkan kita berusaha untuk melenyapkan orang itu. Ketiga: Manusia dilahirkan dengan nafsu dan telinga. Inilah fakta yang tidak dapat disangkal dalam diri manusia. Ketika goyangan Inul ramai diperdebatkan di mana-mana, orang tidak lagi berfokus pada kreativitas Inul melainkan semua mata dan telinga mengarah kepada lekuk tubuhnya Inul yang gemulai ketika bergoyang di atas panggung. Akibatnya, dalam diri manusia timbul niat kejahatan. Oleh karena itu, untuk membendung kejahatan yang ada dalam diri manusia, Hsun Tzu mengatakan bahwa manusia perlu melatih diri secara terus menerus, karena hanya melalui latihan yang terus menerus kodrat manusia itu menjadi baik. Jadi, seorang manusia ideal harus menjalankan Yi dan Li untuk membedakan apa yang baik dan apa yang buruk. Li merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kecenderungan jahat dalam diri manusia. Orang yang berpegang pada Li tidak akan mengalami perubahan dalam hidupnya.

2.2. Manusia Ideal dalam Pandangan Taoisme

Gambaran tentang “manusia ideal” dalam pandangan Taoisme tampak dalam “Tao te ching” yang berarti sifat lurus. Yang dimaksud oleh Tao dengan sifat lurus adalah bahwa manusia perlu memiliki hati nurani yang tulus, karena dengan memiliki hati nurani yang tulus seseorang sungguh-sungguh terlibat dalam masyarakat. Menurut Tao, seorang “manusia ideal” tidak boleh berpretensi dalam masyarakat untuk memiliki tujuan lain. Seorang manusia ideal harus memiliki hati nurani yang tulus murni dalam berelasi dengan orang lain. dengan demikian, seorang manusia ideal harus mengikuti jalan Tao sebagai jalan yang memberi arah.
Menurut Taoisme hakekat manusia itu bersifat alami (P’o). Oleh karena itu, tingkah laku manusia jangan dibuat-buat seperti Tukul. Dengan kata lain, ajaran Tao tentang manusia ideal mengajak kita untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hati yang tulus, nurani yang baik, dan tidak dibuat-buat seperti Tukul yang hanya menampilkan gaya untuk menarik perhatian orang lain.

2.3. Manusia Ideal dalam Pandangan para Legalist

Pandangan para legalist tentang “manusia ideal” bertitik tolak dari kodrat manusia. Menurut para legalist, dalam kodrat manusia ada dua aspek yang selalu melekat dalam diri manusia untuk bertindak yaitu menghindari yang tidak enak dan mencari yang enak. Kedua unsur ini menghantar pandangan para legalist tentang manusia kepada hukum, artinya kalau seseorang melanggar hukum, maka seseorang itu harus dihukum sesuai dengan apa yang dia buat.
Apa yang dikatakan oleh para legalist tentang hukuman mau mengatakan bahwa seorang yang memerintah harus bertindak sesuai dengan “namanya.” Misalnya: seorang hakim harus bertingkah laku sesuai dengan namanya sebagai seorang hakim.

III. Penutup

Apa yang dapat disimpulkan dari pertanyaan tentang manusia ideal yang disodorkan oleh Confucius, Taoisme dan para Legalist? Pertama-tama harus dikatakan bahwa gagasan tentang manusia ideal mengajak kita untuk melihat bahwa untuk menjadi seorang manusia ideal, manusia harus memiliki suatu sikap lurus hati dan kejujuran terhadap diri sendiri. Kejujuran dan sikap lurus hati mengandaikan bahwa manusia memiliki sikap yang universal untuk mencintai dan menerima orang lain. Dengan demikian, gagasan tentang manusia ideal sangat relevan dalam situasi manusia zaman sekarang ini sekurang-kurangnya dalam komunitas kita perlu ditanamkan sikap kejujuran.
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana (STFT) Malang

KEBEBASAN HATI NURANI DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN

Oleh : Blasius Baene

I. Pendahuluan

Persoalan kebebasan hati nurani sebagai norma moral subjektif bukanlah sebuah persoalan yang mudah diselesaikan dengan begitu saja dalam kehidupan manusia, karena hati nurani berkaitan erat dengan pribadi manusia. Bahkan, para pakar moral mengatakan bahwa pembicaraan mengenai hati nurani sebagai norma moral subjektif merupakan suatu fakta yang sangat rumit1 karena apa yang disebut sebagai norma moral subjektif tidak lepas dari pribadi atau subjek yang mengambil keputusan. Dapat dikatakan bahwa hati nurani sebagai norma moral subyektif memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama ketika manusia berhadapan dengan suatu persoalan yang membutuhkan keputusan dari manusia itu sendiri. Hati nurani sebagai jalan keluar yang paling akhir dalam mengambil keputusan menjadikan manusia otoritas eksklusif atas apa yang diperintahkan oleh hati nuraninya.2 Dengan demikian, setiap orang sebagai subjek yang mengambil keputusan bertanggungjawab atas tindakan dan perbuatannya dengan segala konsekuensi dari apa yang dia putuskan. Pengambilan keputusan oleh setiap orang, dapat kita lihat dalam pengalaman hidup sehari-hari. Misalnya, seseorang yang memutuskan untuk pergi ke Gereja pada hari Minggu. Tetapi, di satu sisi ia mengalami suatu persoalan yang membuat dia tidak nyaman untuk pergi ke Gereja. Ketika menghadapi persoalan seperti itu, si subjek yang menghadapi persoalan harus membuat suatu pilihan untuk memutuskan mana yang tepat bagi dirinya, yakni pergi ke Gereja atau tidak. Dalam mengambil suatu keputusan, petama-tama subjek yang mengambil keputusan harus digerakkan oleh hati nuraninya untuk memutuskan sesuatu hal. Jadi, orang lain tidak berperan atas keputusan yang diambil oleh subjek, karena orang lain tidak mengetahui apa yang dipikirkan oleh hati nurani si subjek yang mengambil keputusan.
Di tengah persoalan yang dihadapi oleh manusia dewasa ini, manusia berjuang untuk melepaskan diri dari berbagai problem yang ada. Tetapi, Kemampuan hati nurani manusia untuk memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya tidak dapat menjawab problem yang dihadapi oleh manusia itu sendiri. Sekarang, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah bagaimana kebebasan hati nurani menjawab persoalan manusia ketika manusia mengambil suatu keputusan? Apakah hati nurani berperan dalam diri manusia ketika manusia mengambil suatu keputusan? Inilah yang saya bahas dalam paper ini, yaitu melihat bagaimana peran kebebasan hati nurani manusia dalam mengambil suatu keputusan ketika manusia dihadapkan pada suatu persoalan tertentu.

II. Pengertian Hati Nurani

Pengertian hati nurani tidak dapat disimpulkan dalam satu definisi tertentu, karena pengertian hati nurani tidak hanya mencakup satu aspek tertentu. Namun, bila ditelusuri lebih dalam dapat dikatakan, bahwa hati nurani merupakan hati yang telah mendapat cahaya Tuhan. Dikatakan mendapat cahaya Tuhan karena dalam memutuskan sesuatu seseorang yang mengambil keputusan tertentu harus diikuti oleh suatu kesadaran ketika orang itu memutuskan apa yang harus diputuskan dan dilaksanakan. Untuk melukiskan pengertian hati nurani, dipakai kata “conscientia” yang secara harafiah berarti pengetahuan dengan.3 Jadi, hati nurani pertama-tama menyentuh pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Thomas Aquinas melihat hati nurani sebagai suatu pengetahuan yang lain. Maksudnya adalah pengetahuan sejauh mencakup makna sosial. Artinya bahwa hati nurani mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dalam mengambil suatu keputusan. Bila gagasan ini dikaitkan dengan kebebasan hati nurani, maka dapat dikatakan bahwa kebebasan hati nurani merupakan suatu kebebasan terhadap seluruh aspek kehidupan manusia, namun bukan berarti bahwa kebebasan hati nurani adalah kebebasan dalam arti kesewenangan pribadi manusia.4

2.1. Hati Nurani dalam Perjanjian Lama

Pengertian hati nurani dalam Perjanjian Lama tidak dikatakan secara mendetail, tetapi bila ditelusuri secara lebih mendetail dalam kitab suci, maka kita dapat menemukan bahwa Perjanjian Lama berbicara tentang hati nurani khususnya kita temukan dalam kitab Kebijaksanaan 17:10. “Memang kejahatan yang dihukum atas kesaksiannya sendiri adalah pengecut, sebab selalu menyangka yang terburuk karena diusik-usik suara hatinya.5 Di bagian lain, hati nurani dilukiskan dalam pengalaman manusia sebagai personal. Misalnya: Kej 4:9-14 melukiskan pengalaman Daud ketika ia melawan kehendak Allah.6 Apa yang digagas dalam perjanjian lama mengenai pengertian hati nurani dapat disimpulkan bahwa hati nurani merupakan suara Tuhan sendiri.7 Dengan mengatakan hati nurani sebagai suara Tuhan, itu berarti bahwa Allah sendiri yang langsung berbicara kepada manusia dari hati ke hati. Dengan perkataan lain, Allah mengajarkan kepada manusia apa yang harus atau tidak boleh dilakukan.8 Jadi, dalam Perjanjian Lama dapat dikatakan bahwa manusia dan Allah saling berhadapan secara langsung. Dalam hal ini ada proses dialogis antara yang Maha kuasa dan manusia sebagai subjek yang mengambil keputusan.

2.2. Hati Nurani dalam Perjanjian Baru

Gagasan tentang hati nurani dalam Perjanjian Baru dapat kita temukan, baik dalam Injil maupun dalam surat-surat Paulus yang begitu banyak berbicara tentang hati nurani. Dalam Injil, pemahaman terhadap hati nurani dapat kita lihat dari perkataan Yesus yang berbicara tentang hati sebagai pusat moral. Misalnya: dalam Injil Mat 5:8, Yesus berbicara kepada orang-orang yang berhati nurani, yakni orang-orang yang sederhana bahwa hati kita seharusnya tidak terpusat pada harta benda duniawi melainkan pada harta benda surgawi. Yesus memaksudkan harta surgawi sebagai pahala bagi manusia ketika hati nuraninya memutuskan untuk memilih kehidupan surgawi. Sedangkan Paulus dalam memahami hati nurani menggunakan istilah suneidesis.9 Dalam gagasan Paulus dikatakan, bahwa hati nurani merupakan saksi yang jujur dalam diri kita yang dapat dipanggil untuk menjadi saksi bagi kebenaran setiap pernyataan kita. Oleh karena itu, hati nurani dipandang sebagai “anugerah umum” bagi seluruh umat manusia.10 Artinya bahwa kepada setiap orang diberikan hati sebagai pusat untuk menentukan apa yang baik dan yang buruk dalam memutuskan suatu perbuatan tertentu.

2.3. Hati Nurani dalam Pandangan Konsili Vatikan II

Setelah mengemukakan bagaimana pemahaman hati nurani baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru, sekarang penulis melihat bagaimana pemahaman terhadap hati nurani dalam konteks Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II melihat bahwa hati nurani merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia ketika manusia mengambil suatu keputusan tertentu. Secara khusus, Konsili Vatikan II menggagas dengan begitu indah pengertian hati nurani sebagai inti terdalam dari diri manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya, di situ ia seorang diri yang sapaan-Nya menggema dalam hatinya (GS 16).11 Apa yang digagas oleh Konsili Vatikan II berkaitan dengan hati nurani mau mengatakan bahwa hati nurani merupakan bagian terdalam dari diri manusia di mana di dalam hati nurani itu manusia bertemu dengan dirinya sendiri dan Tuhan. Dengan demikian, diandaikan bahwa dalam pertemuan itu hati nurani manusia berdialog dengan dirinya sendiri dan Tuhan ketika manusia harus mengambil suatu keputusan tentang apa yang baik dan buruk bagi dirinya.
Gagasan yang disampaikan oleh Konsili Vatikan II dalam GS 16 tentang hati nurani, tampaknya sangat bersifat subjektif di mana manusia sebagai pribadi bertanggungjawab atas apa yang dia putuskan sesuai dengan hati nuraninya. Dengan menekankan personalitas manusia dalam mengambil keputusan, Konsili Vatikan II tidak bermaksud bahwa ketika manusia mengambil keputusan sesuai dengan hati nuraninya, maka keputusan itu selalu dalam keadaan mutlak benar. Justru sebaliknya, Konsili mengatakan bahwa hati nurani dapat tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi. Tetapi, bukan berarti bahwa dengan demikian hati nurani manusia kehilangan martabatnya.12 Kesesatan yang dimaksud oleh Konsili adalah akibat tindakan seseorang dalam mengambil suatu keputusan yang tidak didasarkan atas nilai-nilai kebenaran dan kesadaran dan bukan karena hati nurani sebagai akar kesesatan.

