Minggu, 17 Agustus 2008

TELAAH TENTANG FUNGSIONALITAS KONFLIK DALAM MASYARAKAT MENURUT LEWIS A. COSER


Oleh: Blasius Baene

I. Pendahuluan

Konflik atau perselisihan yang terjadi dalam masyarakat, seringkali dianggap sebagai suatu masalah yang sangat kompleks, di mana kedua belah pihak yang sedang bertikai atau berselisih tidak mampu tidak mampu menciptakan suatu perdamaian, baik dalam relasi maupun dalam kehidupan sosial lainnya. Lewis A. Coser, seorang ahli sosioligi terkenal dari Amerika justru mempunyai pandangan lain terhadap konflik. Coser berpendapat bahwa konflik justru memiliki “fungsionalitas” positif dalam masyarakat. Hal ini dia gagas dalam bukunya yang berjudul: “The Functions of Social Conflict.”

Lewis A. Coesr lahir di Berlin-Jerman pada tahun 1913 dan memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Columbia. Kemudian, selama beberapa waktu, dia mengajar di universitas Chicago. Sebagian besar karir akademisnya dihabiskan di universitas Brandeis. Sejak tahun 1968, Coser menjadi Profesor luar biasa untuk bidang sosiologi di universitas negeri New York dan Stony Brook.

II. Pokok Masalah

Salah satu teori sosiologi yang berpengaruh di Amerika pada tahun 1950-an adalah “teori struktural fungsional.” Teori ini menekankan proses-proses sosial yang didasarkan pada konsensus nilai dan memandang masyarakat dari sisi solidaritas, integrasi, dan keseimbangan. Namun, para Sosiolog menganggap teori ini sebagai salah satu teori yang menutup mata terhadap konflik yang selalu melekat dalam setiap masyarakat. Dalam hal ini, teori fungsional struktural tidak melihat realitas bahwa masyarakat sesungguhnya dipenuhi oleh berbagai ketegangan dan selalu berpotensi untuk melakukan konflik. Teori fungsional cenderung melihat masyarakat berada dalam suatu posisi yang aman, damai, tentram, bersatu tanpa adanya konflik di antara mereka.

Melihat gejala konflik yang kerapkali terjadi dalam struktur sosial masyarakat, para ahli sosiologi menyumbangkan berbagai gagasan atau ide-ide untuk memecahakan aneka konflik yang ada dalam masyarakat. Misalnya: G. Simmel dan Max Weber mengatakan bahwa konflik tidak dapat dihindarkan dalam realitas sosial masyarakat, tetapi konflik memainkan peranan positif dalam mempertahankan masyarakat, yaitu memupuk rasa pemersatuan. Tetapi setelah mereka, kata “konflik” tidak terdengar lagi kecuali dalam arti yang negatif. Artinya, ada suatu paradigma baru yang menuntun para Sosiolog untuk memmberi top-ranking terhadap konsep “kesesuaian paham” atau konsensus sebagaimana terdapat dalam teori struktural fungsional. Sedangkan “konflik atau perselisihan” dilihat sebagai destruktif atau patologi masyarakat yang kemudian menghancurkan struktur relasi sosial masyarakat itu sendiri.

III. Pembahasan

Apa yang terjadi dalam tahun 1950-an mendorong Lewis A. Coser untuk menganalisa konflik yang dianggap sebagai destruktif atau patologi masyarakat oleh penganut teori struktural fungsionalisme. Dalam hal ini Coser mengawali pendekatannya dengan kecaman terhadap nilai atau konsensus normatif, keteraturan dan keselarasan.

Dalam kajian sosiologisnya, Coser berpendapat bahwa tidak selamanya konflik berkonotasi negatif, tetapi sebaliknya konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat menjadi suatu proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan kelompok sosial. Fungsi konflik yang positif dikemukakan oleh Coser dalam dinamika kelompok-dalam (in-group) versus hubungan kelompok luar (out-group). Kekuatan solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam, akan meningkat karena permusuhan atau konflik yang terjadi dengan kelompok luar bersifat lebih besar. Kemudian, Coser melihat bahwa konflik yang terjadi dalam suatu kelompok bersifat positif, karena dengan adanya konflik yang tidak terelakkan antarindividu, terciptalah suatu keinginan antarindividu untuk membangun sebuah dialog guna meningkatkan kesejahteraan, dukungan sosial dan lain sebagainya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap kelompok masyarakat konflik selalu ada, karena masing-masing pihak seringkali didorong oleh berbagai kesalah-pahaman antara satu dengan yang lainnya. Bahkan, Coser mengakui bahwa semua hubungan sosial pasti memiliki tingkat antagonisme tertentu, ketegangan atau perasaan-perasaan negatif. Coser mengatakan bahwa salah satu alternatif untuk menghilangkan konflik adalah dengan menggunakan sistim “katup penyelamat” (savety value), yaitu suatu mekanisme yang dipakai untuk mempertahankan kelompok yang menghadapi konflik tanpa merusak hubungan kelompok itu sendiri. Misalnya, rasa kekecewaan, marah terhadap kelompok dapat disalurkan melalui lelucon, gambar atau lukisan dan lain sebagainya. Coser juga melihat konflik sebagai suatu stimulus untuk membentuk integrasi antarkelompok, artinya konflik sering merasa usaha untuk mengadakan persekutuan dengan kelompok-kelompok lain.

IV. Kesimpulan

Apa yang dapat disimpulkan dari teori fungsionalitas konflik sebagaimana digagas oleh Lewis A. Coser? Ada empat kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang digagas oleg Coser berkaitan dengan fungsi konflik dalam masyarakat, antara lain: Pertama: bahwa konflik konflik antara kelompok meningkatkan solidaritas internal dalam kelompok-kelmpok yang sedang mengalami situasi konflik. Kedua: konflik di dalam kelompok mencega antagonisme yang tidak dapat dihindari yang menandai semua hubungan sosial, yakni mulai dari memupuknya sampai kepada satu titik di mana hubungan itu sendiri menjadi terancam. Ketiga: konflik meningkatkan perkembangan ikatan sosial antarkelompok, termasuk kelompok-kelompok yang sedang berkonflik itu sendiri. Keempat: konflik merupakan suatu rangsangan atau stimulus utama untuk mencapai adanya perubahan sosial.

V. Refleksi

Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik adalah merupakan suatu gejala yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia. Namun, konflik yanbg terjadi dalam masyarakat bukanlah suatu persoalan yang tidak dapat diselesaikan. Saya sependapat dengan Coser yang mengatakan bahwa “tidak selamanya konflik berkonotasi negatif.” Sebaliknya, konflik memberikan fungsi positif dalam sosial masyarakat untuk untuk menyatukan kembali kelompok-kelompok yang sedang mengalami konflik sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering berhadapan dengan apa yang disebut sebagai konflik, baik konflik yang berasal dari dalam (internal) maupun konflik yang berasal dari luar (eksternal). Misalnya: dalam hidup bersma di biara, saya sering mengalami konflik dengan teman yang kemudian memunculkan konflik batin dalam diri saya. Konflik terjadi karena adanya perbedaan pendapat, perbedaan sikap, perbedaan budaya dan lain sebagainya. Apalagi saya adalah orang yang berasal dari daerah yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan teman-teman dalam komunitas. Namun, persoalannya adalah apakah konflik yang terjadi dengan teman dalam komunitas adalah sebuah bentuk destruktif atau patologi bagi kedua belah pihak? Apakah setiap persoalan yang ada tidak dapat dieselesaikan secara damai? Menurut saya, konflik yang saya alami dengan teman-teman di dalam komunitas bukanlah suatu penyakit atau sesuatu yang tidak dapat diselesaikan secara damai. Sebaliknya, konflik yang ada justru menjadi saran untuk mempertahankan keatuan kelompok apalagi sebagai satu komunitas. Mengapa? Karena dengan adanya konflik, berarti masing-masing individu maupun kelompok di dalam komunitas itu berjuang untuk membangun dialog untuk mempertahankan integritas atau kesatuan sebagai anggota komunitas teristimewa dengan kelompok lain yang berasal dari budaya yang berbeda dengan dirinya. Selain itu, konflik dapat merangsang hidup setiap kelompok untuk merubah cara pandang yang pesimistis menjadi optimis untuk bersatu dengan kelompok-kelompok lain.
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang
Sumber:
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Modern dan Klasik, Jakarta: Gramedia, 1986.

Sabtu, 16 Agustus 2008

RELIGIOSITAS KODRATI (NATURAL RELIGION

Blasius Baene
I. Konteks

Abad ketujuh belas adalah abad pertentangan antara rasionalisme dan empirisme berkenaan dengan sumber pengetahuan.[1] Rasionalisme yang dibangun oleh Rene Descartes (1596-1650) berpendapat bahwasumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah rasio (akal). Akal tidak memerlukan pengalaman. Pengalaman hanya meneguhkan pengtahuan. Sedangkan empirisme yang dibentuk oleh Francis Bacon (1561-1626) berpendapat bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Baik pengalaman batiniah maupun pengalaman lahiriah adalah sumber pengetahuan. Akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang siperoleh pengalaman.

Edward Herbert, Lord of Cherbury (1583-1648) dariInggris berangkat dari pengalaman empiris meramu kesalehan religius dan ketertarikan intelektual akan kenampakan alam menjadi sebentuk doa kepada Allah yang menciptakan-menggerakkan-menyelenggarakan dunia. Titik tolak “mencari” menghantar Edward menghampiri Allah Yang Tak Tidak-Berbatas dan Yang-Indah-Kekal. Apa yang dia temukan adalah khas personal cita rasa miliknya sendiri. Karena itu, Edward berpendapat bahwa religiositas yang lahir dari ajaran doktriner adalah palsu. Keberadaan Allah sendiri adalah sejati. Namun apa yang sejati itu tidak boleh disandarkan keapada instansi atau institusi tertentu yang menentukan apa yang harus dipercayai manusia atau apa tang harus ditinggalkan oleh manusia.

Ramuan gagasan Edward Herebert dan filsafat pencerahan melahirkan Deisme yang memberikan alas konsep religi kodrati (natural religion) pada abad ke-18 di Inggris.[2] Deisme adalah aliran yang mengakui adanya Sang Pencipta alam semesta. Akan tetapi, setelah dunia diciptakan, Sang Pencipta itu menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Allah dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Maksud dari aliran ini adalah menaklukan wahyu Ilahi beserta dengan kesaksian-kesaksiannya, yaitu Kitab Suci, kepada kritik akal serta menjabarkan religiosita menurut pengetahuan yang alamiah, bebas dari segala doktrin gerejani. Hanya akallah satu-satunya sumber pengetahuan dan patokan kebenaran.