III. Keputusan Hati Nurani dalam mengambil Keputusan

Mengambil keputusan merupakan bagian hakiki dalam kehidupan manusia ketika manusia berhadapan dengan suatu persoalan tertentu. Setiap keputusan dilukiskan sebagai suatu hubugan antara sikap dan tindakan dasar seseorang. Bahkan, dalam Katekismus Gereja Katolik dikatakan bahwa dalam lubuk hati seseorang bekerjalah hati nurani. Pada saat itu, seseorang yang mengambil keputusan memberi perintah bagi dirinya untuk melakukan apa yang baik dan mengelakkan yang jahat. Ia juga harus menilai keputusan konkrit di mana ia menyetujui yang baik dan menolak yang jahat.13 Secara tidak langsung apa yang dikatakan dalam katekismus ini mau mengatakan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh seseorang pertama-tama tidak didasarkan atas pilihan orang lain, melainkan berdasarkan keputusan dan pilihan pribadi seseorang yang mengambil keputusan. Dengan demikian, konsekuensi dari keputusan itu, artinya baik buruknya suatu keputusan yang diambil oleh seseorang berdasarkan keputusan dan pilihannya sendiri adalah merupakan tanggungjawab orang itu sendiri.
Keputusan hati nurani dapat dibedakan dua macam, antara lain keputusan “hati nurani” yang mendahului (conscientia antcedens) dan keputusan “hati nurani yang menyusul” (conscientia consequens). Keputusan hati nurani yang mendahului (conscientia antesedens) merupakan suatu keputusan yang mendahului suatu perbuatan dengan berusaha menjauhkan seseorang dari perbuatan yang mengakibatkan dosa dan sekaligus mendorong seseorang itu untuk melakukan yang apa yang terbaik bagi dirinya. Dengan demikian, hati nurani seperti ini mendahului untuk memberi perintah, larangan, atau peringatan bagi seseorang yang mengambil keputusan agar keputusan yang diambil didasarkan atas keputusan yang matang dan bertanggungjawab. Sedangkan keputusan hati nurani yang menyusul (conscientia consequens) merupakan penilaian terhadap suatu perbuatan yang telah diputuskan. Dengan kata lain, penilain terhadap suatu perbuatan dilakukan setelah perbuatan itu terjadi. Jadi, dalam keputusan seperti ini, hati nurani yang menyusul dapat dikatakan bahwa keputusan hati nurani yang menyusul dapat dikatakan bahwa keputusan seperti ini seolah-olah menghakimi seseorang jika perbuatan itu tidak sesuai dengan norma yang berlaku, dan sebaliknya memuji suatu perbuatan seseorang apabila perbuatan itu sesuai dengan norma yang belaku.

3.1. Ciri-ciri Keputusan Hati Nurani

Untuk memahami ciri-ciri keputusan hati nurani, penulis mengambil gagasan yang dipakai oleh F. Böckle.14 Böckle mengemukakan bahwa keputusan hati nurani memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama: kebenaran, artinya keputusan hati nurani benar apabila keputusan itu berhubungan dengan norma moral objektif. Sedangkan keputusan hati nurani dikatakan salah apabila suatu keputusan hati nurani didasarkan pada prinsip-prinsip yang salah atau dengan kata lain keputusan itu tidak sesuai dengan akal budi manusia. Kedua: kepastian, artinya suatu keputusan yang didasarkan pada keyakinan tanpa mengalami rasa ketakutan dan kekeliruan dalam mengambil suatu keputusan. Dengan kata lain, seseorang yang mengambil keputusan merasa yakin bahwa apa yang dia putuskan dapat dipertanggungjawabkan dengan segala konsekuensi dari tindakan yang dia perbuat.
Menurut F. Böckle, ciri-ciri keputussan hati nurani yang telah digagas di atas memiliki beberapa dimensi pengertian, antara lain: Pertama: hati nurani yang benar dan pasti menjadi norma pokok dalam mengambil keputusan. Artinya, keputusan hati nurani yang benar pada dasarnya harus sesuai dengan norma objektif. Kedua: setiap keputusan tidak dibenarkan apabila seseorang bertindak melawan hati nurani yang pasti. Keputusan hati nurani yang pasti adalah keputusan yang dianggap sebagai keputusan yang terakhir. Ketiga: seseorang yang mengambil keputusan tidak diperkenankan untuk bertindak atas dasar keragu-raguan atau dengan hati nurani yang keliru, melainkan keputusan yang diambil harus berdasarkan atas kesadaran si subjek yang mengambil keputusan.

3.2. Perlukah pembinaan terhadap hati Nurani?

Konsili Vatikan II mengatakan bahwa hati nurani sebagai norma moral subjektif bukanlah suatu tanpa kesalahan dalam mengambil suatu keputusan. Bahkan dari sudut pandang filsafat, banyak filsuf yang mencurigai hati nurani sebagai norma moral subjektif. Filsuf yang dimaksud di sini adalah para filsuf empiris. Mereka berpendapat bahwa subyektivitas sama artinya dengan “sewenang-wenang” dan tidak bisa diandalkan.15 Mereka melihat bahwa sifat subjektif yang ditonjolkan terlalu otoriter dalam mengambil suatu keputusan. Namun, kendatipun demikian, mereka juga mengakui bahwa peran hati nurani selalu akan dibutuhkan dalam hidup manusia untuk membedakan apa yang baik dan apa yang buruk.16 Oleh karena hati nurani tidak luput dari suatu kesalahan dalam mengambil suatu keputusan, maka dalam mengambil suatu keputusan yang matang, benar dan dapat dipertanggungjawabkan, perlu ada suatu pembinaan terhadap hati nurani sebagai norma moral subjektif yang melekat dalam diri setiap manusia.
Dalam katekismus Gereja Katolik dikatakan bahwa hati nurani harus dibentuk dan keputusan moral harus diterangi. ...bagi kita manusia yang takluk kepada pengaruh-pngaruh yang buruk dan selalu digoda untuk mendahulukan kepentingan sendiri dan menolak ajaran pimpinan Gereja, pembentukan hati nurani itu mutlak perlu. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pembentukan hati nurani merupakan suatu tugas seumur hidup.17 Apa yang digagas dalam katekismus mengenai pembentukan hati nurani, harus diakui bahwa pembentukan/pembinaan terhadap hati nurani merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena melalui pembinaan hati nurani manusia dapat terhindar dari berbagai kesesatan dalam mengambil suatu keputusan dan berbagai tindakan yang bersifat manusiawi. Bukan hanya itu saja, dengan adanya pembinaan yang jelas terhadap hati nurani, maka manusia tidak hanya mampu membedakan apa yang baik dan apa yang buruk/jahat, tetapi juga sebagai makhluk religius manusia dibawa ke dalam persatuan cinta Allah yang selalu mengarahkan manusia untuk melakukan yang terbaik dalam hidupnya.
Grisez18 mengatakan bahwa pembinaan terhadap hati nurani selalu berkaitan dengan tiga hal, antara lain: Pertama: pembinaan hati nurani hendaknya memperhatikan pengertian yang jelas mengenai norma-norma yang membedakan antara “yang baik” dan “yang jahat.” Dengan kata lain mau mengatakan bahwa dalam membina hati nurani harus ada pemahaman yang jelas dan batas-batas yang jelas sejauh mana hati nurani berperan dalam diri subjek yang mengambil keputusan. Kedua: dalam pembinaan hati nurani perlu ada suatu informasi yang memadai dan faktual untuk melihat berbagai kemungkinan praktis, maksudnya adalah hal-hal yang dapat kita pelajari untuk memahami secara lebih mendalam tujuan dan maksud dari hati nurani. Ketiga: dalam pembinaan hati nurani, setiap orang harus bersedia untuk membina refleksi moral sebelum mengambil suatu keputusan agar setiap keputusan yang diambil sungguh-sungguh didasari oleh kesadaran dari setiap pribadi. Apa yang digagas oleh Grisez berkaitan dengan pembinaan terhadap hati nurani, mengajak setiap orang untuk terus menerus membina hati nuraninya, karena dengan membina hati nurani berarti setiap orang sebagai subjek yang mengambil keputusan turut mengembangkan nilai-nilai kebaikan dan menghindari hal-hal yang jahat/buruk yang dapat merugikan kehidupan manusia baik secara personal maupun kelompok sosial masyarakat.

IV. Daya Ikat Hati Nurani19

Daya ikat hati nurani menunjukkan suatu dimensi kekuatan hati nurani dalam mengambil suatu keputusan oleh subjek yang mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang ada. Dengan perkataan lain, kekuatan hati nurani sebagai norma moral terakhir dalam mengambil suatu keputusan sunguh-sungguh mempunyai makna yang sangat berarti dalam hidup setiap manusia. Harus diakui bahwa setiap orang memiliki daya/kekuatan hati nurani dalam mengambil suatu keputusan. Tetapi, daya/kekuatan hati nurani setiap manusia dalam mengambil suatu keputusan tidak dibenarkan secara mutlak dan sebaliknya juga tidak mutlak disalahkan. Oleh karena itu, dalam keterbatasan hati nurani manusia, manusia perlu memahami beberapa dimensi daya ikat yang menunjukkan kekuatan hati nurani dalam mengambil suatu keputusan.
Beberapa dimensi yang menunjukkan keadaan atau daya ikat hati nurani adalah sebagai berikut: Pertama: hati nurani yang pasti. Hati nurani yang pasti menunjukkan suatu kepastian moral dalam mengambil suatu keputusan, bahwa keputusan itu sungguh-sungguh berdasarkan tindakan moral yang benar. Yang dimaksudkan dengan tindakan moral yang benar adalah tindakan moral berdasarkan keniscayaan dan keyakinan serta iman yang benar dalam mengambil suatu keputusan. Seperti dikatakan oleh Paulus bahwa “segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman adalah dosa” (Rom 14:23). Perkataan Paulus ini mau menunjukkan bahwa hati nurani yang pasti tidak berdasarkan pengaruh orang lain melainkan berdasarkan otoritas dari subjek yang mengambil keputusan.
Kedua: Hati nurani yang bimbang. Hati nurani yang bimbang berangkat dari pengalaman hidup manusia sehari-hari bahwa manusia dalam realitas kehidupan yang dia alami tidak pernah luput dari sebuah kekeliruan atau kesalahan dalam mengambil suatu keputusan. Hati nurani dikatakan bimbang apabila seseorang (subjek) yang mengambil keputusan berada dalam ketidakpastian atau dengan kata lain merasa tidak yakin terhadap apa yang diputuskan. Misalnya: seorang gadis yang hamil di luar nikah. Orang ini merasa bimbang atau tidak yakin ketika dia memutuskan untuk melakukan pengguguran, karena dalam keadaan tertentu ia merasa bahwa dengan melakukan pengguguran berarti ia melakukan tindakan kejahatan, yakni membunuh manusia. Berdasarkan kasus seperti ini, maka yang menjadi petanyaan adalah “apakah dalam kebimbangan seseorang, orang itu harus bertindak? Jawaban yang diberikan berdasarkan pertanyaan ini adalah bahwa apabila seseorang sungguh-sungguh merasa bimbang, maka tidak ada keharusan bagi orang itu untuk berbuat apa pun termasuk keputusan yang berlaku seumur hidup. Sebaliknya, apabila seseorang (subjek) memutuskan untuk bertindak dalam situasi kebimbangan, maka ada kemungkinan bahwa orang itu melakukan tindakan kejahatan bahkan membawa orang itu ke dalam ketidakadilan dan dosa. Lalu, apa yang harus dibuat? Pendapat di atas tidak bermaksud bahwa orang tidak boleh berbuat sesuatu ketika dia berada dalam situasi kebimbangan. Justru sebaliknya, bahwa orang yang merasa bimbang dalam memutuskan sesuatu dianjurkan untuk berbuat sesuatu tetapi bukan dengan cara yang merugikan kehidupan orang itu sendiri. Yang dimaksud dengan berbuat sesuatu dalam situasi kebimbangan adalah bahwa seseorang yang mengalami kebimbangan dianjurkan untuk membuka diri terhadap orang lain dalam membantu dan mengatasi segala kebimbangan yang dia hadapi. Dengan demikian, subjek yang mengalami kebimbangan memiliki keberadaan hati nurani yang terbuka terhadap diri sendiri, orang lain, dan Tuhan.
Ketiga: hati nurani yang kacau. Hati nurani seperti ini dapat juga dikatakan sebagai hati nurani yang keliru atau salah pada saat berhadapan dengan dua ketentuan atau peraturan, sehingga ketika mengambil suatu keputusan, ia merasa takut bersalah atau berdosa jika memilih salah satu. Terhadap hati nurani seperti ini, seseorang yang mengambil keputusan harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh situasi yang sedang dia hadapi. Ketika orang dihadapkan pada dua situasi yang berbeda dan pada saat itu orang itu harus mengambil keputusan, maka orang itu perlu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam memutuskan sesuatu, karena segala konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil secara pribadi adalah merupakan tanggung jawab subjek yang mengambil keputusan.

V. Relevansi

Tak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia dewasa ini bahkan dapat juga dikatakan di Indonesia, salah satu persoalan yang sangat krusial dalam bidang moral adalah persoalan tentang pelaksanaan euthanasia sebagai jalan terakhir untuk mengakhiri segala bentuk penderitaan yang dialami oleh seseorang. Persoalan moral yang sering dihadapi berkaitan dengan kebebasan hati nurani dalam pelaksanaan euthanasia adalah ketika seorang pasien yang tidak tahan melihat penderitaan yang dia hadapi, maka pilihan terakhir untuk mengakhiri segala penderitaannya adalah memutuskan untuk dieuthanasia. Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah apakah ketika seorang pasien meminta untuk dieuthanasia, maka permohonan itu langsung dikabulkan oleh orang yang menangani pasien tersebut atau ditolak secara mentah-mentah? Perlu diketahi bahwa masalah euthanasia tidak hanya menyangkut masalah dalam hukum moral tetapi lebih pada keselamatan jiwa manusia. Apakah kebebasan hati nurani subjek dianggap salah ketika memutuskan untuk dieuthanasia? Bagaiaman jika seorang medis mengikuti apa yang diputuskan oleh pasien yang bersangkutan?
Berkaitan dengan kebebasan hati nurani sebagaimana saya bahas dalam paper ini, maka saya mau mengatakan bahwa pelaksanaan euthanasia sebagaimana trend dalam dunia medis sekarang ini untuk mengakhiri setiap bentuk penderitaan yang dialami oleh seseorang adalah merupakan suatu moral yang salah. Saya mengatakan sebagai moral yang salah, karena dengan mengajukan permohonan untuk dieuthanasia, maka dapat dikatakan bahwa pasien yang menderita tidak menghargai nilai-nilai kehidupan yang ia terima. Demikian pula jika seorang medis menyetujui pelaksanaan euthanasia, maka ia tidak menghargai nilai-nilai kehidupan manusia sebagai makhluk yang luhur. Dengan perkataan lain, saya mau mengatakan bahwa seseorang yang mengambil keputusan dengan cara demikian berarti seseorang yang menggunakan kebebasan hati nuraninya secara keliru. Boleh dikatakan bahwa ia mengambil keputusan dengan didasarkan atas keputusan yang keliru.
Oleh karena hati nurani manusia sering lalai dalam mengambil suatu keputusan, maka hal utama yang paling penting menurut saya adalah memberikan kesadaran kepada setiap orang untuk membentuk dan membina hati nuraninya secara terus-menerus, agar setiap keputusan yang diambil tidak didasarkan pada suatu keputusan yang keliru, karena konsekuensi dari keputusan seperti itu tidak hanya merugikan nilai-nilai kehidupan subjek yang mengambil keputusan, tetapi juga merugikan orang lain. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hati nurani sebagai jalan terakhir dalam mengambil suatu keputusan sangat penting dalam kehidupan manusia.

VI. Kesimpulan

Apa yang dapat disimpulkan setelah membahas kebebasan hati nurani sebagai norma moral subjek? Menurut saya, ada beberapa poin yang dapat disimpulkan dari kebebasan hati nurnai sebagai norma moral subjek dalam mengambil suatu keputusan. Pertama-tama harus dikatakan bahwa kebebasan hati nurani bukan suatu persoalan yang mudah diselesaikan dalam kehidupan manusia, karena kebebasan hati nurani berkaitan erat dengan pribadi manusia sebagai subjek yang mengambil keputusan. Artinya, dalam mengambil keputusan, si subjek yang mengambil keputusan atas dasar hati nuraninya tidak dipengaruhi oleh orang lain. Dengan demikian, segala konsekuensi dari apa yang dia putuskan adalah merupakan tanggung jawab dari subjek yang mengambil keputusan. Kedua, adalah hati nurani merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama dalam mengambil keputusan hati nurani menjadi pilihan yang terakhir dalam hidup manusia. Ketika menghadapi suatu persoalan di mana manusia berada dalam kesendirian, di sanalah manusia berhadapan dengan dirinya sendiri untuk memutuskan mana yang baik dan mana yang buruk.
Ketika hati nurani menjadi pilihan terakhir dalam hidup manusia untuk mengambil keputusan, maka itu bukan berarti bahwa hati nurani seseorang tidak pernah salah dalam mengambil suatu keputusan. Oleh karena hati nurani dapat salah, maka hati nurani harus terus-menerus dibina dan dibentuk sedemikian rupa, sehingga dalam mengambil suatu keputusan, subjek yang mengambil keputusan dapat membedakan apa yang baik dan apa yang buruk/jahat.


Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana (STFT) Malang


DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia, 1993.

-------Keprihatinan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Chang, William, Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Go, Piet, Teologi Fundamental 2, (Diktat Kuliah), STFT Widya Sasana Malang: Malang, 2003.

Hardawiryana, R. Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.

Hadiwardoyo, Al. Purwa, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Katekismus Gereja Katolik, Ende: Arnoldus, 1995.

Peschke, Karl Heinz, Etika Kristiani (Pendasaran Teologi Moral), jilid I, Maumere: Ledalero,-------2003.
Catatan Kaki

1 Dr. William Chang, OFMCap, Pengantar Teologi Moral, Yogayakarta: Kanisius, 2001, hal. 125.
2 Ibid, hal. 146.
3 Ibid, hal. 129.
4 Karl-Heinz Peschke, SVD, Etika Kristiani, Jilid I, Pendasaran Teologi Moral, Maumere: Ledalero, 2003, hal. 226
5 Dr. William Chang, OFMCap, Op. Cit. hal. 127 (bdk.. juga Peschke, hal. 182).
6 Karl Heinz Peschke, Op. Cit. hal. 182.
7 Ibid, hal. 183 (bdk. juga William Chang, hal. 127).
8 Ibid,
9 Ibid, hal. 184.
10 William Chang, Op.Cit. hal. 128.
11 R. Hardawiryana, S.J. Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, hal. 526.
12 William Chang, Op. Cit. hal. 134 (bdk juga Piet Go, Teologi Fundamental 2 (Diktat Kuliah), STFT Widya Sasana Malang: Malang, 2003, hal. 285).
13 Katekismus Gereja Katolik, art. Keputusan Hati Nurani no. 1777, Ende: Arnoldus, 1995, hal. 472.
14 William Chang, Op. Cit. hal. 150.
15 K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 1993, hal. 63.
16 Ibid, hal. 64.
17 Katekismus Gereja Katolik, art. Pembentukan Hati Nurani, no. 1783-1784.
18 William Chang, Op. Cit. hal. 137.
19 Karl-Heinz Peschke, Op. Cit. hal. 205.

Senin, 24 Maret 2008

KRITIK TERHADAP AGAMA KRISTEN

Oleh: Blasius Baene
Catatan dari penulis: Tulisan ini pernah dimuat di http://www.amoretvita.wordpress.com/

I. Konteks

Abad kesembilan belas adalah abad di mana persoalan besar antara kaum “kapitalis” dan kaum “proletar” mencuat secara tajam di permukaan bumi Eropa, khususnya di Jerman. Seiring dengan munculnya persoalan ini, muncul pula para pemikir besar seperti Ludwig Feuerbach (1804-1872) dan Karl Marx (1818-1883). Karl Marx membangun gagasan “materialisme” yang pada abad kesembilan belas mencapai puncak kemegahannya.1 Menurut Marx segala sesuatu yang nyata adalah materi. Maka, manusia harus dipandang dari realitas yang konkrit bukan dari realitas yang abstrak.2 Gagasan inilah yang menghantar Marx untuk melihat realitas yang dihadapi oleh masyarakat yang pada saat itu terbagi dalam kelas-kelas. Kelas-kelas ini pada akhirnya melahirkan jurang pemisah antara kaum “kapitalis” dan kaum “proletar”. Akibatnya, kaum “proletar” menderita, sengsara, dan mati kelaparan, karena kaum “kapitalis” menjadi penguasa segala sesuatu terutama dalam sistim ekonomi. Persoalan yang terjadi antara kaum “kapitalis” dan kaum “proletar,” membawa pengaruh besar pada agama. Artinya, pada tataran penderitaan dan kematian kaum “proletar,” Marx melihat bahwa agama telah “meninabobokan”3 masyarakat yang tertindas dengan menjanjikan keselamatan, kebahagiaan, dan kedamaian bagi mereka yang mengalami penderitaan. Dengan kata lain, Marx melihat agama sebagai candu bagi masyarakat4 yang merupakan pelabuhan untuk mengurangi kegelisahan manusia atas penderitaan yang mereka alami. Lain halnya dengan Ludwig Feuerbach (1804-1872). Ia secara radikal mengganti teologi menjadi antropologi.5 Menurut Feuerbach, agama lahir dari hakekat manusia itu sendiri, yaitu dari sifat egoismenya.6 Artinya bahwa keinginan manusia untuk mencapai kebahagiaan dilukiskan sebagai sesuatu yang nyata ada pada para dewa. Jadi, manusia sesungguhnya beragama bukan karena didasari atas iman akan Allah, tetapi hanya karena ia memiliki keinginan. Dengan kata lain, Feuerbach mau mengatakan bahwa agama hanyalah sebuah fantasi manusia untuk mencapai kebahagiaan, kesejahteraan, dan kedamaian dalam hidup.
Berangkat dari pemahaman agama sebagai sebuah ilusi, Ernest Renan (1823-92) mencoba mengajukan berbagai pertanyaan terhadap hal-hal yang supernatural dalam agama Kristen, karena apa yang dikatakan sebagai yang “supernatural” merupakan sesuatu hal yang berada di luar jangkauan pikiran manusia. Dengan mengajukan berbagai pertanyaan, Renan bermaksud untuk melihat keaslian fakta sejarah kekristenan yang kerapkali dipertentangkan di kalangan kaum intelektual terutama para filsuf dan para teolog. Melalui interpretasi sejarah, tampil dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu kaum ortodoks dan para teolog. Kaum ortodoks mengklaim bahwa apa yang ada dalam sejarah harus dibuktikan melalui ilmu pengetahuan, karena apa yang dibuat oleh Yesus seperti mukjizat tidak sesuai dengan kepercayaan pokok teologi kaum ortodoks.7 Berbeda dengan kaum ortodoks, para teolog lebih percaya pada dogma. Para teolog mengakui bahwa Injil merupakan bukti sejarah yang tidak berisi kesalahan apa pun. Jadi, mukjizat-mukjizat yang dibuat oleh Yesus, menurut para teolog merupakan sebuah bukti untuk meneguhkan iman agama Kristiani. Untuk itulah, Renan menulis sebuah biografi tentang hidup Yesus yang semata-mata dijadikan sebagai bukti sejarah. Karena agama hanya sebagai ilusi, Renan berpendapat bahwa Yesus itu bukan ilahi. Dia hanyalah manusia biasa yang menyamar menjadi ilahi. Apa yang tertulis dalam kitab suci, “hanyalah” merupakan sebuah endapan pengalaman manusia yang dikumpulkan dan dijadikan satu sebagai suatu bukti historis bahwa fakta itu sungguh-sungguh terjadi. Jadi, Injil yang diakui dan diterima oleh para teolog hanyalah sebuah “dongeng.”
Apa yang dipikirkan oleh Renan berkaitan dengan sejarah, melahirkan problem yang tidak dapat dipecahkan. George Sorel (1847-1922) tampil dan menawarkan suatu metode baru untuk mendekati perkara ini, yakni melalui penelitian historis. Namun, bukan berarti dalam penelitian seperti ini tidak ada persoalan. Penelitian seperti ini justru menimbulkan suatu persoalan besar antara teologi dan ilmu pengetahuan. Kemudian, Baruch de Spinoza (1634-77) membangun sebuah gagasan lain. Sebagai filsuf panteisme, Spinoza justru menyerang gagasan-gagasan yang ada dalam Alkitab. Dalam bukunya yang berjudul “Theologico-Political Treatise,” ia memberikan suatu alasan kritis terhadap agama yang meyakini bahwa Pentateukh merupakan karya Musa. Spinoza yakin bahwa Pentateukh itu merupakan sebuah karya yang ditulis oleh orang lain setelah Musa.
J. Samuel Preus lebih berbicara soal kebenaran dan pengertian terhadap pemahaman Alkitab. Ia berbicara soal Alkitab karena Spinoza menyangkal apa yang ada dalam Alkitab itu sendiri. Ia mengatakan bahwa Spinoza telah menghambat keingintahuan para teolog dan para filsuf untuk membuat suatu interpretasi terhadap Alkitab.

II. Kritik terhadap Agama Kristen

2.1. Ernest Renan (1823-92)

Sejak rasionalisme berkembang menjadi sebuah aliran yang mengutamakan rasio (akal budi) sebagai sumber ilmu pengetahuan, pengalaman menjadi tidak berdaya, karena bagi rasionalisme sendiri rasio (akal) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya sehingga rasio tidak memerlukan pengalaman, karena pengalaman hanya dapat berfungsi untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh akal.8 Sikap skeptis terhadap pengalaman yang diagung-agungkan oleh para penganut aliran empirisme, melahirkan keragu-raguan (skeptis) dalam diri manusia sebagaimana diungkapkan oleh Ernest Renan.9 Renan, ketika berada dalam situasi skeptis terhadap pengalaman, menulis demikian: “kadang-kadang sikap skeptis dan optimistis menghantar kita pada sebuah keyakinan bahwa kita berada dalam kebenaran.10 Kebenaran sebagai hasil dari keragu-raguan manusia, menimbulkan sebuah pertanyaan dari dalam diri manusia itu sendiri berkaitan dengan Allah sebagai “finalitas” atau tujuan akhir dari iman manusia. Manusia bertanya, adakah “finalitas” itu berada dalam pengalaman manusia? Renan mengatakan bahwa finalitas itu diterima sebagai semacam hukum yang tersurat di dalam kodrat, yang asal usulnya tidak perlu dicari dalam suatu akal, melainkan dari dalam tuntutan-tuntutan yang ideal saja.11 Dengan demikian finalitas itu bersifat imanen, maksudnya sesuatu yang tersusun dalam suatu kecenderungan buta yang menyebabkan makhluk digerakkan menuju kepada kelestarian mereka. Keadaan lingkungan, rintangan-rintangan dan pengalaman alam itu sendiri, telah menyebabkan tujuan konkrit yang sama sekali tidak dikehendaki oleh suatu kecenderungan awal. Jadi, finalitas itu sama sekali tidak diadakan oleh suatu akal transenden, tetapi dibentuk secara bertahap oleh alam itu sendiri.12
Berkenaan dengan finalitas sebagai tujuan akhir dari pencarian manusia, Renan tergerak untuk menulis sebuah biografi tentang realitas kehidupan Yesus, terutama Renan menyoroti peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam karya Yesus. Salah satunya, Renan mengamati peristiwa mukjizat yang pernah dibuat oleh Yesus sebagaimana diimani oleh orang-orang Kristen. Renan berpendapat, bahwa jika mukjizat yang tertuang dalam kitab suci menjadi sumber inspirasi bagi orang Kristen, maka metode yang kita gunakan adalah sebuah metode yang salah. Sebaliknya, jika mukjizat menjadi sebuah inspirasi tanpa realitas, maka metode kita adalah sebuah metode yang benar.13 Dengan mengatakan inspirasi tanpa sebuah realitas, maka, sama halnya dengan mengatakan bahwa “Injil adalah sebuah dongeng.” Ditinjau dari sudut historis, Renan berpendapat bahwa sejarah tidak selalu memberikan yang terbaik dalam setiap peristiwa yang terjadi.14 Oleh karena itu, agama hanyalah sebuah perasaan yang lahir dari pengalaman akan Allah yang tidak ditemukan secara objektif di dalam kitab suci dan di dalam dunia.15 Maka, untuk memahami peristiwa mukjizat yang dibuat oleh Yesus, kitab suci perlu ditafsirkan secara tepat, karena secara ilmiah mukjizat itu tidak mungkin.16
Yang dimaksud oleh Renan dalam hal ini adalah bahwa setiap orang yang menjadikan mukjizat sebagai sumber inspirasi dalam kehidupannya, ia tidak mempunyai suatu metode yang benar, karena apa yang tertuang dalam kitab suci itu, sebenarnya hanya merupakan sebuah ilusi belaka yang menghanyutkan manusia ke dalam mimpi-mimpi akan sebuah realitas yang sesungguhnya tidak terjadi. Dalam hal ini teologi liberal mencoba memisahkan iman dari akal dan pengalaman. Friedrich Schleiermacher (1768-1834) seorang pendiri teologi liberal mengatakan, bahwa kitab suci hanyalah sebuah endapan pengalaman manusiawi dari pada pewahyuan ilahi. Dengan kata lain, Schleiermacher mengatakan bahwa segala apa yang tertulis di dalam kitab suci termasuk mukjizat hanya sebuah rekaman pengalaman manusia. Jadi, Yesus dalam kehidupan umat kristiani hanya merupakan sebuah contoh. Misi yang Dia bawa bukan untuk menyelamatkan umat manusia melainkan dengan kematian-Nya, Ia membangkitkan kesadaran manusia akan Allah dan memanggil mereka untuk menjalankan kehidupan moral yang baik dan benar.17