David Hume (1711-1776) bertitik tolak dari konsep keunggulan akal yang menjadi media pengolahan pengalaman empiris di atas menghantar kita untuk selalu meragu-ragukan apa pun. Hume membedakan antecedent skepticism dan consequent skepticism.[3] Filsafat Rene Descartes dinilai oleg Hume sebagai antecedent skepticism. Filsafat ini mengajarkan pemahaman kepada Hume bahwa pengalaman meragu-ragukan sebagai proses berpikir adalah dasar keberadaan manusia (cogito ergo sum). Penekanan pada kemungkinan salahnya pengetahuan manusia dalam proses meragu-ragukan itu menolong Hume lepas dari jerat kesalahan, prasangka dan dogmatisme buta.consequent skepticism bergrak dari penemuan bahwa kemampuan manusia (indra dan akal) tidak selalu tanpa salah. Consequent Skepticism berpendapat bahwa pengetahuan sejati adalah sebuah kemustahilan.[4] Manusia harus mengoreksi bukti langsung dari indra dengan memakai akal. Tak seorang punu terikat dan menerima pandangan tertentu karena segala sesuatu mungkin adalah tidak mungkin. Manusia harus membangun teori sendiri dengan mendasarkannya sedekat mungkin dengan pengalaman dan lepas dari belenggu dogmatisme.


II. Religiositas Kodrati

2.1. Edward, Lord of Cherbury (1583-1648)

“Pengalaman adalah suatu pengetahuan yang timbuk bukan pertama-tama dari pikiran melainkan terutama dari pergaulan praktis dengan dunia.[5] Pergaulan tersebut bersifat langsung, intuitif dan afektif. Dalam mengalami sesuatu, orang pertama-tama mesra “kena” atau “disentuh.” Edward merasakan pengalaman itu pada saat ia tak mampu menembus batas keberadaannya. Ia berkata:
“Aku tak mampu mengenali dan memahami betapa besar dan baiklah penyelenggaraan-Mu yang kekal yang telah menjadikanku sebagaimana adaku sekarang, yang menghantarku masuk ke dalam dunia, sebuah ciptaan yang hidup, bebas dan dapat bernalar, bukan sebuah ciptaan tanpa rasa, namun sebaliknya mampu untuk melihat dan memahami karya-Mu yang mengagumkan sedang bekerja sekarang.[6]
Manusia dirinyalah yang dimaksudkan oleh Edward dalam doanya itu. Potensi manusia menembus batas-batas kemungkinan yang mampu dipikirkan oleh akal budi. Akal mempunyai otonomi mutlak di bidang religi. Karena itu, Edward menolak religiositas yang menjadikan pewahyuan ilahi atau ajaran doktriner sebagai dasar. Semua ajaran yang dikatakan oleh otoritas berasal dari pewahyuan harus ditinggalkan, termasuk juga religiositas kristiani.
“Teori-teori berdasarkan iman implisit, yang dipegang teguh bukan hanya di tempat kita, tetapi juga di tempat-tempat jaun lainnya, tidak ada sangkutpautnya dengan religiositas. Hal-hal dalam keprcayaan itu, seperti: nalar manusia harus ditinggalkan agar ada cukup ruang bagi iman, Gereja mempunyai hak untuk menggariskan cara-cara ibadat ilahi yang harus ditepati detail-detailnya, tak seorang pun boleh menyangsikan otoritas suci para imam dan pewarta Sabda Allah... tak dapat dipastikan kesjatan atau kepalsuannya.”[7]

Edward menawarkan pemikiran bahwa pengalaman religius adalah pengalaman rasionalisasi. Dasar pengetahuan di bidang religi adalah beberapa pengertian namun umum yang pasti bagi semua orang dan langsung tampak jelas karena naluri alamiah, yangmendahului segala pengalaman dalam pemikiran akali. Ukuran kebenaran dan kepastiannya adalah persetujuan umum segala manusia karena kesamaan akal manusia. Ada 5 azas yang harus dijadikan sebagai landasan penyusunan religiositas kodrat (natural religion), antara lain:
1. Ada pribadi yang tertinggi di antara Pribadi-pribadi yang ditinggikan (entah dengan nama apa pun mereka disebut). Ia mempunyai delapan dimensi dalam menyatakan kerahiman ilahinya yang universal (kebijaksanaan alam).

2. Sang pribadi Ilahi ini harus diakui karena kemurah-rahiman penyelenggaraan ilahinya yang karenanya manusia tergantung kepada rahmat-Nya (kerahimana khususnya).

3. Inti terpenting praktik religius adalah paduan antara keutamaan (produk dari hati nurani) dan Kesalehan. Keutamaan diramu dengan kesalehan melahirkan pengharapan, dari pengharapan sejati melahirkan iman, dari iman sejati melahirkan kasih, dari kasih sejati melahirkan kegembiraan, dari kegembiraan sejati melahirkan hidup yang terberkati.

4. Manusia karena kodratnya benci akan keburukan mereka. Tiap keburukan dan kejahatan yang nyata dalam hidup mereka harus ditebus dengan silih.

5. Atas segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, ada ganjaran untuk kebaikan atau hukuman untuk keburukan setelah kehidupan ini.

2.2. David Hume (1711-1776)

Hume menawarkan “Teori Pengenalan” yang mengajarkan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu: kesan (impression) yang berasal dari pengalaman langsung baik lahiriah maupun batiniah dan pengertian (idea) yang berasal dari perenungan atau perefleksian kembali dalam kesadaran kesan-kesan yang diterima oleh pengalaman.[8] Idea adalah gambaran samar-samar dari kesan-kesan. Tapi, karena idea adalah tembusan (kopi) dari kesan maka isi kesan dan idea adalah sama. Ketika kesan dan idea menyatu, maka lahrilah “kepercayaan.” Kepercayaan ini tidak lagi salah atau menyesatkan. Tapi, untuk sampai ke kepercayaan ini manusia harus meragu-ragukan semuanya sampai benar-benar yakin bahwa kesan dan idea adalah satu karena keterbatasan indra manusia.

A. Politeisme adalah Religi Awali Manusia

Hume berpendapat bahwa tidak ada bukti yang membuktikan bahwa ada Pribadi Tertinggi di antara Pribadi-pribadi Tinggi dan bahwa Ia menyelenggarakan dunia. Di dalam praktik, orang meengikuti “kepercayaan” yang adalah hasil abstraksi atas yang kurang sempurna saat dihadapkan kepada apa yang sempurna. “Nalar manusia bergerak dari yang inferior ke yang superior dengan mengabstraksikan apa yang kurang sempurna terbentuklah idea akan kesempurnaan, dan secara perlahan-lahan dengan membedakan bagian yang terpenting dari yang tidak penting, idea itu bertumbuh dan termurnikan menjadi yang diilahikan.”[9]
Dalam konteks ini, Hume berpendapat bahwa religiositas asali manusia adalah politeisme. Bentuk-bentuk praktik religius manusia menunjukkan bahwa manusia menemukan banyak elemen tak terlihat yang mempunyai gradasi. Gradasi itu ditentukan oleh seberapa kuat dan menakutkan ancaman dari elemen tak terlihat itu. Itulah sebabnya, Hume percaya bahwa religiositas tidak lahir dari kontemplasi atas alam semesta dan penyelidikan sebab-sebabnya, melainkan lahir dari pengharapan dan ketakutan manusia.[10]

B. Kelahiran Politeisme

Kehadiran banyak Pribadi berkuasa dalam politeisme berasal dari kesenangan manusia melebih-lebihkan dan membanding-bandingkan apa yang kurang sempurna dengan yang lebih sempurna. Padahal, apa yang sempurna adalah akal budi manusia. Karena akal budi tergerogoti khayali ini, maka lahirlah politeisme dan aneka ragam takhyul. Dalam kesadaran khayali ini, dirasakan bahwa tidaklah mungkin hanya ada satu azas saja yang mengatur semesta. Konklusi kesadaran ini adalah bahwa pasti ada banyak elemen yang mengatur alam semesta ini.

2.3. Robert A. Segal

Segal (1994) mengakui Hume telah menyediakan landasan kokoh bagi pemahaman kodrati (a non-supernatural account) atas religi dan melemahkan pengaruh para pengikut aliran Deisme.[11] Segal yaki bahwa Hume berhasil menunjukkan bahwa praktik dan kepercayaan religius manusia lahir dari penggunaan akal budi untuk megolah pengalaman indra manusiawi.[12]

A. Kelahiran Religi

Religiositas lahir tidak di suatu tempat atau pada masa tertentu. Religiositas lahir bersamaan dengan kemanusiaan karena religiositas adalah jawaban manusia atas rasa yang sifatnya universal, yakni: rasa takut. Pengakuan akan adanya rasa takut ini menyebabkan manusia mempunyai objek tetap tempat dia mengolah ketakutan dan pengharapannya. Jadi, adalah salah jika mengatakan bahwa religiositas lahir dari kesadaran akan hadirnya Pribadi Ilahi Tertinggi. “Religi tidak lahir karena perasaan atau kehadiran Pribadi Ilahi. Religi terlahir karena perasaan berhubungan dengan perasaan takut di dalam hidup. Kepercayaan kepada Pribadi Ilahi hanyalah kesimpulan dari perasaan itu. Jadi, hal tersebut lebih merupakan idea bukan kesan.”[13]

B. Dampak dari Religi

Segal memaparkan bahwa Hume menolak baik monoteisme maupun politeisme. Kedua bentuk religiositas itu menggerogoti dan menghancurkan keberadaan kodrati manusia.kodrat manusia yang berlandaskan di atas etikalah yang menunjukkan sifat baik atau jahat secara susila, bukan religi. Suatu tindak susila berlaku jika disetujui atau ditolak oleh perasaan orang-orang yang ada di sekitar pelaku. Suatu tindakan adalah baik jikalau pelakunya merasa bahwa perbuatannya melahirkan keseangan dan persetujuan mereka yang ada di sekitarnya.

Monoteisme tidak memberikan modus vivendi (alasan membiarkan terus hidup) kepada bentuk religiositas lain. Dalam kenyataannya, akibat monoteismelah manusia menjadi kejam kepada sesamanya. Fanatisme lahir dari monoteisme. Di sisi lain, walaupun politeisme membiarkan tiap manusia menemukan bentuk religiositasnya sendiri, politeisme tak mampu memberikan bentuk otentik sejati kepada akal atas pengalaman indrawi. Karena itu, Segal yakin bahwa Hume bukanlah seorang teis. Hume adalah seorang agnostis sebagaimana ia menyatakan sendiri: “Keragu-raguan, ketidakpastian, penundaan keputusan tampak sebagai satu-satunya hasil dari penyuelidikan kita yang paling akurat berkenaan dengan sebuah subjek.”[14]

III. Pencarian Manusia Kristiani Menemukan Dia Yang-Asali-Sejati

Dalam arti kata luas, kebesaran, keindahan serta ketaraturan alam semesta mewahyukan sesuatu tentang asal usulnya, yakni tentang penciptanya. Hal ini dirasakan manusia hampir segala zaman dan lingkungan kebudayaan. Banyak di antara ahli fisika (Plank, Einstein, atau Heisenberg) yakin bahwa hukum-hukum alam memperlihatkan ide-ide atau prinsip yang ada di balik fakta yang diselidiki dengan semakin menemukan dan mengetahui alam, susunan serta hukumnya. Karena gagasan mengenai “prinsip yang ada di balik fakta itu,” banyak di antara ahli fisika itu berpandangan deterministis pengikut aliran Deisme (semua sudah ditentukan dengan pasti).[15] A. Einstein (+ 1955) berkata: pengetahuan ktia tentang yang-tak-dapat-ditembus (oleh akal budi kita), tentang manifestasi rasionalitas yang amat mendalam dan tentang keindahan yang bernyala-nyala, yang dapat didekati akal budi kita hanya dengan rumus-rumus sangat sederhana, pengetahuan dan rasa itulah pokok religiositas sesungguhnya. Dalam arti ini dan hanya di arti ini, aku adalah seorang yang sangat religius.[16]

Para teolog abad ini juga tidak asing dengan sikap agnostis. Beberapa teolog modern berpendapat bahwa kehadiran Allah tidak akan ada artinya jika manusia tidak mengalaminya. Mereka yakin bahw kehadrian Allah itu adalah pengalaman insani. Karena tidak “merasa” dan tidak “menemukan” Allah, maka banyak orang merasa bahwa Allah menyembunyikan diri dalam kegelapana.[17]

Paul Tillich (1886-1974) berpendapat bahwa “ketidakhadiran” Allah disebabkan oleh pemahaman orang bahwa Allah adalah seorang pribadi yang bersemayam di atas dunia dan umat manusia. Jika Allah datang ke dunia ini, Ia datang sebagai seorang pengunjung dari “dunia sana.” Untuk mengubah paham ini, maka Allah harus dihadirkan sebagai “pokok” kepedulian dan keprihatinan tertinggi (ultimate concern) manusia. Keprihatinan manusia atau dasar manusia itulah yang disebut Allah. Karena itu, Allah tak boleh diobjektivasi atau dihadirkan sebagai sebuah entitas. Ia hanya harus ditampilkan sebagai simbol dari situasi universal manusia.[18]

Gagasan Tillich di atas dianggap kurang radikan oleh generasi yang lebih muda. Generasi baru ini melangkah lebih jauh ke arah agonstisisme dalam suatu teologi yang diberi nama “Teologi Radikal.”[19] Titik tolak ini bukan hanya kesadaran akan pentingnya dunia melainkan juga pengakuan bahwa Allah tidak penting lagi. Harus diterima bahwa bagi seorang modern Allah telah mati. Apa yang masih tinggal ialah “manusia-bagi-orang lain,” yaitu Yesus Kristus yang juga hidup dan menderita seperti kita manusia. Karena itu, tema hidup religius dan teologi yang terpenting bagi masa sekarang bukan lagi pengakuan akan Allah, melainkan kepada keterlibatan (engagement) dalam dunia.

Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang. Tulisan ini merupakan makalah/seminar yang disampaikan oleh P. Denny A. Firmanto, Pr dalam mata kuliah Seminar Teologi Sistematis. Tulisan ini kemudian saya dokumentasikan sebagai ruang untuk mengenal dan mamahami berbagai persoalan teologi.

DAFTAR PUSTAKA

H. Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

J.K. Roth, Persoalan-persoalan Filsafat Agama, Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2003.

Syukur N. Diester, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

I. Strenski, Thinking About Religion, A. Reader, London: Blacwell Publishing, 2006.

A. Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2006.

J.H.S. Kent, Christian Theology In the Eighteenth to the Twentieth Centuries. Dalam Jones, H.C. (ed), A History of Christian Doctrine, London: T & T Clark.

T. Huijbers, Mencari Allah: Pengantar ke dalam Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Catata Kaki

[1] Hadiwijono, H, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 18.
[2] Ibid, hal. 49.
[3] Roth, J.K. Persoalan-persoalan Filsafat Agama, Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2003, hal. 195.
[4] Ibid, hal. 197.
[5] Diester Nico Syukur, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hal. 21.
[6] Edwar, The Autobiography of Edward, Lord Herbert of Cherbury. Dalam Strenski I, Thinking About Religion, A. Reader, London: Blacwell Publishing, 2006, hal.1.
[7] Edward, Common Nations Concerning Religion. Dalam Strenski I, Thinking About Religion, A Reader, London: Blacwell Publishing, 2006, hal. 3.
[8] Hadiwijono, H. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 53.
[9] Hume, D. The Natural History of Religion. Dalam Strenski I. Thinking About Religion, A Reader, London: Blacwell Publishing, hal. 9.
[10] Segal, R.A. Hume’s Natural History of Religion and the Beginning of the Social Scientific Study of Religion. Dalam Strenski I, Thinking About Religion, A Reader, London: Blacwell Publishing, 2006, hal. 15.
[11] Ibid, hal. 13.
[12] Ibid, hal. 14.
[13] Ibid.
[14] R.A. Segal, Hume’s Natural History of Religion and the Beginning of the Social Scientific Study of Religion. Dalam Strenski I, Thinking About Religion, A Reader, London: Blacwell Publishing, 2006, hal. 16.
[15] Teori Determinisme ini goyang sejak penemuan Teori Kwantum.
[16] Heuken, A. Ensiklopedi Gereja, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2006, hal. 103.
[17] Bonhoeffer, Tillich dan para Teolog Allah-Mati (teologi radikal) berangkat dari gagasan ini.
[18] Kent, J.H.S. Christian Theology In the Eighteenth to the Twentieth Centuries. Dalam Jones, H.C. (ed), A History of Christian Doctrine, London: T & T Clark, hal. 572.
[19] Huijbers, T. Mencari Allah: Pengantar ke dalam Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal. 279.

Sabtu, 02 Agustus 2008

KENAIFAN ETIKA EUDAEMONISME ARISTOTELES

Oleh: Blasius Baene

Aristoteles (384-322), dalam bukunya yang berjudul “Nicomachean Ethics,” mencetuskan apa yang disebut sebagai etika “eudaemonisme” rasional (dari Yunani “eudaemon” yang berarti bahagia).

Cetusan etika “eudaemonisme” Aristotelian tampak dalam pembukaan buku “Nicomachean ethics.” Dalam pembukaan buku tersebut, Aristoteles mengatakan bahwa segala aktivitas hidup manusia terarah kepada kebaikan. Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan cetusan yang paling sempurna, ideal dan rasional dari aktivitas tindakan manusia. Namun, apa yang disebut sebagai kebahagiaan menurut Aristoteles, bukanlah sesuatu yang sudah selesai, rampung dan tuntas. Kebahagiaan harus disamakan dengan aktivitas, yaitu aktivitas mencari kebahagiaan. Dengan demikian, etika “eudaemonisme” Aristotelian adalah etika yang berhubungan dengan rasionalitas manusia.

Etika “eudaimonia” tidak hanya dipahami oleh Aristoteles. Etika ini juga telah dipahami oleh beberapa filsuf lain. Misalnya, Epicuros, kaum Epicurian dan Jeremy Bentham yang kemudian melanjutkan gagasan kaum Epicurian. Tetapi, kebahagiaan dalam cetusan Aristoteles, berbeda dengan paham Epicuros, kaum Epicurian dan Jeremy Bentham.

Gagasan “eudaimonia” dalam pemahaman Epicuros, terwujud dalam “kenikmatan” (pleasure), yaitu kenikmatan yang mengalir dari aktivitas makan dan minum (the roots of all good is the pleasure that comes from the eating and drinking). Sedangkan menurut kaum Epicurian, kebahagiaan terletak pada aktivitas dan kepuasan diri yang rendah. Tesis kaum Epicurian, kemudian dilanjutkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Bentham mengatakan, bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh dua unsur, yaitu perasaan sakit dan kenikmatan (pain and pleasure). Pengertian ini mengandaikan sebuah karakter untuk menghindari penderitaan dan mengejar kenikmatan, yaitu kenikmatan yang terbatas pada aktivitas makan dan minum.

Berbeda dengan Epicuros, Jeremy Bentham dan kaum Epicurian, Aristoteles tidak meletakkan “eudaimonia” pada “rasa, cita rasa dan kenikmatan.” Etika “eudaimonia” Aristoteles lebih mengarah kepada karakter rasional. Bagi Aristoteles, manusia dengan rasionya (akal budinya), dapat meraih kebahagiaan bagi hidupnya. Namun, menurut Aristoteles, manusia harus menjalankan aktivitasnya (akal budinya) menurut keutamaan (virtue) untuk mencapai kebahagiaan, karena aktivitas yang disertai keutamaan (virtue) dapat membuat manusia bahagia. Kebahagiaan menurut Aristoteles tidak terletak pada pengertian menikmati hasil atau prestasi, tetapi pada karakter kontemplasi rasional sebagai suatu aktivitas manusia untuk mengalami pencerahan.

Kenaifan Etika “Eudaimonia” Aristoteles

Etika “eudaimonia” Aristoteles, menghantar kita kepada sebuah pertanyaan mendasar, yaitu dimanakah letak “kenaifan” etika eudaemonisme Aristotelian? Sekali lagi, Aristoteles menggagas bahwa hidup manusia selalu terarah pada kebaikan. Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Dengan kata lain, manusia selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kedatipun ada manusia yang menginginkan penderitaan dalam hidupnya, hal itu disebabkan oleh karena situasi hidup yang dia hadapi. Artinya, manusia ingin menghindari penderitaan itu sendiri. Realitas inilah yang terjadi pada bangsa kita sekarang ini, bahwa rakyat hidup dalam realitas ketidakbahagiaan akibat kelaparan, kemiskinan, kekurangan perhatian pemerintah atas penderitaan rakyat.

Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang makmur. Namun, dalam kenyataannya, bangsa kita telah dikuasai oleh kehausan akan harta, kekuasaan, keserakahan, dan keegoisan. Aneka persoalan memporak-porandakan bangsa kita bagaikan lingkaran setan menghantui rakyat kecil. Rakyat menderita akibat ulah pemerintah sendiri yang lebih mengedepankan kebahagiaan individual daripada kebahagiaan bersama. Maka, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa pada tataran inilah etika “eudaimonia” Aristotelian berada dalam posisi kenaifan, yaitu ketika pemerintah mengedepankan kebahagiaan individu daripada kebahagiaan bersama.

Adalah benar bahwa dalam mencetuskan etika “eudaimonia,” Aristoteles menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi. Namun, terminologi kebahagiaan dalam etika “eudaimonisme” Aristotelian perlu disimak dengan rasionalitas yang baik. Maksudnya, terminologi kebahagiaan dalam Aristotelian, bukan hanya dimaksudkan pada kebahagiaan individu atau kelompok melulu, tetapi juga menyangkut kebahagiaan bersama.

Kebahagiaan bersama tercapai apabila masing-masing pihak menyadari apa arti kebahagiaan dalam hidup manusia. Namun, persoalan yang kita hadapi adalah justru para penguasa bangsa kita tidak mampu menciptakan kebahagiaan bersama. Yang terjadi sebaliknya adalah rakyat menderita akibat ulah penguasa bangsa kita. Penguasa yang sesungguhnya menjadi pendorong untuk menciptakan “eudaimonia” bagi rakyat, justru berbalik menjadi penghambat kebahagiaan itu sendiri. Rakyat kini terperangkap dalam kemiskinan akibat kenaikan harga-harga. Tidak kalah pentingnya, rakyat kita semakin menderita, bahkan kebahagiaan itu semakin menjauh dari harapan ketika apa yang kita miliki disewakan kepada orang lain.

Manusia yang serakah

Kerakusan, keserekahan dan keegoisan para penguasa bangsa kita, membuat perhatian pemerintah kurang tanggap pada penderitaan rakyat. Lebih-lebih karena penguasa itu sendiri menjadi penghambat kebahagiaan rakyat. Bagaimana mungkin kita dapat meraih kebahagiaan jika aparat pemerintah sendiri lebih mengedepankan kebahagiaan individu daripada kebahagiaan bersama? Jika sejumlah aparat kita yang seharusnya melindungi kelestarian hutan, justru terlibat dalam pembalakan liar dan penjualan kayu di Kalimanatan? Para tersangka yang ditangkap mengungkapkan, setiap perahu motor yang membawa kayu illegal ke negeri Jiran, membayar upeti Rp. 120 juta kepada aparat (Jawa Pos, 3/4/2008).

Sungguh, penguasa bangsa kita serakah dengan harta, uang dan kekayaan. Tidak peduli pada nasib rakyat yang menderita, mati kelaparan, tidur di bawah kolong jembatan. Penguasa di negeri ini seakan tidak pernah merasa berdosa atas tindakan yang mereka lakukan. Pembabatan kayu secara liar di Kalimantan tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mengurangi kebahagiaan kita bersama. Belum lagi persoalan PP No 2/2008 yang kini menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat, karena dengan keluarnya PP tersebut, pemerintah seakan mengobral hutan lindung kita (Jawa Pos, 27/3/2008). Pemerintah menyewakan hutan lindung kita kepada 13 perusahaan. Mereka tidak pernah memikirkan apa dampak dari penyewaan hutan tersebut 50 tahun ke depan. Mereka hanya memikirkan realitas hidup saat ini. Memang, kita menerima uang, tetapi persoalannya adalah apakah uang tersebut dapat menjamin kelestarian hutan kita?

Harus kita sadari bahwa harapan untuk mewujudkan “eudaimonia” kini semakin sirna. Bahkan, kebahagiaan itu mungkin tidak pernah tercapai kalau para penguasa di negeri ini tidak mempunyai kesadaran untuk mewujudkannya. Etika “eudaemonisme” Aristotelian menjadi naif ketika pemerintah mengedepankan kebahagiaan hanya pada individu dan bukan pada kebahagiaan bersama. Oleh karena itu, untuk menciptakan kebahagiaan bersama, para pengusa diharapkan memiliki kesadaran untuk menciptakan kebahagiaan bersama dan bukan kebahagiaan individu. Sehingga dengan demikian, kita sampai kepada apa yang kita sebut sebagai “bonum commune” (kesejahteraan bersama) dan bukan sebaliknya, yaitu “malum commune” (keburukan bersama).
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

MENGGAGAS DIALOG ANTARAGAMA SEBAGAI JEMBATAN MENUJU PERDAMAIAN MENURUT KONSILI VATIKAN II

Oleh: Blasius Baene

I. Pendahuluan

Merebaknya persoalan kekerasan terhadap agama dewasa ini telah menciptakan sejumlah persoalan sosial di antara umat manusia. Perbedaan agama seringkali dijadikan sebagai salah satu faktor pemicu lahirnya konflik di antara umat yang berlainan kepercayaan. Agama seringkali dijadikan sebagai tempat perdebatan yang tidak pernah kunjung selesai persaolannya. Maka, tidak heran jika konflik merebak di mana-mana karena masing-masing kelompok mengklaim agamanya sebagai kebenaran mutlak dibanding dengan agama-agama lain. Singkatnya, sikap eksklusif seperti ini membuat setiap kelompok agama mengasingkan diri dari agama-agama lain, sehingga segala usaha dan upaya yang dilakukan untuk mewujudkan perdamaian dan keselarasan di antara umat beragama menjadi semakin sulit untuk dikonkritkan dalam kehidupan beragama. Dengan kata lain, ketertutupan terhadap agama lain membuat setiap agama berada dalam ketidakharmonisan dengan agama-agama lain.

Menghadapi fakta seperti ini, tantangan bagi kita adalah bagaimana kita mewujudkan perdamaian di tengah kemajemukan agama-agama yang ada di bumi ini? Mungkinkah “dialog” menjadi landasan utama untuk memerangi setiap konflik, ketegangan dan kekerasan yang ada dalam realitas kemajemukan masyarakat kita? Mungkinkah “dialog” menjadi jembatan dalam memahami ketiga paradigma, yaitu ekslusivisme, pluralisme, dan inklusivisme dalam agama-agama? Bagaimana Gereja, khususnya Gereja Katolik berperan dalam membangun dialog antarumat beragama? Mungkinkah “dialog” antarumat beragama sebagai “dialog kehidupan”[1] dapat diwujudkan dalam membangun solidaritas bersama?

Menggagas “dialog” antaraumat beragama dewasa ini kiranya menjadi kebutuhan yang sangat penting dan mendesak kita guna menciptakan solidaritas, perdamaian, dan cinta kasih dengan agama-agama lain. Kemajemukan hendaknya bukan menjadi pemisahan manusia melainkan pemersatu setiap manusia yang beranekaragam. Tema “Dialog Antaragama Sebagai Jemabatan Menuju Perdamaian Menurut Konsili Vatikan II” menjadi tema sentral pembahasan saya dalam paper ini mengingat bahwa Konsili Vatikan II sangat memberi perhatian pada dialog antarumat beragama.

II. Beberapa Pandangan Tentang Dialog

2.1. Dialog Menurut Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II merupakan cikal bakal lahirnya dialog antarumat beragama. Hal ini dilatarbelakangi oleh karena sikap Gereja sebelum Konsili Vatikan II yang cenderung menutup diri serta kurang memandang secara positif agama-agama lain. Sikap ini didasarkan pada pernyaataan yang terkenal: “extra ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan).[2] Akibatnya, sikap positif yang ditujukan oleh Gereja kini menjadi sikap ekslusif, tertutup dan mengasingkan diri dari agama-agama lain.

Melihat kenyataan yang demikian berlangsung sekian lama dalam panggung sejarah, Konsili Vatikan II tidak berlarut-larut dalam kesalahan itu. Konsili menyerukan adanya “dialog” untuk memulihkan keadaan yang selama ini “retak” selama berabad-abad dengan agama-agama lain. Seruan Konsili untuk berdialog dengan agama-agama kemudian dicetuskan dalam Nostra Aetate (NA). Melalui dokumen ini Konsili mengatakan: “Gereja mendorong para putranya supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, “berdialog” dan “bekerjasama” dengan penganut agama-agama lain, sambil memberikan kesaksian tentang iman serta peri hidup Kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat pada mereka (NA 2).[3]

Berangkat dari kesadaran ini, Konsili Vatikan II mencoba membuka lembaran baru dalam kehidupan beragama dengan orang lain yang selama ini terjerat dalam sebuah kubangan paradigma eksklusivisme. Kesadaran Konsili ini memunculkan dua unsur penting dalam menyuburkan dialog antara umat beragama, antara lain: Pertama: Konsili Vatikan II mengubah paradigma “ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan) dengan mengatakan bahwa keselamatan dalam Yesus Kristus juga mungkin bagi agama-agama lain.[4] Kedua: Konsili mengakui bahwa dalam tradisi-tradisi keagamaan bukan kristen terdapat unsur-unsur yang benar dan baik (OT 16), unsur-unsur religius dan manusiawi (GS 92), benih-benih kontemplasi (AG 18), unsur-unsur kebenaran dan rahmat (AG 9), benih-benih Sabda (AG 11, 25), dan sinar kebenaran yang menerangi semua orang (NA 2).[5] Selain itu, Konsili Vatikan II juga mengatakan bahwa Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang dalam agama-agama itu apa yang benar dan suci.[6] Singkatnya, Konsili Vatikan II membuka pintu selebar-lebarnya bagi perkembangan dialog dengan agama-agama lain sebagai upaya untuk menciptakan agama-agama yang saling memahami satu dengan yang lain. Atas dasar sikap seperti inilah, Gereja Katolik tidak lagi mengambil sikap “oposisi” dengan agama-agama lain, melainkan menjalin “persahabatan” yang relasional dan bekerjasama dengan mereka yang berkehendak baik walaupun mereka tidak mengimani Allah.[7]

2.2. Paus Paulus VI

Paus Paulus VI dikenal sebagai “Paus Dialog”[8] karena gagasan-gagasanya tentang dialog mencerminkan sebuah sikap yang dialogis dengan agama-agama lain. Terutama dalam Enskliknya tentang “Ecclesiam Suam” (1964) dan Evangelii Nuntiandi (1975). Dalam Ecclesiam Suam, Paus Paulus VI melukiskan sejarah keselamatan sebagai “dialog” yang tidak pernah berhenti antara Allah dan manusia.[9] Dengan kata lain, dialog yang terjalin antara Allah dan manusia menjadi jembatan satu-satunya dalam memperbaiki relasi antara Allah dengan manusia yang selama ini retak akibat keegoisan manusia. Hanya melalui sikap “dialogis” inilah manusia dapat menemukan kembali identitasnya yang rusak. Demikian pula halnya dengan agama-agama yang berbeda akan menemukan identitasnya hanya apabila agama-agama itu bersedia berdialog dengan agama-agama lain. Selama agama itu berada dalam sikap eksklusivisme, maka agama itu tidak pernah mengenal dan memahami agama lain. Ia hanya memahami diri dan agamanya sendiri. Akibatnya, sikap “fanatisme”[10] dan “aboslutisme”[11] terhadap agama tidak dapat dielakkan.