2.2. George Sorel (1847-1922)

Sejak lahirnya Teori Evolusi yang dibangun oleh Charles Robert Darwin (1809-1882)18 iman kristiani terguncang. Kepastian kristianitas menjadi semakin tidak jelas arah, karena pada saat itu orang jatuh ke dalam agonstisisme dan ateisme seiring dengan perkembangan yang terjadi. Pada abad ini, dunia memasuki suatu fase baru yang mau tidak mau manusia diharuskan untuk menerima perkembangan ini. Dunia baru yang dimaksud di sini adalah dunia sains (ilmu pengetahuan). Dalam dunia ini, interpretasi terhadap kitab suci langsung mengalami perubahan yang sangat drastis seiring dengan penemuan-penemuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Iman menghadapi suatu tantangan yang berat, karena dengan munculnya berbagai teori penemuan baru, iman seakan-akan tidak lagi bermanfaat untuk menjawab apa yang diinginginkan oleh manusia, sebab apa yang diimani oleh manusia ternyata tidak melampaui ilmu pengetahuan manusia. Misalnya, dalam bidang penemuan mesin-mesin, iman tidak lagi memainkan peranan karena yang bermain dalam penemuan itu adalah akal budi manusia. Artinya akal budi manusia memikirkan bagaimana cara membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada dan dapat disaksikan oleh manusia secara nyata.
Dapat dikatakan bahwa dengan lahirnya teori evolusi, dunia teologi (iman) kristiani berada di persimpangan kematian. Iman mengalami kehilangan arah seiring dengan adanya penemuan-penemuan baru yang dianggap sebagai proses terjadinya evolusi. Gagasan-gagasan terhadap ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu, disatukan oleh George Sorel dalam sebuah pemahaman sejarah kekristenan, yang mengakibatkan lahirnya konflik antara teologi dan ilmu pengetahuan. Teologi melihat bahwa kisah penciptaan yang ada dalam kitab suci, merupakan suatu bukti sejarah yang menghantar orang ke dalam iman akan Allah sang pencipta. Dan hanya dengan cara demikian, iman terhadap yang ilahi itu dapat bertahan. Sebaliknya, Ilmu pengetahuan melihat bahwa apa yang ada dalam sejarah, bukanlah satu-satunya yang harus diimani. Karena, sejarah belum tentu memberikan suatu fakta yang benar dan jelas. Jadi, perlu ada suatu penelitian historis19 yang benar dan dapat diterima melalui ilmu pengetahuan.

2.3. Baruch de Spinoza (1634-77)

Gagasan-gagasan Spinoza tentang yang Absolut atau Allah tidak lepas dari pengaruh Descartes. Bahkan, apa yang digagas oleh Descartes diangkat oleh Spinoza menjadi pendapatnya sendiri. Allah dalam gagasan Spinoza adalah Allah yang yang imanen yang substansinya berasal dari alam raya.20 Allah yang memiliki substansi dari alam raya ini menjadi “ada” yang memiliki kekuasaan tak terbatas, yang mampu mengadakan diri di dalam eksistensi itu.21 Dalam pandangan Descartes dikatakan bahwa eksistensi merupakan ciri khas Allah, sebagaimana halnya dengan inteligensi, dan kekuasaan. Dengan demikian, dalam pemahaman seperti ini kita berada dalam gagasan Cartesian tentang Allah sebagai causa sui. Artinya, suatu istilah untuk menyatakan sifat Allah sebagai “ada” yang sempurna secara mutlak.22
Usaha Descartes untuk membanggakan akal budi, ternyata mendapat perlawanan dari Huets seorang Uskup dari Avranches. Ia mengatakan bahwa pengalaman lebih mendalam dari pada pembuktian secara matematis.23 Lebih lanjut dia mengatakan bahwa “seluruh tulisan dalam Alkitab, pada umumnya ditulis dalam bentuk simbol-simbol atau lambang oleh pengarang. Jacques Abbadie (1654-1272), dalam karyanya yang berjudul “Treatise on the Truth of the Christian Religion” memperlihatkan suatu bukti bahwa Yesus Kristus adalah Allah yang benar dan sehakekat dengan Bapa. Dalam hal inilah Spinoza mengungkapkan sebuah penyesalan dengan berkata “aku berspekulasi untuk menyatakan bahwa aku tidak bertuhan, karena alam dan para skeptis tidak pernah mempertentangkannya. Aku percaya bahwa pengetahuan dalam filsafat merupakan anugerah dari Tuhan pada masa lampau.24
Kebangkitan para apologet Katolik pada abad ke-16, memberikan suatu pencerahan baru untuk melepaskan diri dari pengaruh akal budi. Benedictine Francois Lamy (1636-1711) misalnya memunculkan sebuah polemik filosofis dalam The New Atheism Overthrown, or, Refutation of the System of Spinoza” (Perobohan Atheisme Baru atau Penolakan terhadap Sistem Spinoza). Lamy, dengan tegas menolak monisme25 yang digagas oleh Spinoza sebagaimana Descartes menentang dua substansi, yaitu badan dan jiwa. Ia mengatakan bahwa dengan menolak monisme Spinoza berarti melawan kehendak bebas. Lamy juga membantah sistem panteisme Spinoza, karena jika hal ini diterima, maka akan membawa konsekuensi terhadap moral yang celaka.

2.4. J. Samuel Preus

Preus mencoba untuk mengungkap kembali skeptis Spinoza terhadap isi kitab suci yang menjadi sumber iman bagi orang Kristiani. Preus melihat bahwa Spinoza banyak terlibat dalam berbagai dialog umum yang mencoba mengarahkan pandangan terhadap isi kitab suci. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemahaman isi kitab suci itu adalah “bagaimana” kitab suci itu diinterpretasikan dalam suatu bahasa yang tepat dan benar, sehingga dapat diterima dan dijadikan sebagai sumber iman. Preus mengangkat satu contoh: jika saya mengetahui bahwa yang benar adalah bumi berputar mengelilingi matahari, lalu saya mengambil sebuah teks kitab suci dan menemukan di sana bahwa ternyata yang benar adalah matahari mengelilingi bumi.26 Bagaimana saya menginterpretasikan realitas seperti ini untuk menemukan arti yang sebenarnya? Preus melihat hal ini sebagai suatu persoalan besar berkaitan dengan kaum ortodoks yang mengatakan bahwa karena kitab suci tidak mengandung filsafat, maka, tidak ada kebenaran di dalamnya.
Pada abad ketujuh belas, dogmatik Lutheran berusaha keras untuk membangun suatu bukti yang masuk akal terhadap doktrin atas kitab suci sebagai sumber iman yang tidak berisikan suatu kesalahan apa pun. Ringkasnya, bahwa ada beberapa pandangan para teolog, sejarawan modern yang menyebutkan bahwa ada delapan kriteria baik secara eksternal maupun internal yang memungkinkan adanya hukuman bagi manusia yang meramalkan otoritas kitab suci. Kriteria seperti ini merupakan dasar kepercayaan sebagaimana dicatat oleh Duns Scotus ketika Calvin menjadi muridnya.
John Calvin mengakui bahwa manusia melalui kontemplasi dapat sampai pada ilmu pengetahuan akan eksistensi Allah, hidup, kebijaksanaan, kekuatan, kebaikan, pengampunan, dan simbol-simbol yang lain. Tetapi, dia mengatakan bahwa di satu pihak, manusia mewariskan perbuatan jahat yang menjatuhkan dia ke dalam penyembahan berhala, kecuali jika Tuhan menolong dia melalui pewahyuan, maka dia akan selamat. Tetapi, di lain pihak manusia itu berdosa sehingga ia membutuhkan pengampunan dari sang penciptanya agar ia keluar dari rasa keberdosaan itu. Dengan cara seperti ini, Calvin mempertimbangkan untuk menerima Injil sekaligus iman kristiani. Akibatnya, mereka yang beraliran Calvinisme mengembangkan sebuah doktrin tentang “tobat terbatas” yang mengatakan bahwa Kristus tidak mati di salib untuk setiap orang, tetapi hanya untuk kaum terpilih saja. Dengan demikian, lahir sebuah pandangan yang disebut sebagai “predestinasi” artinya takdir manusia sudah sejak awal ditentukan oleh Tuhan. Atau dengan kata lain, siapa yang selamat sudah sejak awal, sejak keabadian ditentukan oleh Allah. Dengan demikian, kaya-miskinnya manusia sudah ditentukan oleh Tuhan sejak awal mula. Oleh karena itu, untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan dalam hidup ini, manusia harus berjuang untuk bekerja keras, disiplin dan saleh dalam hidup, karena hanya dengan cara demikian manusia dapat memperoleh keselamatan, kebahagiaan dalam hidup ini. Inilah yang dimaksud oleh para penganut aliran Calvinisme dalam gagasan mereka terhadap “predestinasi.”

III. Penutup

Harus diakui bahwa perubahan makna agama telah menjadi sebuah persoalan besar sepanjang sejarah. Sejak tampilnya Marx dengan gagasannya terhadap agama sebagai candu masyarakat, lahirlah sebuah ketidakpercayaan manusia terhadap agama sebagai yang “meninabobokan” masyarakat atas realitas kehidupan yang mereka hadapi. Hingga sampai pada dunia sains, agama tetap menjadi objek kritikan yang dianggap sebagai tempat di mana manusia merasakan kehadiran Allah sebagai tujuan akhir dari pencarian manusia. Hadirnya Allah dalam pengalaman manusia, membuat manusia berada dalam situasi damai, adil, dan tenteram. Dengan demikian, manusia ada dalam genggaman sang Ilahi sebagai realitas murni. Namun, dengan hadirnya rasionalisme yang menekankan rasio (akal) dalam pemikiran manusia, pengalaman manusia akan sang ilahi itu menjadi tak berdaya. Pengalaman akan Allah berada di persimpangan kematian, karena segala sesuatu apa yang dipikirkan manusia bagi para penganut rasionalisme harus didasarkan pada rasio (akal budi). Akibatnya, keragu-raguan (rasa skeptis) seperti ini mewarnai realitas kehidupan manusia itu sendiri. Dalam keraguan manusia, agama dilihat hanya sebagai sebuah khayalan, ilusi yang membawa manusia pada suatu realitas yang tidak hadir secara nyata.
Bahkan lebih radikalnya lagi, Dietrich Bonhoeffer (1906-1945) mengatakan bahwa “Kristianitas itu seharusnya tanpa agama” karena manusia modern pun mempunyai masalah yang sama sebagaimana dia sendiri mempunyai masalah dengan kepercayaannya akan mukjizat. Melalui gagasan ini, Bonhoeffer bermaksud untuk mengembalikan manusia ke dalam situasi sekularisasi bahwa manusia dapat hidup tanpa Allah. Oleh karena itu, manusia sebaiknya tidak perlu beragama.
Berkaitan dengan gagasan para filsuf di atas, apa yang harus kita buat untuk menemukan makna kebenaran dari realitas kehidupan kita. Harus diterima bahwa manusia pada dasarnya memiliki sikap skeptis terhadap apa yang dia imani. Namun, bukan berarti bahwa dengan adanya rasa skeptis dalam diri manusia, maka manusia perlu menghindar dari pengalaman imannya akan Allah. Saya tidak bermaksud demikian. Saya juga tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kita harus menerima keragu-raguan sebagaimana para filsuf mengalaminya. Saya berpikir bahwa untuk kembali kepada iman yang sejati akan Allah sebagai realitas terakhir dari pencarian manusia, manusia perlu memiliki sikap yang tegas terhadap imannya itu sendiri. Ia harus memiliki prinsip dalam kehidupannya. Ia harus yakin pada apa yang diimaninya. Dengan kata lain ia tidak bergantung pada orang lain sehingga ia tidak mudah jatuh ke dalam apa yang disebut sebagai “ateisme.”
Harus diakui bahwa kritik terhadap agama pada abad kesembilan belas lahir dari keprihatian para filsuf terhadap sikap agama atas realitas penderitaan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Agama dilihat hanya sebagai tempat untuk menampung keresahan manusia atas realitas hidup yang mereka alami. Dalam kegetiran hidup yang dialami oleh masyarakat abad kesembilan belas, agama tidak memberi reaksi apa-apa. Agama berdiam diri atas penderitaan manusia. Agama hanya berfungsi untuk menjanjikan keselamatan bagi mereka yang menderita, yang hidup dalam dunia tanpa jaminan, yang mati kelaparan dan tidak mempunyai lapangan pekerjaan. Agama tidak melihat kenyataan yang sesungguhnya terjadi di balik penderitan masyarakat.
Namun, dengan munculnya kritikan terhadap agama, bukan berarti agama berdiam dan tidak memberi reaksi apa-apa terhadap realitas yang dialami oleh masyarakat. Dalam konteks situasi masyarakat sekarang ini, banyak orang yang kita jumpai hidup di bawah garis kemiskinan, baik miskin secara material, moral, maupun miskin secara spiritual. Dari ketiga unsur ini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah agama masih tetap berdiam dan membiarkan masyarakat hidup dalam pendertiaan? Jawabannya adalah bahwa agama tentu saja tidak berdiam dan membiarkan masyarakat menghadapi realitas yang ada. Menurut saya, zaman sekarang bukan lagi sebagai zaman abad kesembilan belas di mana agama tidak bereaksi atas realitas masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas perjuangan sebagaimana terlukis dalam analisis Marx. Mau tidak mau, agama harus bergerak bukan hanya sekadar menjanjikan keselamatan, kebahagiaan, dan kedamaian bagi mereka yang hidup dalam penderitaan, tetapi bagaimana agama terlibat dan ikut ambil bagian dalam mengurangi penderitaan masyarakat27 yang sesungguhnya. Atau dalam bahasa Gutierrez seorang tokoh “teologi pembebasan” adalah bagaimana agama memproklamasikan Allah sebagai Bapa yang berbelas kasih dalam sebuah dunia yang tidak manusiawi.28 Dengan kata lain, bagaimana agama mendialogkan Allah yang membebaskan bagi mereka yang hidup dalam situasi ketidakberdayaan akibat penindasan yang dilakukan oleh orang-orang yang menguasai hidup mereka.

Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang


DAFTAR PUSTAKA

Ackermann, R.J, Agama sebagai Kritik, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

Chen, Martin, Teologi Gustavo Gutierrez (Refleksi dari Praksis Kaum Miskin), Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Dulles, A, A History of Apologetics, San Fransisco: 1999.

Eliade, Mircea (Ed), The Encyclopedia of Religion, Volume 11, New York: Macmillan Publishing Company, 1993.

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Leahy, Louis, Aliran-aliran Besar Ateisme, Yogyakarta: Kanisius, 1985.

---------Manusia di hadapan Allah 1: Masalah Ketuhanan Dewasa Ini, Yogyakarta: Kanisius, 1982.

---------Manusia di hadapan Allah 2, Yogyakarta: Kanisius, 1984.

Ramly, A.M. Peta Pemikiran Marx (Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis), Yogyakarta: LkiS, 2000.

Smith, Linda, dan William Raeper, Ide-ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Srenski, Ivan (ed), Thinking about Religion, London: Blackwell Publishing, 2006.
Catatan Kaki

1 A.M. Ramly, Peta Pemikiran Marx (Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis), Yogyakarta: LkiS 2000, hlm. 18.
2 Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm. 120.
3 A.M. Ramly, Op. Cit. hlm. 164.
4 Dr. Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme, Yogyakarta: Kanisius, 1985, hlm. 98.
5 Ibid, hlm. 90.
6 Dr. Harun Hadiwijono, Op. Cit. hlm. 117.
7 R.J. Ackermann, Agama sebagai Kritik, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991, hlm. 47.
8 Dr. Harun Hadiwijono, Op. Cit. hlm. 18.
9 Dr. Louis Leahy, Manusia di hadapann Allah 1, Yogyakarta: Kanisius, 1982, hlm. 21.
10 Ibid.
11 Dr. Louis Leahy, Manusia di hadapan Allah 2, Yogyakarta: Kanisius, 1984, hlm. 20.
12 Ibid, hlm. 36.
13 E. Renan. The History of the Origins of Christianity, Dalam Srenski, I. Thinking about Religion, London: Blackwell Publishing, 2006, hlm. 25.
14 Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, Volume 11, New York: Macmillan Publishing Company, 1993, hlm. 334.
15 Linda Smith dan William Raeper, Ide-ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 168.
16 Ibid, hlm. 170.
17 Ibid.
18 Ibid, hlm. 175.
19 George Sorel, The Historical System of Ernest Renan. Dalam Strenski, I. Thinking about Religion, London: Blackwell Publishing, 2006, hlm. 27.
20 Dr. Louis Leahy, Op. Cit. hlm. 99.
21 Ibid, hlm. 98.
22 Ibid, hlm. 110.
23 A. Dulles, A History of Apologetics, San Fransisco: 1999, hlm. 171.
24 Ibid, hlm. 191.
25 Ajaran yang mengatakan bahwa adanya kesatuan radikal dari segala yang ada, namun kesatuan yang dimaksud dapat berupa kesatuan materi.
26 J. Samuel Preus, The Bible religion in the Century of Genius, Part III: The Hidden Dialogue in Spinoza Tractatus. Dalam Strenski, I. Thinking about Religion, London: Blackwell Publishing, 2006, hlm. 40.
27 Masyarakat yang dimaksud di sini adalah bukan orang-orang ateis, tetapi orang-orang Kristiani yang miskin, yang tertindas, yang tidak mendapat jaminan dalam hidup, dan lain sebagainya.
28 Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez (Refleksi dari Praksis Kaum Miskin), Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 46.

Allah Menurut Baruch De Spinoza dan Hegel:Suatu tinjauan Filosofis atas Panorama Metafisika


Oleh: Blasius Baene
Catatan dari penulis: Tulisan ini pernah dimuat di http://www.amoretvita.wordpress.com/

1. Pendahuluan

Salah satu bidang penjelajahan metafisika (ontologi) adalah pengembaraan terhadap akal budi manusia untuk mencari dasar-dasar realitas. Pencarian terhadap dasar-dasar realitas tersebut dapat dijumpai dalam suatu pemahaman yang rasional dengan menggambarkan “Ada” sebagai realitas murni. Pemahaman terhadap “Ada” dalam metafisika teologi, bukan suatu ada sebagaimana kita jumpai dalam pengalaman hidup kita sehari-hari. Misalnya: ada dua pulpen, ada orang yang lewat di depan rumah, atau ada empat ekor anak anjing yang baru lahir, dan lain sebagainya. Ada itu juga bukan sesuatu yang dapat diraba, dipegang, dilihat, dan disentuh oleh manusia. Tetapi, pemahaman terhadap “Ada” yang dimaksud dalam metafisika teologi adalah sebuah pemahaman terhadap “realitas murni.” Realitas murni itulah yang disebut sebagai “itu” yang Absolut, tidak dapat dibagi-bagi atau dikelompokkan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa “Ada” itu adalah “itu” yang utuh, tunggal, satu, dan sempurna. Oleh karena itu, Aristoteles menyebutnya sebagai “actus purus, motor immobilis, causa prima non causata, dan lain sebagainya.
Pemahaman terhadap “Ada” sebagai realitas “Yang Absolut” melalui penjelajahan akal budi manusia, khususnya dalam metafisika teologi dapat kita jumpai dalam beberapa pandangan para filosof terkemuka, seperti dalam gagasan-gagasan Baruch de Spinoza dan Hegel. Dengan gaya berpikir yang cemerlang, kedua filosof ini (Spinoza dan Hegel) mencoba menguraikan siapakah “Allah” itu. Apakah ada pemahaman lain yang lebih orisinil untuk mengetahui identitas sang “causa prima non causata itu.”? Spinoza dan Hegel mencoba memecahkan persoalan ini. Spinoza melihat bahwa realitas “Yang Absolut” itu adalah “Substansi.” Sebaliknya, Hegel mendasarkan filsafatnya pada “Roh Mutlak” sebagai “itu” Dia Yang Absolut atau Allah. Bagaimana kedua filsuf ini memahami “Substansi” dan “Roh Mutlak” sebagai realitas “Yang Absolut,” coba saya uraikan di bawah ini.

2. Pengertian Panorama Metafisika

Apa itu panorama? Panorama diartikan sebagai pemandangan alam yang bebas dan luas (KBBI, 2003:825). Disebut sebagai pemandangan yang bebas dan luas, karena dalam mengamati sesuatu, sesuatu itu tidak dipandang secara partikular, melainkan dipandang secara menyeluruh tanpa ada pengklasifikasian terhadap realitas itu sendiri. Dalam kaitannya terhadap panorama filsafat, itu berarti filsafat dilihat atau dipandang secara menyeluruh dan bukan sebagian atau partikular saja. Misalnya: pemahaman terhadap filsafat Yunani Awali (Ancient Greek) sampai ke postmodernisme. Pemahaman ini sangat penting untuk melihat berbagai realitas yang terjadi dalam periode perkembangan filsafat secara menyeluruh.
Panorama metafisika teologi melukiskan suatu penjelajahan akal budi manusia yang tidak pernah berhenti pada suatu pemahaman terhadap pengertian “Ada” secara partikular, melainkan metafisika teologi memahami “Ada” secara menyeluruh bahkan berlanjut pada pemahaman akan eksistensi Allah1 sebagai realitas Yang Absolut atau dalam bahasa Aristoteles disebut sebagai “itu” Dia causa prima non causata.” Panorama metafisika sebagai pengembaraan akal budi manusia tidak pernah kunjung selesai melainkan mengalami suatu pemahaman yang berkembang secara terus menerus. Jadi, panorama metafisika teologi adalah suatu pemahaman terhadap realitas “Ada” yang terus menerus dibingkai dalam suatu pemahaman secara menyeluruh dan bukan secara partikular.

2.1. Riwayat Hidup Spinoza

Baruch de Spinoza lahir di Amsterdam pada tahun 1632 dari sebuah keluarga Yahudi yang melarikan diri dari Portugal, karena pada saat itu orang Yahudi dipaksa untuk menjadi penganut agama Katolik.2 Gagasan-gagasan Spinoza banyak dipengaruhi oleh pemikiran Descartes terutama pemikiran terhadap “Substansi” yang pada akhirnya disebut oleh Spinoza sebagai realitas “Aboslut.”
Perkembangan pemikiran Spinoza yang semakin brilian dalam bidang filsafat, membuat para tokoh agama Yahudi merasa gelisah dan cemas, karena ajaran-ajaran Spinoza dianggap tidak ortodoks.3 Akibatnya, pada tahun 1656 Spinoza dikucilkan dari Sinagoga di Amsterdam. Setelah keluar dari Sinagoga, Spinoza mengalami suatu perubahan dalam hidupnya dan pada saat itulah dia mengganti namanya menjadi Benedictus de Spinoza sebagai tanda kehidupan barunya. Pada tahun 1677 Spinoza meninggal di Den Haag.