Oleh karena ada berbagai sikap terhadap agama-agama lain, Paus Paulus VI melalui Ensikliknya tentang Ecclesiam Suam, memproklamasikan bahwa Gereja harus siap sedia menjalin “dialog” dengan siapa pun yang berkehendak baik. Sebab, “prinsip” dialog adalah membangun perdamaian satu sama lain. Dialog yang dijalin tanpa pamrih, objektif, tulus dengan sendirinya merupakan kondisi yang menguntungkan sekaligus menumbuhkan perdamaian. Dialog menyingkirkan kepura-puraan, persaingan, tipu daya dan pengkhianatan dan sekaligus mencegah pertikaian.[12]

Sikap dialogis yang dutujukan oleh Paus Paulus VI menunjukkan kepada kita betapa pentingnya nilai dari sebuah dialog. Dialog bukan hanya sekadar untuk berkomunikasi dengan orang lain. Tetapi, dialog lebih sebagai “pengenalan” untuk saling memahami setiap perbedaan dan persamaan dalam agama-agama pluralis. Kemudian sikap dialogal Paus Paulus VI semakin dipertegas dalam Surat Apostoliknya, tentang Evangelii Nuntiandi. Surat ini merupakan hasil refleksi Paus Paulus VI atas hasil pertemuan para Uskup sedunia pada tahun 1974. Melalui dokumen ini, Paus Paulus VI menyebut agama-agama non-Kristiani. Beliau menekankan secara tegas bahwa “Gereja menghormati nilai-nilai moral dan spiritual” yang tidak terdapat dalam agama-agama lain dan mengungkapkan keinginannya untuk bergabung bersama dengan mereka dalam memajukan dan membela cita-cita bersama kebebasan beragama, persaudaan, kebudayaan yang baik, kesejahteraan sosial dan tatanan sipil.”[13]

Apa yang digagas oleh Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi menghantar kita kepada sebuah pemahaman bahwa di tengah pluralitas religius umat manusia, dialog merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak manusia untuk menghadirkan relasi yang korelasionanl dengan agama-agama lain. Hanya melalui dialog manusia bisa saling mengerti, saling memahami setiap perbedaan yang ada. Inilah yang dimaksudkan oleh Raimundo Panikkar, bahwa melalui “dialog” pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran, yaitu Kristus bagi orang Kristen, Veda bagi orang Hindu, Muhammad bagi orang Islam, dan lain sebagainya dapat diperluas dan diperdalam sehingga menyingkap pengalaman-pengalaman baru mengenai kebenaran. Melalui dialog, hubungan antara agama bukan lagi hubungan yang bersifat asimilasi atau hubungan substitusi, melainkan hubungan yang saling menyuburkan.[14]

2.3. Paus Yohanes Paulus II

Pengguliran dialog antarumat beragama tidak hanya terbatas pada gagasan Paus Paulus VI dengan Ensikliknya tentang Ecclesiam Suam dan Evangelii Nuntiandi. Tetapi juga gagasan-gagasan mengenai dialog antarumat beragama dilanjutkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Bahkan, Paus Yohanes Paulus II menyebut dirinya sebagai pembawa pesan perdamaian antaragama.[15]
Gagasan-gagasan dialog yang dicetuskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam membangun relasi dengan agama-agama lain dapat kita temukan dalam Ensikliknya yang berjudul Redemptoris Missio (1990). Pengalaman berjumpa dengan agama-agama lain menghantar Paus Yohanes Paulus II untuk mencetuskan sebuah ensiklik yang mencoba membuka babak baru dalam melanjutkan dialog dengan agama-agama lain.[16] Dalam ensiklik ini, Paus Yohenes Paulus II mengedapankan dua tujuan utama misi Gereja, yaitu “ad intra” dan “ad extra.” Tujuan “ad intra” dimaksudkan oleh Yohanes Paulus II bahwa dokumen Redemptoris Missio pertama-tama berangkat dari pembaharuan yang berasal dari dalam, artinya pembaruan iman dan kehidupan iman Kristen yang tidak lain menunjuk kepada pembaruan semangat misioner (RM 2). Sedangkan tujuan “ad extra” dimaksudkan bahwa dokumen ini juga dihadirkan sekaligus untuk orang-orang bukan Kristen, terutama para penguasa negara yang menjadi tujuan karya misioner.[17]

Paus Yohanes Paulus II selain dikenal sebagai tokoh penggagas “perdamaian,” ia juga dikenal sebagai pribadi yang memiliki perhatian pada dialog sebagai dialog kehidupan. Dalam beberapa kunjungannya ke berbagai negara selama masa kepausannya, Yohanes Paulus II tidak henti-hentinya mengajak umat beriman untuk bersedia berdialog dengan agama-agama lain. Menurut Paus Yohanes Paulus II, umat beriman merupakan pembawa pesan perdamaian dan pemberi kesaksian akan solidaritas universal, yang mengatasi kepentingan pribadi maupun kelompok, agar tidak seorang pun dilupakan dan disingkirkan.[18] Lebih lanjut, Yohanes Paulus II melihat bahwa perdamaian senantiasa memiliki dimensi spiritual karena perdamaian itu sendiri merupakan rahmat Allah. Oleh karena itu, upaya manusia untuk membangun perdamaian harus didasarkan pada sikap kerendahan hati manusia, terutama dalam doa, mendengarkan kehendak Allah dan menjalankannya.[19]

Dalam upaya menegakkan dialog antarumat manusia, Paus Yohanes Paulus II menekankan peran manusia sebagai pelaku utama dalam dialog itu sendiri dengan disertai kerendahan hati dan kesipasediaan untuk berdialog dengan orang lain. Gagasan-gagasan yang disampaikan dalam Redemptoris Missio menghantar kita kepada beberapa dimensi dialog, teristimewa dialog antaragama. Pertama: dialog antaragama merupakan tugas evangelisasi Gereja. Jika dialog dipahami sebagai metode dan sarana untuk memperkaya dan saling mengenal, maka dialog tidak pernah bertentangan dengan tugas perutusan Gereja kepada bangsa-bangsa (RM 55). Kedua: Dialog tidak berasal dari perhatian taktis atau kepentingan diri, tetapi merupakan suatu kegiatan yang mengenal prinsip-prinsip, syarat-syarat dan martabatnya sendiri. Artinya, melalui dialog, Gereja berusaha menemukan benih-benih sabda, sinar yang menerangi semua orang. Oleh karena itu, setiap orang yang terlibat dalam dialog harus konsisten dengan tradisi-tradisi keagamaan dan keyakinan mereka sekaligus juga terbuka untuk memahami mereka dari pihak lain tanpa pretensi atau pikiran yang picik, tetapi dengan kebenaran dan kerendahan hati (RM 56). Ketiga: Dialog mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Melalui dialog, kaum beriman memberi kesaksian bagi semua orang tentang realitas pengalaman hidup sehari-hari dan saling membantu agar hidup sesuai dengan nilai-nilai guna membangun suatu masyarakat yang lebih adil dan bersaudara (RM 57).

III. Tiga Paradigma Dalam Dialog Antaragama

Kemajemukan agama seringkali melahirkan konflik dan berbagai pemikiran yang menghantar agama-agama pada sikap fanatik dan ketertutupan terhadap agama-agama lain. Sikap semacam ini membuat konflik tidak dapat dielakkan dalam kehidupan keberagamaan. Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah apa yang melatarbalakangi munculnya konflik dalam agama-agama itu? Ada tiga paradigma yang cenderung melahirkan konflik dalam agama-agama, yaitu eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Ketiga poin ini akan penulis uraikan berikut ini.

3.1. Eksklusivisme

Eksklusivisme dimengerti sebagai paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat,[20] menjauhkan diri dari, mengasingkan diri dari, mencegah masuknya, mengecualikan, mengucilkan, menutup pintu bagi.[21] Singkatnya, eksklusivisme adalah paham yang menutup diri dari agama-agama lain dan memandang agamanya sebagai satu-satunya yang benar menuju jalan keselamatan. Misalnya: jika agama Islam mewujudkan diri sebagai agama yang benar, maka kebenaran yang non-Islam tidak dapat digologkan dalam kebenaran agama-agama.

Paradigma eksklusivisme dalam setiap agama melahirkan sejumlah konsekuensi yang tidak hanya merusak hubungan antaragama itu sendiri, melainkan juga sikap ini mematahkan dan menghancurkan relasi antar sesama manusia. Sebab, sikap yang mengganggap agamanya sebagai satu-satunya yang benar, tidak memungkinkan lahirnya “dialog” dengan agama-agama lain untuk saling mengerti, saling memahami dan saling menghargai antara satu dengan yang lain, karena pengakuan terhadap adanya kebenaran dalam agama-agama lain itu jauh dari harapan. Akibatnya, muncul sikap intoleransi,[22] kesombongan dan penghinaan terhadap agama-agama lain.[23] Sikap semacam ini juga kita temukan dalam Gereja Katolik dengan sebuah pernyataannya yang cukup terkenal, yaitu “di luar Gereja tidak ada keselamatan” (extra ecclesiam nulla salus).

3.2. Inklusivisme

Paradigma inklusivisme memiliki nada lebih “lunak” daripada eksklusivisme yang cenderung ekstrim terhadap agama-agama lain. Jika eksklusivisme dipahami sebagai paham yang memandang agamanya sebagai satu-satunya kebenaran menuju keselamatan, inklusivisme dimengerti sebagai paham yang mengatakan bahwa kelompoknya memiliki kebenaran, tetapi juga dalam kelompok-kelompok lain itu terdapat unsur-unsur kebenaran.[24]

Tampaknya paham inklusivisme menghadirkan sebuah pemahaman yang universal dengan mengakui adanya kebenaran dalam agama-agama lain. Tetapi dibalik sikap demikian, paham inklusivisme hanyalah sebuah wacana pengakuan adanya kebenaran dalam agama-agama lain, karena paham ini sesunguhnya lebih mengedepankan kebenaran di dalam agamanya sendiri. Pengakuan akan adanya kebenaran dalam agama-agama lain bukanlah sebuah pengakuan yang “lengkap” atau “penuh.” Melainkan sebuah pengakuan yang parsial. Hal ini tampak dari apa yang dikatakan oleh Raimundo Panikkar, bahwa paham inklusivistik mengandung konsekuensi, yaitu melahirkan sikap kesombongan, kerena kelompok itu sendiri yang memiliki sikap toleransi menurut pandangan mereka, sedangkan yang lain tidak.[25] Paradigma seperti ini juga dapat kita lihat dalam agama Kristen yang disebut sebagai “inklusivisme-kristosentris,” artinya paradigma inklusif yang berpusat pada Kristus. Kristus dinyatakan sebagai pusat keselamatan yang didambakan oleh agama-agama.[26]

3.3. Pluralisme

Pluralisme agama merupakan sebuah paham yang mengakui bahwa semua kelompok keagamaan memiliki ajaran dan praktek religius yang valid (sah). Oleh karena kelompok-kelompok tersebut memiliki ajaran yang valid dan sah, maka paham ini menekankan “kesetaraan hak” semua agama untuk mengungkap diri sebagai jalan keselamatan atau pemilik kebenaran.[27] Apa yang digagas oleh Knitter berkaitan dengan pengakuan “kesetaraan hak” dalam agama-agama, pertama-tama bukan untuk merealisasikan bahwa semua agama itu memiliki kebenaran yang sama dan baik. Knitter memaksudkan pengakuan “kesetaraan hak” dalam level dialog,[28] artinya dengan cara seperti ini agama-agama yang berbeda dimungkinkan untuk merealisasikan dirinya dalam melahirkan dialog untuk mencapai sebuah pemahaman dalam realitas perbedaan yang ada dalam setiap agama. Dengan cara seperti ini, maka mustahil setiap agama berada dalam posisi ketidakmengertian antara satu dengan yang lain.

IV. Peran Dialog Dalam Pluralitas Religius

Setelah melihat ketiga paradigma dalam agama-agama, pada bagian ini penulis mencoba menggagas bagaimana peran Gereja sendiri melalui para pelayan Gereja membangun dialog di tengah realitas kemajemukan agama-agama. Singkatnya, bagaimana Gereja melibatkan diri dalam menciptakan dialog sebagai “dialog kehidupan” bersama dengan agama-agama lain. Untuk mengggas peran Gereja dalam membangun dialog dengan agama-agama lain, penulis mendasarkan diri pada gagasan Paus Yohenas Peulus II sebagai salah satu tokoh yang selalu menekankan dialog sebagai jembatan menuju perdamaian antarsesama manusia.

Belajar dari Paus Yohanes Paulus II sebagai pencetus “dialog kehidupan,” maka kita melihat beberapa poin penting dari apa yang dia sampaikan mengenai keterlibatan Gereja dalam membangun dialog bersama dengan agama-agama lain. Dalam Ensikliknya tentang Redemptor Missio (1990), Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa “dialog harus dijalankan dan diimplementasikan dengan keyakinan bahwa Gereja merupakan sarana keselamatan yang biasa dan bahwa hanya dia sendiri yang memiliki kepenuhan saran keselamatan (RM 92). Gagasan ini mengandaikan bahwa jika Gereja merupakan sarana keselamatan, maka hal ini bukan berarti bahwa Gereja tidak mengakui adanya keselamatan dalam agama-agama lain. Sebaliknya, Yohanes Paulus II mengajak Gereja untuk secara aktif melibatkan diri sepenuhnya dalam membangun dialog dengan agama-agama lain.

Keterlibatan Gereja dalam membangun dialog dengan agama-agama lain merupakan suatu pengakuan bahwa hanya dengan dialog, setiap kelompok-kelompok keagamaan dapat saling mengerti, saling memahami antara satu dengan yang lain. Lebih dari itu, keterlibatan Gereja dalam mengupayakan lahirnya perdamaian melalui dialog, merupakan suatu ungkapan imannya akan kasih Allah, iman yang memperbarui kehidupan. Menurut Yohanes Paulus II, dialog merupakan unsur mendasar bagi Gereja sekaligus hal yang sentral dan esensial dalam pemikiran etis umat manusia, sebab setiap orang ingin untuk mengenal apa yang baik, benar, dan adil dalam pribadi maupun kelompok-kelompok lain. Dengan kata lain, hanya dialog memungkinkan manusia dari pihak manapun untuk mengakui serta menerima secara terbuka adanya perbedaan dan sekaligus berusaha mencari apa yang dibutuhkan oleh setiap manusia di tengah segala perbedaan yang ada, kendatipun usaha ini kadang berada dalam situasi ketegangan.[29]

V. Penutup

5.1. Kesimpulan

Setelah melihat bagaimana Konsili Vatikan II menggagas peran dialog antaragama dalam rangka membangun relasi dengan agama-agama lain, pertanyaan bagi kita adalah apa yang dapat kita simpulkan dari gagasan Konsili Vatikan II tentang dialog? Menurut saya, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang digagas oleh Konsili Vatikan II mengenai dialog antaragama, antara lain: Pertama: Konsili Vatikan II menyadari sikap eksklusivisme Gereja Katolik terhadap agama-agama lain, terutama dengan pernyataannya tentang “extra ecclesiam nulla salus,” menyebabkan sejarah kekristenan berada dalam kegelapan. Oleh karena itu, sesudah Konsili Vatikan II, pertama-tama melalui Paus Paulus VI dalam ensikliknya tentang Ecclesiam suam dan Surat Apostolik tentang Evangelii Nuntiandi, Gereja mulai membuka diri untuk berdialog dengan agama-agama lain sekaligus menghapus luka lama yang melanda Gereja akibat sikapnya yang egois. Kedua: Sikap dialogal antaragama menjadi kebutuhan yang sangat mendesak bagi setiap kelompok-kelompok agama untuk membangun pengertian yang baik dan benar terhadap agama-agama lain. Hanya melalui dialog yang baik, setiap agama dapat membangun sebuah bonum commune dengan agama-agama lain. Kematian “dialog” dalam agama-agama bebarti meniadakan relasi dengan agama-agama lain.

5.2. Relevansi

Kemajemukan agama merupakan realitas sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Namun, tidak jarang persoalan kemajemukan agama seringkali menimbulkan persoalan yang menghantar manusia kepada sikap konflik horizontal. Para penganut agama tertentu seringkali mengkalim agamanya sebagai satu-satunya kebenaran mutlak dan mengabaikan kebenaran yang ada dalam agama-agama yang lain. Akibatnya, kekerasan terhadap agama menjadi sebuah realitas sosial yang membuat kelompok-kelompok agama barada dalam situasi ketegangan, kecurigaan, sikap sektarian dan lain sebagainya.

Peristiwa yang terjadi di Monas-Jakarta pada tanggal 1 Juni 2008 yang lalu mengingatkan kita pada kematian realitas dialogal yang tidak menyentuh sendi-sendi kehidupan manusia untuk membangun relasi dengan yang lain. Agama yang seharusnya menjadi pemersatu manusia yang majemuk ini berbalik menjadi suatu realitas sosial yang menghantar manusia ke dalam kelompok-kelompok. Dengan kata lain, sikap kekerasan terhadap agama seakan mengembalikan manusia kepada sebuah renaisans “tribalisme” primitif yang melihat kebenaran agama dari sikap “suku saya melawan suku kamu, dan tuhanku melawan tuhanmu.”[30]

Menghadapi realitas kemajemukan agama-agama dewasa ini yang cenderung melahirkan konflik dan mengatasnamakan agama, maka saya melihat bahwa sangat tepat apa yang digagas oleh Konsili Vatikan II bahwa dialog merupakan satu-satunya langkah yang tepat untuk menuju perdamaian dengan kelompok-kelompok agama lain. Hannya melalui dialog setiap agama dapat saling memahami dan mengerti kebenaran dalam agama-agama lain. Menurut saya, tidak ada jalan lain untuk memahami setiap perbedaan dalam agama-agama selain melalui dialog sebagai dialog kehidupan. Dialog bukan hanya sekadar dialog, melainkan betul-betul menjadi milik setiap manusia yang berdialog dengan orang lain. Hanya dengan cara demikian, kekerasan dan berbagai perbedaan dalam agama dapat diatasi dengan baik.
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang


DAFTAR PUSTAKA

Beding, Marcel (terj), Seri Dokumen Gereja: Ensiklik Redemptoris Missio Dari Yohanes Paulus II, Ende: Nusa Indah, 1992.

Cahyadi, T. Krispurwana SJ, Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, Jakarta: Obor, 2007.

Coward, Harold, Pluralisme: Tantangan Bagi Agama-agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Hardawiryana, R. (terj), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.

Jurnal Agama dan Kebudayaan, Vol. II – No. 1, Malang: Aditya Wacana Pusat Pengkajian Agama dan Kebudayaan, 2003.

Kirchberger, Goerg, (ed), Dialog dan Pewartaan, Maumere: LPBAJ, 2002.

Kamus Besar Bahasa Indonesai (KBBI), Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Knitter, Paul F. Menggugat Arogansi Kekristenan, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Orientasi Baru, Pustaka Filsafat dan Teologi No. 5. tahun 1991, Mewartakan Dalam
Kebebasan,
Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Rausch, Thomas P. Katolisisme: Teologi Bagi Kaum Awam, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Riyanto, Armada CM, Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta:
-------------- Kanisius, 1995.

--------------, (ed), Agama-Kekerasan: Membongkar Eksklusivisme, Malang: Dioma dan STFT Widya Sasana Malang, 2000.

--------------, (ed), Agama Anti Kekerasan: Membangun Iman Yang Merangkul, Malang: Dioma dan STFT Widya Sasana Malang, 2000.

Rembeth, Victor, Pancasila dan Kekerasan Agama, dalam Opini Kompas, Kompas, 3 Juni 2008.