2.1.1. Gagasan Spinoza Terhadap “Substansi”

Salah satu gagasan yang diajukan oleh Spinoza dalam memahami realitas Yang absolut adalah Substansi Tak Terhingga atau Allah.4 Gagasan-gagasan Spinoza dalam mengungkap realitas yang Absolut ini, ia banyak dipengaruhi oleh rasionalisme Descartes. Namun, pengaruh Descartes yang telah membentuk pola pemikirannya, tidak semuanya diamini dengan baik oleh Spinoza terutama dalam memahami “Substansi” sebagai realitas murni yang Absolut. Dalam memahami “Substansi,” Descartes melihat bahwa “Substansi” itu merupakan suatu realitas yang tidak membutuhkan sesuatu yang lain.5 Dengan kata lain, Descartes melihat Allah sebagai “Substansi” yang tidak membutuhkan yang lain untuk berada. Tetapi, disamping “Substansi” sebagai realitas Absolut, Descartes menerima substansi yang lain kendatipun substansi yang dimaksud tidak berlaku secara Absolut melainkan relatif.
Berkaitan dengan Substansi yang diajukan oleh Descartes, Spinoza melihat bahwa Descartes tidak memiliki sebuah komitment yang akurat untuk mendefinisikan Substansi itu sendiri, karena dalam kenyataannya Descartes masih menerima adanya Substansi yang lain. Di sinilah Spinoza tidak setuju dengan gagasan yang disodorkan oleh Descartes. Tetapi, di sisi lain, Spinoza menerima gagasan yang disodorkan oleh Descartes yang mengatakan bahwa “Substansi” itu adalah sesuatu yang tidak membutuhkan yang lain, artinya bahwa “Substansi” itu adalah suatu realitas yang mandiri, otonom, utuh, satu dan tunggal.
Untuk memahami “Substansi” yang disodorkan oleh Descartes, Spinoza berpendapat bahwa “Substansi” itu adalah merupakan sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri atau sesuatu yang tidak membutuhkan aspek lain untuk membentuk dirinya menjadi ada. Jadi, dia itu berdiri sendiri dan membentuk dirinya sendiri. Itulah yang disebut sebagai causa prima non causata. Oleh karena itu, dalam tatanan “ada” (Primum Ontologicum), “Substansi” itu disebut sebagai yang pertama dan yang asali. Sedangkan dalam sistem “kelogisan” (Primum Logicum), “Substansi” merupakan realitas yang pertama dan yang Absolut.6 Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam pandangan Spinoza hanya ada satu “Substansi” dan “Substansi” itu adalah “itu” Dia yang Tak Terhingga atau Allah. Konsep metafisika Spinoza terhadap “Substansi” sebagai realitas Yang Absolut, mau memperlihatkan dengan jelas obyek penjelajahan refleksi metafisika terhadap realitas “Ada” yang paling tinggi dan sempurna, yaitu refleksi tentang Allah sebagai realitas yang Absolut, murni, tunggal dan sempurna.
Tetapi, selain Allah sebagai “Substansi.” Spinoza juga melihat “Alam” sebagai substansi. Dengan kata lain, dalam pandangan Spinoza Allah atau Alam adalah merupakan suatu kenyataan tunggal yang memiliki satu kesatuan. Pemahaman ini berangkat dari suatu pemahaman terhadap pembedaan antara “Substansi” yang oleh Spinoza disebut sebagai atribut-atribut dan modi. Modi adalah cara berada dari atribut-atribut dan secara tidak langsung adalah dari “Substansi.” Memang benar bahwa Spinoza mengakui hanya ada satu “Substansi,” tetapi di dalam substansi itu terkandung atribut-atribut (sifat hakiki) yang tak terhingga jumlahnya. Namun, dari sekian banyak sifat hakiki itu hanya ada dua yang dapat diketahui oleh manusia, yaitu keluasan dan pemikiran (extensio dan cogitatio). Dalam hal ini, Spinoza melihat Allah sebagai “keluasan” (Deus est res extensa) dan “pemikiran” (Deus est res cogitans).7 Keluasan dan pemikiran merupakan dua hal yang memiliki substansi yang sama. Spinoza menggagas ini dalam ajarannya tentang “Substansi” tunggal yaitu Allah atau Alam (Deus Sive Natua). Menurut Spinoza, realitas Yang Absolut itu memiliki sifat yang abadi, tak terbatas, dan tunggal. Maka, dari pemahaman seperti ini Spinoza melihat bahwa karena Allah adalah satu-satunya “Substansi,” maka segala sesuatu yang ada di bumi atau alam ini adalah berasal dari Allah. Di sinilah Spinoza terus menerus tenggelam dalam suatu refleksi tentang hubungan antara Allah dan manusia sebagai satu kesatuan. Maka, untuk sampai kepada Allah, Spinoza mengatakan bahwa perlu ada “cinta.” Cinta merupakan suatu bentuk pengenalan tertinggi terhadap Tuhan. Melalui cinta, Spinoza melihat bahwa kita dapat menerima segala sesuatu yang ada di alam, dan dengan demikian manusia menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan sebagai realitas Yang absolut. Berawal dari sinilah Spinoza disebut sebagai “filsuf” yang tenggelam dalam Tuhan.

2.1.2. Riwayat Hidup George Wilhelm Frederich Hegel

Hegel adalah seorang filsuf yang lahir di Stuttgart, Jerman pada tahun 1770. Ia belajar filsafat dan teologi di Tubingen bersama dengan Schelling. Pada saat Napoleon menguasai kota Jena, Hegel mengungsi ke Nunberg dan di sana ia menjadi Rektor Gymnasium. Pada tahun 1831 dia meninggal dunia di Berlin.

2.1.3. Gagasan Hegel Tentang “Roh Mutlak”

Hegel merupakan seorang filsuf yang memiliki pemikiran cemerlang dalam bidang filsafat. Ia sangat berpengaruh dalam memahami realitas yang terjadi di Jerman pada saat itu. Karyanya sebagai seorang filsuf banyak memberikan sumbangan pemikiran kepada setiap orang yang mencoba memahami realitas Absolut atau lebih tepatnya “Tuhan” sebagai puncak dari pencarian manusia. Dalam sistem filsafat Hegel, ada tiga bagian besar yang harus diketahui, yaitu: ilmu logika, filsafat alam, dan filsafat Roh. Dari ketiga bagian ini, saya memfokuskan diri hanya pada gagasan Hegel tentang “filsafat Roh.”
Dalam pandangan Hegel, seluruh kenyataan merupakan suatu kejadian dan kejadian itu merupakan kejadian Roh. Dan Roh itu adalah “itu” Dia yang Absolut atau Allah. Menurut Hegel, Roh sebagai realitas Absolut sesungguhnya merupakan suatu ide yang melewati alam. Sekadar untuk diketahui bahwa dalam memahami “alam,” Hegel berbeda dengan Spinoza. Spinoza memahami “alam” sebagai satu “Substansi” yang memiliki satu kesatuan, sedangkan Hegel memahami “alam” sebagai satu tahap dalam kejadian Allah. Oleh karena itu, Hegel mengajukan bahwa dalam Roh mutlak itu terdapat Roh subyektif, yaitu subyek yang memiliki kesadran terhadap dirinya sendiri. Apa yang disebut sebagai Roh subyektif ini mengalami suatu perubahan menjadi Roh obyektif yang menciptakan suatu gambaran tentang hukum, moral, dan lain sebagainya. Karena Roh ini mengalami perubahan, maka puncak dari perkembangan Roh ini adalah Roh Absolut8 sebagai realitas yang sempurna. Di dalam Roh yang Aboslut ini, terkandung seni, agama, dan filsafat yang memiliki realitas Absolut atau Yang Tak Terhingga sebagai obyek perefleksiannya. Ketiganya merefleksikan yang Absolut itu dalam cara pandang yang berbeda-beda. Misalnya: seni memahami yang Absolut melalui pengamatan inderawi, yaitu melalui lukisan-lukisan. Melalui keindahan sebuah karya seni, Hegel melihat bahwa manusia dapat menunjukkan kemampuannya untuk memahami keindahan alam yang merupakan kesaksian sempurna terhadap fakta bahwa manusia dapat mengintuisi keindahan. Namun, alam hanyalah sebagai simbol yang ada dalam pikiran manusia, karena ada yang lebih indah dari alam, yaitu Allah sebagai realitas murni yang tak terbagi. Demikian juga agama mamahami Yang Absolut dalam imajinasi, yaitu melalui refleksi atau permenungan sehari-hari. Sedangkan filsafat memahami Yang absolut melalui rasionalitas atau pencarian akal budi manusia. Kendatipun ketiga unsur ini memiliki cara tersendiri untuk memahami Yang Absolut itu, namun mereka mempunyai obyek pengamatan yang sama, yaitu Allah sebagai realitas murni, tunggal, utuh dan tak terbatas.

3. Relevansi

Tidak dapat disangkal bahwa persoalan tentang Yang Absolut atau Allah dalam metafisika menimbulkan begitu banyak problem bagi para filsuf. Ada banyak interpretasi tentang Tuhan yang diajukan dengan tujuan bagaimana agar manusia sampai kepada pemahaman akurat tentang “Yang Absolut” itu sendiri. Bahkan dalam arti tertentu mereka merasa ragu untuk menjelaskannya. Namun, dalam keraguan mereka, mereka berusaha untuk terus menerus mencari dan merefleksikan siapakah Tuhan itu dalam kehidupan mereka.
Kendatipun banyak mengalami kesulitan dalam menginterpretasikan “Yang absolut,” namun para filsuf mencoba menjembatani bebagai keraguan manusia dengan menyodorkan berbagai gagasan yang mengarahkan manusia sampai kepada pemahaman akan Tuhan sebagai akhir dari pencarian manusia sepanjang hidupnya.
Apa yang digagas oleh Spinoza dan Hegel berkaitan dengan tema tentang “Yang Absolut,” saya tidak mengklaim bahwa kedua filsuf ini mengajukan gagasan yang salah untuk memahami siapakah Tuhan itu. Pun juga tidak mengatakan bahwa mereka menyodorkan gagasan-gagasan yang benar. Dengan kata lain, saya mau mengatakan bahwa apa yang mereka gagas tentang Allah bukanlah puncak pemahaman dan pencarian akan “Yang Absolut.” Buktinya, bahwa masih ada begitu banyak filsuf yang mencoba menggeluti dunia metafisis untuk memahami Allah sebagai realitas terakhir dari penjelajahan pencarian manusia. Menurut saya, Spinoza dan Hegel telah berjuang dan memiliki cara tersendiri untuk menginterpretasikan siapakah Tuhan dalam kehidupan mereka. Misalnya: Spinoza memahami “Substansi” sebagai “itu” Dia yang Tak Terhingga atau Allah. Sedangkan Hegel memahami seluruh kenyataan Roh Mutlak sebagai “Yang Tak Terbatas” dan itulah “Allah.” Jadi, menurut saya tema yang disodorkan oleh Spinoza dan Hegel merupakan sumbangan pemikiran yang sangat penting dalam membangun keseluruhan gagasan-gagasan panorama metafisika teologi yang berbicara tentang Allah.
Saya melihat bahwa panorama metafisika Spinoza dan Hegel memberikan suatu arti penting dalam pencarian manusia akan realitas Yang Absolut. Pada zaman sekarang misalnya, ada banyak orang mencari Tuhan dalam kehidupan mereka dengan berbagai cara sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Akibatnya, agama ditinggalkan karena mereka tidak menemukan apa yang mereka idam-idamkan dalam hidup mereka, yakni Tuhan sang Maha cinta. Maka, melihat realitas yang demikian, saya berpendapat bahwa sangat penting bagi manusia zaman sekarang untuk mempelajari berbagai konsep yang diajukan oleh para filsuf yang pada akhirnya membawa manusia sampai kepada pemahaman akan Allah sang realitas Absolut. Tetapi, dalam memahami realitas Yang Absolut itu, kita tidak boleh berhenti pada satu pandangan saja. Pun juga kita tidak boleh dipengaruhi oleh pandangan tertentu untuk berbalik dari iman kita. Sebaliknya, kita memahami semua gagasan yang ada dengan tujuan untuk membantu kita berpikir dan berefleksi sejauh mana kita memahami siapakah Allah itu. Karena hanya dengan cara demikian kita dibantu untuk sampai kepada pemahaman akan Allah sebagai tujuan terakhir dari pencarian dan pergulatan batin di dunia ini.

4. Kesimpulan

Apa yang dapat disimpulkan dari gagasan yang disodorkan oleh kedua filsuf ini berkaitan dengan pemahaman mereka terhadap Yang Absolut itu? Menurut saya, ada dua poin yang dapat disimpulkan dari filsafat Spinoza dan Hegel atas sumbangan mereka terhadap pertanyaan siapakah Allah. Pertama: Spinoza memperlihatkan konsep metafisika teologi dari sudut pandang “Substansi” sebagai itu Dia Yang Tak Terhingga dan akhirnya dipahami sebagai Allah. Bagi Spinoza, segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah berasal dari Allah. Jadi, alam juga merupakan suatu substansi. Dengan kata lain, Allah dan alam merupakan satu kenyataan tunggal yang memiliki satu “Substansi.” Kedua: Dalam filsafat Hegel, konsep Allah secara metafisis dilihat dari sudut pandang “Roh Mutlak” sebagai “itu” Dia Yang Absolut, yang Murni, dan yang tunggal. Bagi Hegel, seluruh kenyataan itu tidak lain dan tidak bukan adalah Roh Mutlak. Manusia dan substansi duniawi lain adalah fase dan bagian dari proses penjelmaan dari Roh Mutlak.
Sebagai catatan kritis saya terhadap filsafat Spinoza adalah bahwa Spinoza tidak konsisten dengan gagasan yang dia ajukan, karena ia menggabungkan Allah dan Alam menjadi satu realitas yang memiliki satu kesatuan. Menurut saya, dengan menggabungkan Allah dan alam menjadi satu kesatuan yang memiliki substansi yang sama, maka Spinoza mereduksi individualitas, kebebasan, dan tanggungjawab manusia. Dengan kata lain bahwa Spinoza menolak personalitas. Lalu, pertanyaannya adalah di manakah tanggungjawab manusia?

Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, Anton, Ontologi Metafisika Umum, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Bertens, K. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, Jakarta: Gramedia, 1988.

------Filsafat Barat Abad XX, Jilid II, Jakarta: Gramedia, 1985.

Budi Hardiman, F. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004.

Hamersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1984.

Petrus L. Tjahjadi, Simon, Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Riyanto, Armada, Metafisika (Diktat Kuliah), Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2004.

-------Pengantar Filsafat (Diktat Kuliah), Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2002.

1 Dr. Armada Riyanto, Metafisika (Diktat Kuliah), Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2002, hlm. 24.

2 Dr. Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1984, hal. 9.
3 Ortodoks adalah suatu ajaran yang berpegang teguh pada ajaran resmi, misalnya ajaran resmi dalam sebuah agama yang diyakini secara mendalam
4 Dr. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004, hal. 45.
5 K. Bertens, Filsuf-filsuf Besar tantang Manusia, Jakarta: Gramedia, 1988, hal. 74.
6 Ibid, hal. 74.
7 Simon Petus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 213.
8 Ibid, hal. 103.