Sudhiarasa, Ray, Dialog: Siasat Hidup Bersama Dalam Masyarakat Multikultural, (Makalah), Malang, 2008.

[1] Orientasi Baru Pustaka Filsafat dan Teologi, No. 5 tahun 1991, Mewartakan dalam Kebebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hal. 28.
[2] FX. E. Armada Riyanto, CM, Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hal. 25-26. Ungkapan extra ecclesiam nulla salus dapat ditemukan dalam tulisan para Bapa Gereja terutama St. Cyprianus pada abad ke-3 yang nadanya bersifat apologetis. Pandangan ini kemudian menjadi sangat populer dan lebih keras sejak disebarluaskan oleh Flugentius (567-533). Dalam Konsili Florence (1442) menyebut untuk pertama kalinya ungkapan extra ecclesiam nulla salus. Konsili Florence menunjukkan ungkapan ini untuk orang kafir (sesat).
[3] Georg Kirchberger, (ed), Dialog dan Pewartaan, Maumere: LPBAJ, 2002, hal. 75.
[4] Ibid, hal. 72.
[5] Ibid, hal. 74. Bandingkan pula pernyataan yang serupa dalam FX. E. Armada Riyanto, CM, Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hal. 54.
[6] Thomas P. Rausch, Katolisisme: Teologi bagi Kaum Awam, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 361.
[7] FX. E. Armada Riyanto, CM, Op. Cit. hal. 30.
[8] Georg Kirchberger, (ed), Op. Cit. hal. 76. Lihat juga pernyataan yang sama dalam Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, (terj. M. Purwatma, Pr), Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal. 260-266.
[9] Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, (terj. M. Purwatma, Pr), Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal. 261.
[10] Fanatisme merupakan sikap atau keyakinan yang terlalu kuat terhadap agama, politik dan lain sebagainya. Sikap ini memicu persoalan jika diterapkan dalam agama-agama, karena sikap seperti ini hanya berorientasi pada agamanya sendiri sebagai kebenaran satu-satunya. Dengan kata lain, mencintai agamanya sendiri dan mengabaikan yang lain.
[11] Paham yang mengatakan bahwa kebenaran satu-satunya hanya terdapat pada agama.
[12] FX.E. Armada Riyanto, CM, Ibid, hal. 37.
[13] Georg Kirchberger, Ibid, hal. 77.
[14] Harold Howard, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hal. 79.
[15] T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, Jakarta: Obor, 2007, hal. 321. Patut diakui bahwa selama hidupanya, Paus Yohanes Paulus II dikenal sebagai salah satu tokoh yang memberi perhatian pada dialog antarumat beragama, perdamaian dan lain sebagainya.
[16] Redemptoris Missio (RM) merupakan sebuah ensiklik yang diterbitkan setelah dua puluh lima tahun Dekrit tentang kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes (1965), dan lima belas tahun Amanat Apostolik Paus Paulus VI tentang Evangelii Nuntiandi (1975).
[17]Marcel Beding, (terj), Seri Dokumen Gereja: Ensiklik Redemptoris Missio Dari Paus Yohens Paulus II, Ende: Nusa Indah, 1992, hal. 14-15. Lihat pula dalam FX. E. Armada Riyanto, CM, Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hal. 71-75; Juga dalam Georg Kirchberger, (ed), Dialog dan Pewartaan, Maumere: LPBAJ, 2002, hal. 80-84.
[18] T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, Jakarta: Obor, 2007, hal. 322.
[19] Ibid
[20] KBBI, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, hal. 289.
[21]Armada Riyanto, CM, Membongkar Eksklusivisme Hidup Beragama, dalam Armada Riyanto, CM, (ed), Agama-Kekerasan: Membongkar Eksklusivisme, Malang: Dioma dan STFT Widya Sasana Malang, 2000, hal. 16.
[22] Menurut Paus Yohanes Paulus II, sikap “intoleransi” merupakan suatu hambatan yang serius bagi terciptanya perdamaian, terisitmewa intoleransi antarumat beragama yang cenderung melahirkan penindasan kepada kaum minoritas. Sikap seperti ini menyangkal bisikan suara hati untuk mencari kebenaran Tuhan dan berpangkal pda fundamentalisme.
[23] Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 19.
[24]Raymundus Sudhiarsa, Dialog: Siasat Hidup Bersama Dalam Masyarakat. Tulisan merupakan makalah yang dipresentasikan oleh Raymundus Sudhiarsa, SVD di Aula Magna Seminari Tinggi SVD Suryawacana Malang pada tanggal 4 Mei 2008 dalam rangka memperingati 25 Tahun Seminari Tinggi SVD Suryawacana Malang.
[25] Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 21.
[26] Yohanes Wayan Marianta, Menuju Teologi Agama-Agama Liberatif (Studi atas Pemikiran Paul F. Knitter), dalam Aditya Wacana: Jurnal Agama dan Kebudayaan, Vol. II, No. 1, Malang: Pusat Pengkajian Agama dan Kebudayaan, 2003, hal. 31.
[27] Paul F. Knitter, dalam Yohanes Wayan Marianta, Menuju Teologi Agama-Agama Liberatif: Studi Atas Pemikiran Paul F. Kintter, Aditya Wacana (Jurnal Agama dan Kebudayaan), Malang: Pusat Pengkajian Agama dan Kebudayaan, 2003, hal.32.
[28] Ibid
[29] T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, Jakarta: Obor, 2007, hal. 362-363.
[30] Victor Remberth, Pancasila dan Kekerasan Agama, Opini Kompas, 3 Juni 2008, hal. 6.

PERAN KAUM AWAM DALAM PELAYANAN GEREJA PASCA KONSILI VATIKAN II

Oleh: Blasius Baene

I. Pendahuluan

Salah satu buah terindah dari Konsili Vatikan II (1962-1965) adalah membangkitkan kesadaran baru tentang peran kaum awam dalam pelayanan Gereja. Kesadaran ini diungkapkan oleh Konsili Vatikan II dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam. Dalam Dekrit tersebut, Konsili Vatikan II mengatakan bahwa “kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap umat Allah dalam Gereja dan di dunia. Sesungguhnya, mereka menjalankan kerasulan dengan kegiatan mereka untuk mewartakan Injil dan demi penyucian sesama, pun untuk meresapi dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil, sehingga dalam tata hidup itu kegiatan mereka merupakan kesaksian akan Kristus dan mengabdi pada keselamatan umat manusia.”[1]

Keadaran Konsili Vatikan II untuk menekankan peran kaum awam dalam pelayanan Gereja, berangkat dari kenyataan bahwa sebelum Konsili Vatikan II, ada pendapat yang mengatakan bahwa tugas perutusan Gereja diserahkan sepenuhnya kepada hierarki. Hanya hierarki yang menjalankan tugas itu secara aktif sedangkan kaum awam bersifat pasif menerima pelayanan para gembala.[2] Lebih lanjut dikatakan bahwa hanya dalam keadaan “darurat” kaum awam bisa diperbantukan kepada hierarki melalui satu amanat khusus, misalnya: “aksi umat Katolik” menurut Paus Pius XII bertugas untuk membantu hierarki dalam tugas untuk mewartakan Injil di tempat di mana klerus tidak diterima, seperti di antara kaum buruh di Perancis.[3]

Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa peranan kaum awam dalam pelayanan Gereja sebelum Konsili Vatikan II, seakan-akan hanya merupakan “pemberian” kaum hierarki dalam situasi tertentu. Dengan kata lain, kaum awam dibutuhkan hanya ketika kaum hierarki membutuhkannya. Namun, sejak Konsili Vatikan II, terjadi suatu pergeseran paradigma bahwa tugas peutusan Gereja tidak hanya dilaksanakan oleh kaum hierarki, tetapi juga kaum awam mempunyai peranan dalam pelayanan. Bagaimana peran kaum awam dalam pelayanan Gereja pasca Konsili Vatikan II, menjadi tema sentral pembahasan saya dalam paper ini.

II. Kaum Awam
2.1. Istilah Kaum Awam

Istilah “kaum awam”[4] berasal dari terminologi latin, yaitu laicus. Dan kata ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu laikós, yang berarti termasuk dalam rakyat, anggota umat. Kata laikós berhubungan dengan laós, yang berarti rakyat, umat. Kata laós telah banyak dipergunakan untuk menunjukkan beberapa arti yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah, misalnya: Pertama: dalam Septuaginta, kata laós digunakan untuk menyebut “bangsa Israel.” Kedua: dalam Perjanjian Baru, istilah ini diartikan sebagai “umat Israel berhadapan dengan bangsa-bangsa.” Tetapi, di tempat lain, kata laós digunakan sebagai sebutan untuk “Jemaat Kristen.”

Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa istilah “kaum awam” tidak serta merta identik dengan umat Allah, karena dari pengertian di atas, tidak ada satu katapun yang menunjukkan kepada kita pengertian “umat Allah.” Tetapi, penggunaan istilah laikós dalam umat Yahudi menjadi jembatan bagi kita untuk masuk dalam terminologi awam dalam jemaat kristiani. Teks-teks Kristen yang pertama kali menggunakan kata laikós adalah surat pertama Klemens yang ditulis sekitar tahun 96. Kemudian, Klemens dari Elexandria menggunakan istilah laikós dalam suatu golongan jemaat kristiani untuk membedakan antara imam, diakon dan awam. Origenes (253/254) juga membandingkan golongan klerus dan awam dengan mengatakan bahwa lebih dari satu orang klerus akan binasa dan lebih dari satu orang awam akan bahagia. Juga Tertullianus dalam memahami awam, memakai kata “ordo” untuk membedakan ordo sacerdotalis dan ordo ecclesiae (kaum awam).[5]

Dari beberapa terminologi di atas, kita melihat bahwa identitas dan gambaran awam dalam jemaat Kristiani telah hidup di dalam dunia selama berabad-abad. Artinya, identitas dan gambaran awam yang kita lihat dan kita alami sekarang ini dalam Gereja telah terbentuk melalui pemikiran para Bapa-bapa Gereja.