Minggu, 23 Maret 2008

OPTION FOR THE POOR: Suatu tinjauan atas Sollicitudo Rei Sosialis 42

Oleh: Blasius Baene
I. Pendahuluan

Kemiskinan dan penindasan merupakan sebuah keprihatinan sosial yang tidak hanya mengakibatkan kemelaratan manusia, tetapi lebih dari itu, kemiskinan dan penindasan mengakibatkan sesuatu yang lebih tragis dalam diri manusia, yaitu manusia mati sebelum waktunya. Konflik sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia mengakibatkan peningkatan jumlah angka kemiskinan. Peperangan yang terjadi di berbagai wilayah membuat ruang gerak manusia semakin terbatas dan terisolasi sehingga manusia semakin melarat dan semakin terdiskriminasi.
Indonesia merupakan sebuah negara yang mempunyai jumlah penduduk terbanyak di dunia. Namun, persoalan kemiskinan di negara kita merupakan sebuah persoalan sosial yang tidak pernah kunjung selesai pembahasannya. Bahkan, realitas krisis ekonomi, sosial dan politik yang terjadi di negara kita semakin memperburuk keadaan hidup orang-orang miskin. Dari 200 juta penduduk Indonesia, jumlah penduduk miskin yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2006 adalah 39,05 juta orang atau 17,75 % dari total jumlah penduduk Indonesia.[1] Dan ternyata angka kemiskinan yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006, tidak mengalami perubahan pada tahun 2007. Dengan kata lain, angka kemiskinan pada tahun 2007 sama seperti pada tahun 2006.[2]
Dengan demikian, angka kemiskinan di atas memperlihatkan kepada kita bahwa kemiskinan merupakan sebuah persoalan sosial yang membutuhkan perhatian khusus dari berbagai elemen masyarakat dunia. Harus diakui bahwa dalam mengentaskan kemiskinan, pemerintah telah melakukan suatu upaya untuk memberantas kemiskinan dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada warga miskin. Tetapi, kendatipun demikian fakta menunjukkan bahwa kemisikinan di Indonesia masih merupakan sebuah problem sosial. Jadi, apa yang dilakukan oleh pemerintah masih sebatas wacana untuk menarik perhatian masyarakat yang tidak mampu. Pemerintah belum mempunyai keseriusan dalam mengentaskan kemiskinan sebagai sebuah persoalan sosial yang harus diselesaikan.
Berangkat dari realitas kemiskinan di Indonesia dan di dunia, penulis mengangkat tema tentang kemiskinan (option for the poor) dengan bertolak dari apa yang digagas dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II.

II. Latar belakang Munculnya Sollicitudo Rei Socialis (SRS)

Sollicitudo Rei Socialis (SRS) merupakan Ajaran Sosial Gereja yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 30 Desember 1987. Ada dua alasan mendasar yang menyebabkan munculnya ensiklik ini, yaitu: pertama: untuk memperingati 20 tahun munculnya Populorum Progressio (PP) yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada tanggal 26 Maret 1967. Kedua: perhatian Paus Yohanes Paulus II terhadap ensiklik Populorum Progressio, terutama berkaitan dengan tema tentang “perkembangan.” Artinya Paus Yohanes Paulus II merasa prihatin atas kondisi real yang terjadi sehingga dia menanggapi situasi jaman yang semakin hari semakin berkembang dan berubah.
Situasi jaman yang dimaksud mencerminkan realitas keterbelakangan serta kemiskinan dan penindasan di tengah orang-orang yang memiliki kekayaan. Paus Yohanes Paulus II melihat bahwa realitas ini menuntut sebuah seruan yang berasal dari Gereja sebagai penjaga kesinambungan dan pembaharuan yang terus-menerus (SRS 3). Dan inilah yang merupakan ciri khas Gereja, bahwa Gereja terus-menerus memelihara tradisi yang ada untuk memberikan pengarahan dan pengajaran kepada setiap manusia. Tetapi, disamping itu perlu juga ada suatu usaha pembaharuan yang sesuai dengan situasi jaman yang dihadapi.
Apa yang digagas dalam Populorum Progressio 20 tahun yang lalu berkaitan dengan “perkembangan,” dinilai tidak memberikan suatu hasil yang bersifat positif. Hal ini dapat kita lihat dari tema tentang “perkembangan” yang terus-menerus diulang dalam keseluruhan dokumen Sollicitudo Rei Socialis. Kalau dalam Populorum Progressio Paus Paulus VI begitu yakin dengan “perkembangan,” sebaliknya Paus Yohanes Paulus II justru melihat sebuah kemerosotan di mana harapan akan perkembangan yang pada saat itu masih kuat, ternyata jauh belum terlaksana (SRS 12). Justru yang terjadi adalah jurang pemisah antara yang kaya dan miskin, antara Utara dan Selatan, antara Barat dan Timur (SRS 14), dan lahirnya kemiskinan baru. Oleh karena itu, dalam menghadapi berbagai perkembangan, Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa “Gereja harus membuka suatu perspektif baru yang dapat mendinamisir proses perkembangan,” sehingga perkembangan berubah dari peradaban materialis menjadi budaya kasih.[3] Dengan demikian, SRS mencoba membaca tanda-tanda jaman dan menafsirkannya dalam terang Injil.[4]

III. Skema Pembahasan

3.1. Perkembangan Sollicitudo Rei Socialis

Sollicitudo Rei Socialis (SRS) sebagai Ajaran Sosial Gereja banyak membahas tema-tema tentang “perkembangan” sebagaimana telah diawali dalam ensiklik Populorum Progressio oleh Paus Paulus VI. Namun, “perkembangan” yang dimaksud dalam SRS mempunyai pengertian yang berbeda dengan Populorum Progessio. Dalam Populorum Progessio, “pekembangan” diartikan sebagai nama baru untuk perdamaian.5 Perdamaian yang dimaksudkan oleh Paus Paulus VI adalah perdamaian yang berkaitan dengan kemajuan/perkembangan yang tidak hanya terbatas dalam bidang kehidupan ekonomi,6 melainkan perkembangan yang mencakup seluruh medan hidup manusia, termasuk kebudayaan, agama, dan moral.7 Dari pengertian ini kita melihat bahwa Paus Paulus VI mempunyai suatu keyakinan yang sangat optimis terhadap realitas perkembangan. Tetapi, Sollicitudo Rei Socialis melihat suatu kemerosotan tehadap nilai-nilai perkembangan. Artinya, seruan “perkembangan” yang digaungkan dalam Populorum Progressio tidak mempunyai sumbangan yang berarti, bahkan “perkembangan” yang diagaungkan oleh Populorum Progressio telah pudar seiring dengan munculnya berbagai ketimpangan sosial, antara lain: kesenjangan antara Utara dan Selatan (SRS 14), lahirnya kemiskinan baru yang menjadi khas dalam masyarakat makmur, keterbelakangan sosial dan ekonomi (SRS 15), kebobrokan elite lokal (SRS 16), persoalan perumahan yang semakin sulit (SRS 17), masalah peningkatan pengangguran (SRS 18), utang internasional (SRS 19), masalah pembagian dunia dalam dua blok besar antara Barat dan Timur berdasarkan ideologi, politik dan militer yang kemudian berdampak pada negara-negara yang sedang berkembang (SRS 20-21) dan lebih diperparah lagi bahwa masing-masing kedua blok yang saling tegang cenderung mengarah pada neokolonialisme (SRS 22), perdagangan senjata dan alat-alat perang (SRS 23), dan pengontrolan terhadap penduduk secara tidak manusiawi (SRS 24).
Sollicitudo Rei Socialis ternyata tidak hanya menguraikan hal-hal yang bersifat negatif, tetapi juga ensiklik ini mengangkat nilai-nilai yang bersifat positif. Misanya: munculnya kesadaran akan keprihatinan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), keinginan untuk bekerjasama dalam membangun sebuah visi untuk mengangkat martabat manusia, kesadaran akan nilai-nilai ekologi atau lingkungan,8 keinginan untuk menciptakan suatu perdamaian dan saling hormat menghormati antara sesama manusia (SRS 26). Kesadaran terhadap perdamaian mengarahkan setiap orang untuk mengembangkan nilai-nilai manusia sejati (SRS 27-34) dan sekaligus melihat bagaimana dimensi teologis dari perkembangan tersebut (SRS 35-40).

3.2. Isi Sollicitudo Rei Socialis 42 tentang Option for the Poor (To See)

Setelah melihat latar belakang dan perkembangan Sollicitudo Rei Socialis (SRS) secara keseluruhan, kini penulis menguraikan beberapa poin penting dari apa yang digagas dalam SRS 42 berkaitan dengan tema tentang “kemiskinan” (option for the poor). Beberapa gagasan pokok yang diutarakan dalam SRS 42 adalah sebagai berikut:
· Ajaran Sosial Gereja “harus terbuka” bagi persepektif internasional seturut haluan Konsili Vatikan II,9 ensklik-ensiklik terakhir, 10 dan ensiklik yang sedang kita kenangkan.11
· Pilihan atau sikap mengutamakan kaum miskin, yaitu pilihan atau bentuk khusus prioritas dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani. Pilihan atau sikap itu, mewarnai kehidupan setiap orang Kristen sejauh ia berusaha meneladan kehidupan Kristus.
· Cinta kasih yang mengutamakan kaum miskin dan keputusan-keputusan yang diilhamkan kepada kita, “harus merangkul mereka yang lapar, serba kekurangan, tunawisma, tuna pelayanan kesehatan, dan terutama mereka yang tidak mempunyai harapan akan masa depan yang lebih cerah.”
· Memberi perhatian pada gejala-gejala kemiskinan yang makin menjadi-jadi, sebab kaum miskin bukannya berkurang melainkan semakin banyak, dan tidak hanya terjadi di negara-negara yang belum maju, tetapi juga di negara-negara yang sudah maju.
· Menegakkan asas karakteristik ajaran sosial Kristiani: harta benda dunia pada awalnya dimaksudkan bagi semua orang. Hak atas milik perorangan memang berlaku dan perlu, tetapi tidak menghapus prinsip-prinsip itu. Kenyataannya, milik perorangan itu terikat pada kewajiban sosial justru berdasarkan prinsip bahwa harta benda diperuntukkan bagi semua orang. Demikian pula jangan dilupakan bentuk khas kemiskinan sebagai sebuah bentuk keprihatian terhadap kaum miskin, yaitu bila orang dirampas hak-hak asasi manusiawinya, khususnya hak atas kebebasan beragama, dan hak atas kebebasan berprakarsa di bidang ekonomi.

3.3. Nilai yang dipromosikan oleh SRS dalam Terang Option for the Poor

Setelah melihat beberapa poin penting yang disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam SRS 42 berkaitan dengan kemiskinan, maka yang menjadi pertanyaan bagi kita selanjutnya adalah “nilai-nilai apakah yang ingin dipromosikan oleh dokumen ini kepada kita?” Berangkat dari pertanyaan ini, penulis melihat bahwa melalui ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, Paus Yohanes Paulus II ingin mewujudkan sebuah pembaharuan berkaitan dengan perkembangan kemiskinan yang semakin hari semakin berkembang sebagaimana ditampakkan dalam SRS 42.
Dalam mengatasi berbagai kesenjangan terhadap aspek sosial politik dan ekonomi yang mengakibatkan berkembangnya kemiskinan, Paus Yohanes Paulus II mencoba menganalisa persoalan ini dari sudut pendang refleksi teologis. Dari sudut pendang refleksi teologis, salah satu persoalan yang dilihat sebagai persoalan sosial adalah dosa struktural. Dosa struktural berakar dalam pribadi-pribadi manusia yang kemudian berhubungan dengan tindakan-tindakan konkrit manusia (SRS 36).12 Akibat dari struktur seperti ini menghantar manusia ke dalam sikap “egoisme” yang menjadi salah satu faktor penghambat realitas perkembangan sosial manusia, terutama mereka yang berada dalam garis kemiskinan, karena masing-masing pribadi mempunyai ambisi untuk mencari keuntungan dan haus akan kekuasaan.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan usaha perkembangan bagi seluruh umat manusia, sikap “egoisme” harus dibuang dan perlu diusahakan suatu nilai yang baru, yaitu “solidaritas.” Solidaritas yang dimaksudkan oleh SRS bukan soal perasaan belaskasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal karena nasib buruk yang dialami oleh sekian banyak orang di dunia. Sebaliknya, solidaritas yang dimaksudkan oleh SRS adalah solidaritas sebagai “tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya kepada kesejahteraan semua orang dan setiap perorangan, karena kita semua bertanggungjawab atas semua orang.”13 Dengan demikian, solidaritas merupakan sebuah nilai yang harus dibina secara terus menerus, karena solidaritas mengandaikan adanya pihak yang saling bekerjasama dalam mewujudkan sebuah cita-cita menuju kesejahteraan umum (bonum commune). Namun, harus disadari bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan umum, hanya terjadi apabila kita bersatu dengan pengalaman Yesus yang rela solider dengan manusia terutama untuk mereka yang miskin. Dan inilah yang diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam SRS 42, bahwa pilihan mengutamakan dan bersatu dengan orang miskin hanya terwujud apabila kita sebagai orang Kristen berusaha untuk meneladan hidup Kristus. Dengan demikian, usaha kita untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan sikap solider bersama dengan orang-orang miskin harus berangkat dari iman Yesus sendiri.

3.4. Tanggapan terhadap Option for the Poor dalam SRS 42 (To Judge)

Tema tentang kemiskinan yang dibahas dalam SRS 42 merupakan salah satu persoalan mendasar dan sekaligus menjadi perhatian Paus Yohanes Paulus II dalam menanggapi realitas “perkembangan” sosial manusia. Kemiskinan dilihat sebagai salah satu bentuk keprihatinan sosial dewasa ini dalam hubungannya dengan perkembangan manusia di dunia. Wajah kemiskinan di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya yang mencapai angka 17,75 % atau sekitar 39,05 juta orang miskin di Indonesia, menantang kita khususnya orang Kristiani untuk menjawab realitas sosial seperti ini. Tantangan yang dimaksud adalah bagaimana kita menangapi berbagai persoalan sosial terutama persoalan “kemiskinan” yang meliputi seluruh kehidupan manusia.
Dalam menanggapi SRS 42, saya melihat bahwa Paus Yohanes Paulus II sungguh-sungguh memberi perhatian pada persoalan kemiskinan, karena kemiskinan mencakup keseluruhan dimensi sosial kehidupan manusia. Dalam SRS 42, Paus Yohanes Paulus II memperlihatkan bahwa pilihan atau sikap mengutamakan kaum miskin merupakan sebuah prioritas dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani. Cinta kasih dalam mengutamakan kaum miskin bukanlah sekadar cinta yang diungkapkan dalam teori, tetapi cinta yang sungguh-sungguh merangkul mereka yang lapar, yang disingkirkan dalam kehidupan sosial masyarakat, serba kekurangan, tunawisma, dan mereka yang tidak mempunyai harapan akan masa depan yang lebih cerah.
Dalam SRS 42, Paus Yohanes Paulus II melihat bahwa keberpihakan dengan kaum miskin merupakan wujud utama untuk melaksanakan cinta kasih Kristiani yang didasarkan pada cinta Allah sendiri kepada manusia. Oleh karena itu, Gereja harus membuka diri terhadap berbagai persoalan sosial baik dalam skala nasional maupun internasional. Dan secara khusus kita melihat bahwa Paus Yohanes Paulus II memberi perhatian yang sangat besar terhadap gejala-gejala kemiskinan sebagai peroalan sosial yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, Paus Yohanes Paulus II mendesak agar Gereja menyadari tugas perutusannya sebagai pewarta Sabda Allah kepada kaum miskin, kaum tertindas, dan orang-orang yang disingkirkan dari kalangan masyarakat.
Yohanes Paulus II mendesak agar Gereja memberi perhatian terhadap berbagai gejala kemiskinan yang semakin hari semakin berkembang di berbagai negara di dunia dan khususnya di Indonesia. Gereja tidak boleh menutup mata terhadap realitas kemiskinan, sebab dengan menutup mata terhadap realitas sosial yang menyangkut martabat manusia berarti sama dengan menindas dan menambah penderitaan manusia. Sebaliknya, dengan memberi perhatian dan mengutamakan kaum miskin berarti kita turut menentang ketidakdilan dan memperjuangkan pembebasan yang senantiasa diharapkan oleh kaum terpinggir.14 Inilah yang dicanangkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam SRS 42, yaitu membangun kesadaran setiap manusia terutama Gereja untuk melibatkan diri dalam berbagai persoalan sosial kemiskinan yang tidak hanya menjadi perhatian satu orang tetapi semua orang di muka bumi ini.

3.5. Keterlibatan Sosial Gereja Masa Kini

Realitas kemiskinan merupakan sebuah realitas sosial yang patut mendapat perhatian dari berbagai pihak termasuk Gereja. Keterlibatan sosial Gereja dalam menanggapi realitas kemiskinan merupakan keterlibatan sosial yang didasarkan atas keterlibatan dan keberpihakan Yesus terhadap kaum miskin, kaum tertindas, kaum pendosa, dan lain sebagainya. Namun, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah sejauh mana Gereja masa kini melibatkan diri dalam berbagai persoalan sosial terutama persoalan kemiskinan? Apakah Gereja benar-benar memberi perhatian dalam memperhatikan nasib manusia yang semakin hari semakin digerogoti oleh ketakutan akibat kemiskinan? Bagaimana Gereja menjawab persoalan kemiskinan yang begitu kompleks dalam realitas hidup manusia?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mengundang kita untuk menemukan sebuah cara baru dalam menanggapi realitas kemiskinan sebagai salah satu persoalan yang merangkul semua dimensi kehidupan manusia. Melalui SRS 42, Yohanes Paulus II mengajak Gereja untuk membuka diri terhadap persoalan dunia yang semakin kompleks. Arus globalisasi yang merasuk ke dalam dunia membuat persaingan dan kesenjangan ekonomi yang tidak sehat antara manusia maupun negara. Akibatnya, masyarakat yang tidak dapat bersaing secara ekonomi dalam arus perkembangan globalisasi ini semakin tertindas, semakin tersingkirkan. Jadi, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin bahkan semakin tertindas karena mereka tidak mempunyai daya untuk menyaingi orang-orang yang mempunyai modal secara ekonomi.
Pertanyaan bagi kita adalah Gereja berbuat apa dalam menghadapi situasi globalisasi yang membuat kesenjangan antara yang kaya dan miskin secara ekonomi, sosial dan politik? Sekali lagi, Paus Yohanes Paulus II melalui SRS 42 mengundang Gereja untuk membuka hati dan mata dalam menghadapi berbagai persoalan sosial yang semakin berkembang. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa Gereja tidak mempunyai solusi teknis atas berbagai permasalahan sosial mengingat bahwa Gereja bertugas bukan di bidang ekonomi atau politik. Oleh karena itu, yang menjadi keprihatinan utama Gereja adalah persoalan martabat manusia.15 Martabat manusia tidak boleh tidak dapat direndahkan menjadi sekadar persoalan teknis semata. Martabat manusia mempunyai nilai yang luhur lebih dari segala-galanya karena dia adalah gambaran dan ciptaan Allah. Oleh karena itu, martabat manusia harus dihargai dan dihormati. Jadi, tugas Gereja di tengah badai kemiskinan yang tidak hanya memiskinkan dan menindas manusia, tetapi juga merampas dan merendahkan martabat manusia adalah mengangkat keluhuran martabat manusia sebagai ciptaan Allah.
Perhatian terhadap orang-orang yang tertindas, yang miskin, dan yang tidak mempunyai harapan dan lain sebagainya mendorong Gereja untuk tetap “eksis” dalam meneruskan solidaritas dan keberpihakan Yesus terhadap kaum miskin, pendosa, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sebagai umat Kristen kita harus lebih mendekati saudara-saudara kita yang miskin dan lemah dalam ketulusan hati serta persaudaraan dan selalu siap menolong mereka. Kita harus mempertajam solidaritas kita dengan kaum miskin. Oleh karena solidaritas itu adalah masalah dan perjuangan kaum tertindas dan kaum miskin, maka kita juga harus menjadikan solidaritas itu sebagai masalah dan perjuangan kita,16 sebab solidaritas yang nyata adalah solidaritas dengan orang miskin, tertindas, tersisih, terpinggirkan baik secara ekonomi, sosial maupun politik.17 Solidaritas berarti memihak mereka yang belum memperoleh hak. Solidaritas tidak sama dengan persaudaraan semua orang. Solidaritas adalah perjuangan oleh mereka yang tersisih dan bagi mereka yang tersisih untuk mengubah wajah kemiskian, ketidakadilan dan segala bentuk penindasan. Solidaritas adalah usaha untuk melawan ketidakadilan dan berjuang untuk menciptakan perdamaian dan keadilan bagi mereka yang diperlakukan kurang adil.
Dengan menekankan solidaritas sebagai bentuk kepedulian sosial Gereja, berarti Gereja mengambil akar pokok keterlibatannya dalam Injil, yaitu Yesus yang berpihak kepada orang-orang miskin, pendosa, dan mereka yang dikucilkan dari kalangan masyarakat. Keterlibatan Yesus dalam diri orang miskin merupakan perwujudan cinta kasih Allah kepada semua orang. Atau dengan kata lain, pilihan mendahulukan kaum miskin merupakan pilihan yang berpangkal pada kasih karunia Allah demi terwujudnya Kerajaan Allah sebagaimana diproklamirkan oleh Yesus.18 Oleh karena itu, keterlibatan sosial Gereja dalam menanggapi realitas sosial kemiskinan harus ditampakkan melalui pewartaan Sabda Allah yang meliputi perikehidupan manusia maupun masyarakat luas pada umumnya.19 Gereja harus menentang segala bentuk ketidakadilan, kekerasan, kejahatan kaum penguasa, dan penindasan yang senantiasa dialamatkan kepada orang-orang miskin sebagai kaum lemah secara ekonomi. Gereja harus ambil bagian dalam persoalan kemiskinan untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang tidak hanya dinikmati oleh satu orang melainkan oleh semua orang. Gereja harus berjuang untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai bonum commune dalam semua golongan manusia tanpa kecuali.

IV. Relevansi (To Act)

Pertanyaan selanjutnya yang kita ajukan adalah apakah ensiklik SRS ini masih relevan dalam situasi zaman sekarang? Jawabannya adalah “tentu” SRS ini masih sangat relevan dalam situasi zaman sekarang. Menurut penulis, beberapa poin yang dapat dijadikan sebagai relevansi dari SRS ini adalah sebagai berikut:

1. A Preferential for the Poor

Pilihan mengutamakan orang miskin adalah merupakan pilihan untuk mengamalkan cinta kasih Kristiani dan secara khusus mewujudkan keterlibatan Yesus terhadap orang miskin. Lalu, apa yang harus dibuat oleh Gereja? Jika melihat kembali angka kemiskinan di Indonesia yang mencapai 17,75 % atau 39,05 juta orang, maka saya melihat bahwa Gereja harus berpihak kepada mereka yang miskin. Pelayanan Gereja “harus” pertama-tama diperuntukkan bagi mereka yang miskin baik secara ekonomi maupun secara spritual. Gereja harus berjuang untuk membebaskan orang miskin dari tindakan kemiskinan. Gereja jangan hanya bicara sementara pelaksanaannya tidak ada. SRS mengajak Gereja untuk memperhatikan kehidupan kaum miskin secara nyata. Tetapi, yang ingin dibangun oleh Gereja bukan hanya ekonomi, tetapi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan, membuka lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya.

2. Budaya Lingkungan

Persoalan lingkungan akhir-akhir ini telah menjadi persoalan dunia. Pemanasan global kini menjadi perhatian dunia. Lumpur Lapindo yang hingga sampai saat ini belum dapat ditangani telah merusak lingkungan yang tidak hanya menyebabkan kerugian secara material tetapi juga menyebabkan kerusakan alam terutama tempat tinggal manusia. Saya sendiri tinggal di Porong selama satu bulan dan di sana saya menyaksikan betapa masyarakat menderita, bukan hanya karena kehilangan pekerjaan, tetapi juga karena kehilangan tempat tinggal. Oleh karena itu, saya melihat bahwa untuk mengatasi kerusakan lingkungan, perlu dibentuk sebuah lembaga hukum yang sungguh-sungguh mencintai dan peduli pada nilai-nilai lingkungan.
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma, J.B. SJ, Aspek-aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

-------Kemiskinan dan Pembebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

-------Mewartakan dalam Kebebasan, Orientasi Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Chen, Martin, Pr, Teologi Gustavo Gutierrez (Refleksi dari Praksis Kaum Miskin),
-------Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Dopo, Eduard R. Keprihatinan Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Hardiwiryana, R. SJ, (Alih Bahasa), Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1981 sampai 1991 dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Jakarta: Departemen
-------Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999.

Kieser, B. SJ, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Kristiyanto, Eddy, OFM, Diskursus Sosial Gereja sejak Leo XIII, Malang: Dioma, 2003.

Soetoprawiro, Koerniatmanto, Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme (Memahami
--------Keterlibatan Sosial Gereja), Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Spektrum, Dokumentasi dan Informasi KWI, No. 1 Tahun XXXV 2006.

Catatan kaki

[1] Kecuk Suhariyanto, Di Balik Angka Kemiskinan, Kompas, 14 Septembar 2006, hal. 6.
[2] Suhardi Suriyadi, Minyak dan Kemiskinan, Kompas, 26 November 2007, hal. 6.
[3] B. Kieser, S.J, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal. 179. Bdk. Sollicitudo Rei Socialis art. 33.
[4] Eddy Kristiyanto, Diskursus Sosial Gereja sejak Leo XIII, Malang: Dioma, 2003, hal. 182.
5 Ibid, hal. 118.
6 Paulus Budi Kleden, Si vis Pacem, Para Progressionem Oeconomicam (Sebuah Refleksi Teologis tentang Keadilan dalam bidang Ekonomi), dalam Spektrum, Dokumentasi dan Informasi KWI (Sidang Sinodal KWI 2006), No. 1 Tahun XXXV, 2007, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2007, hal. 89.
7 B. Kieser, SJ, “Perkembangan” wujud Keterlibatan Sosial Gereja? Wajah Gereja yang Baru? Dalam J.B. Banawiratma, SJ, Aspek-aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hal. 122.
8 Akhir-akhir ini kesadaran akan pelestarian ekologi semakin menjadi perhatian dunia. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai media massa yang selalu mengangkat tema-tema aktual tentang lingkungan berkaitan dengan “pemanasan global” (global warming). Dan di Bali sejak tanggal 3-14 Desember yang lalu diadakan sebuah konferensi tentang “Pemanasan Global” (global warming) yang diikuti oleh 189 negara di seluruh dunia, Jawa Pos, 5 Desember 2007, hal. 4.
9 Gaudium et Spes 83-90: “Pembangunan Masyarakat Internasional.”
10 Mater et Magistra, Pacem in Terris, dan bagian 4 Octogesima Adveniens 2-4.
11 Populorum Progeressio.
12 J.B. Banawiratma, SJ, Pilihan mengutamakan kaum miskin dalam Ajaran Sosial Gereja, dalam J.B. Banawiratma, SJ, Aspek-aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hal. 171.
13 Eddy Kristiyanto, Diskursus Sosial Gereja sejak Leo XIII, Malang: Dioma, 2003, hal. 193.
14 J.B. Banawiratma, SJ, Pilihan Mengutamakan Kaum Miskin dalam Ajaran Sosial Gereja, dalam J.B. Banawiratma, SJ, Aspek-aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hal. 157.
15 Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme (Memahami Keterlibatan Sosial Gereja), Yagyakarta: Kanisius, 2003, hal. 51.
16 J.B. Banawiratma, SJ, Mewartakan dalam Kebebasan, Orientasi Baru No. 5, Tahun 1991, Yagyakarta: Kanisius, 1991, hal. 146.
17 Ibid, hal. 151.
18 Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez (Refleksi dari Praksis Kaum Miskin), Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 122.
19 Koerniatmanto Soetoprawiro, Op. Cit, hal. 57.