2.2. Peran Kaum Awam dalam Gereja Sebelum Konsili Vatikan II

Setelah melihat bagaimana terminologi pemakaian laikós untuk membedakan kaum awam dan kaum klerus, kini penulis melihat bagaimana peran kaum awam dalam pelayanan Gereja sebelum digaungkannya Konsili Vatikan II (1962-1965). Peranan kaum awam dalam pelayanan Gereja sebelum Konsili Vatikan II dapat dikatakan memiliki keterbatasan dalam arti bahwa pelayanan di dalam Gereja semata-mata hanya diletakkan di tangan kaum klerus (kaum tertahbis). Dengan kata lain, antara klerus dan awam terdapat pemisahan dalam hal pelayanan. Hal ini dapat kita lihat pada abad pertengahan di mana perbedaan antara kaum awam dan klerus sangat tampak di dalam pelayanan, di mana pelayanan yang bersifat rohani diserahkan kepada kaum klerus (tertahbis) sedangkan pelayanan yang besifat jasmani diserahkan kepada kaum awam. Bahkan lebih lanjut, Kardinal Humbert da Siva Candida merumuskan pemisahan antara bidang jasmani dan rohani dengan mengatakan: “hendaknya para awam hanya menangani perkara mereka, yaitu hal-hal jasmani, dan hendaknya para klerus hanya mengurus perkara mereka pula, yaitu hal rohani-gerejawi. Para klerus jangan mencampuri hal duniawi, demikian pula kaum awam jangan mencampuri perkara gerejawi.[6]

Pembedaan antara klerus dan kaum awam sebelum Konsili Vatikan II menghantar kita kepada suatu kesimpulan bahwa realitas pelayanan di dalam Gereja sungguh-sungguh dikuasai oleh kaum klerus. Pelayanan kaum klerus di dalam Gereja dianggap sebagai sesuatu yang suci. Akibatnya, kaum awam tidak mendapat tempat dalam pelayanan di dalam Gereja, karena kaum awam dilihat hanya berperan dalam hal-hal yang bersifat jasmani. Dengan kata lain, kaum awam berada dalam posisi ketidakpastian dalam pelayanan Gereja, kendatipun mereka mempunyai keistimewaan sebagai orang Kristiani. Keistimewaan kaum awam yang dimaksud di sini adalah pertama-tama tidak terletak pada kehebatan prestasi manusiawi, melainkan karena kaum awam mengakui kekuasaan Roh Kudus. Kendatipun awam terlahir karena dosa, tetapi berkat baptis mereka diperkenankan mengambil bagian dalam hidup Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Oleh karena kaum awam berpartisipasi dalam hidup Ilahi melalui pencurahan Roh Kudus, mereka menjadi bagian “communio sanctorum” untuk menjadi saksi Kristus dan berani mengakui nama-Nya di tengah umat manusia.[7]

2.3. Peran Kaum Awam dalam Gereja Pasca Konsili Vatikan II

Angin segar yang dibawa oleh Konsili Vatikan II benar-benar menghadirkan suatu perubahan di dalam Gereja semesta. Perubahan yang dihadirkan oleh Konsili Vatikan II mengubah wajah Gereja yang cenderung menutup diri dan tidak mengakui eksistensi agama-agama lain menjadi semakin terbuka dan mengakui keberadaan agama-agama lain itu sebagai agama yang benar. Dengan kata lain, Konsili Vatikan II menghantar Gereja untuk membuka diri dari cara berpikir “egosentris” menuju kepada cara berpikir yang “universal.” Apa yang dikatakan sebagai cara berpikir “universal” adalah merupakan sebuah pengakuan yang betul-betul disadari oleh Konsili Vatikan II untuk melepaskan Gereja dari sikap “egosentrismenya” yang selama ini mengakui bahwa diluar Gereja tidak ada keselamatan (ecclesia nulla salus).

Undangan Konsili Vatikan II untuk merubah wajah Gereja, tidak hanya berorientasi pada kesadaran untuk melepaskan diri dari sikap “egosentrismenya,” tetapi juga bahwa Konsili Vatikan II betul-betul membawa pembaharuan atau perubahan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, teristimewa dalam mengubah peran kaum awam di dalam pelayanan Gereja yang selama ini pelayanan itu hanya dikerjakan oleh kaum tertahbis (imam).

Harus disadari bahwa sebelum Konsili Vatikan II, pelayanan di dalam Gereja merupakan tugas yang hanya dilakukan oleh para imam (klerus). Maka, tidak mengherankan jika sebelum Konsili Vatikan II terdapat perbedaan yang begitu tajam antara klerus dan kaum awam. Namun, angin segar yang dibawa oleh Konsili Vatikan II menghantar Gereja untuk menekankan peran kaum awam dalam pelayanan Gereja. Pelayanan dan tanggung jawab hidup menggereja tidak semata-mata hanya diletakkan kepada kaum klerus (tertahbis), melainkan juga kaum awam memiliki peranan yang sangat penting di dalamnya, di mana mereka ikut ambil bagian dalam perutusan Gereja untuk memelihara iman umat.[8] Lebih lagi, Konsili Vatikan II mengatakan bahwa para awam adalah orang kristiani yang bertugas menjaga tata tertib duniawi di dalam berbagai sektor, misalnya: sektor politik, budaya, seni, perusahaan, perdagangan, pertanian, dan lain sebagainya. Seluruh umat Allah diundang seperti Yesus sendiri untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin dan memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan. Di dalam dunia, kaum awam bagaikan ragi dan jiwa masyarakat manusia yang harus diperbarui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga.[9]

Kesadaran akan peran kaum awam dalam pelayanan Gereja menghantar Konsili Vatikan II untuk mendefiniskan kaum awam. Menurut Konsili Vatikan, kaum awam adalah: “semua orang beriman Kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam, atau status religius yang diakui dalam Gereja (LG 31). Definisi ini tidak memaksudkan perbedaan yang sangat tajam antara kaum klerus (imam) dan kaum awam. Definisi ini dimaksudkan untuk menujukkan peran masing-masing pihak, yaitu kaum klerus menjalankan fungsinya sebagai pemersatu, artinya mempersatukan agar seluruh jemaat menjadi paguyuban umat beriman. Sedangkan kaum awam menjalankan tugas pengutusan Gereja yang sama dengan meresapi seluruh tata hidup kemanusiaan dengan iman Kristiani.[10] Tata hidup yang dimaksud di sini menurut Gaudium et Spes adalah, meliputi: ekonomi, politik, komunikasi sosial dan lain sebagainya. Dalam pengertian ini, kaum awam dilihat sebagai pihak utama yang sangat berperan dengan segala kemampuan dan profesionalismenya.

Melalui Konsili Vatikan II, Gereja menekankan bahwa kaum awam dipanggil untuk berperan serta dalam pengudusan Gereja kendatipun mereka tidak termasuk dalam hierarki Gereja. Panggilan kaum awam untuk menguduskan Gereja dilihat sebagai suatu bentuk kerasulan yang berangkat dari status awam sebagai kalangan yang hidup di tengah-tengah dunia. Artinya, karena kaum awam memiliki kekhasan, yaitu sifat keduniaannya (LG 31), maka mereka dipanggil oleh Allah untuk menunaikan tugasnya sebagai ragi di dalam dunia dengan semangat Kristen yang berkobar-kobar (AA 2). Dengan kata lain, kaum awam bertugas untuk menguduskan dunia, meresapi pelbagai urusan duniawi dengan semangat Kristus supaya semangat dan cara hidup Kristus mengolah seluruh dunia bagaikan ragi, sehingga Kerajaan Allah dapat bersemi di tengah dunia.[11] Dari pernyataan ini kita dihantar pada suatu kesimpulan bahwa Konsili Vatikan II benar-benar menyadari peran serta kaum kaum dalam pelayanan Gereja kendatipun mereka tetap berbeda dengan kaum klerus yang tertahbis. Namun, dalam pelaksanaan tugasnya, mereka sama dengan kaum klerus berkat sakramen permandian. Peran ini semakin disadari oleh Konsili Vatikan II dengan mengatakan bahwa “berdasarkan panggilan khasnya, kaum awam bertugas untuk mencari Kerajaan Allah dengan mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, yakni dalam semua dan tiap jabatan serta kegiatan manusia, dan dalam situasi hidup berkeluarga dan hidup kemasyarakatan yang biasa. Di sana mereka dipanggil agar sambil menjalankan tugas khasnya, dibimbing oleh semangat Injil, mereka menyumbang pengudusan dunia dari dalam laksana ragi. Berkat kesaksian hidupnya, bercahayakan iman, harap dan cinta kasih, mereka memperlihatkan Kristus kepada orang lain. Jadi, tugas mereka secara khusus ialah menerangi dan menata semua ikhwal duniawi yang sangat erat berhubungan dengan mereka, sehingga dapat berkembang sesuai dengan maksud Kristus dan meruapakan pujian bagi pencipta dan penyelamat.”[12] Melalui panggilan kaum awam dalam sifatnya yang khas, kaum awam mengingatkan para imam, kaum rohaniwan dan rohaniwati betapa pentingnya kenyataan duniawi dan fana di dalam rencana penyelamatan Allah.[13]

Dari pemahaman di atas, pertanyaan yang dapat kita ajukan berkaitan dengan peran kaum awam dalam menjalankan tugas pelayanannya adalah bagaimana kaum awam menjalankan tugas perutusan Gereja di dalam dunia dalam sifatnya yang khas? Menurut Konsili Vatikan II, kaum awam menjalankan tugas perutusannya dengan mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi, dan raja. Dengan mengambil bagian di dalam tugas Kristus, kaum awam menjalankan perannya dalam perutusan seluruh umat Allah di dalam Gereja dan di dalam dunia.[14] Melalui jabatan sebagai imam, kaum awam bertindak sebagai pengantara antara Allah dan manusia untuk menyatukan Allah dan manusia, membawa Allah kepada manusia dan manusia kepada Allah. Tindakan keimamatan Kristus yang dijalankan oleh kaum awam menekankan suatu pelayanan murni bahwa pelayanan itu merupakan pelayanan yang sungguh-sungguh diprakarsai oleh Kristus sendiri dalam diri kaum awam. Dengan kata lain, kaum awam dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan jemaat, pertama-tama tidak bertindak atas kekuatannya sendiri, melainkan karena Kristuslah yang pertama-tama bertindak dan berkarya dalam diri mereka. Kristus sendirilah yang mengarahkan kaum awam dalam mengemban tugas dan pelayanannya di tengah-tengah jemaat untuk mewujudkan secara nyata dimensi Kerajaan Allah di dunia.
Dalam fungsi “kenabian,” kaum awam menjadi perantara Allah untuk menyampaikan kabar suka cita Allah kepada dunia. Sebab, nabi adalah orang yang dipenuhi dengan Roh Kudus melalui doa-doa, pergaulan yang intim dengan Allah sendiri, orang yang setia pada pesan Allah, orang yang berani mewartakan Sabda Allah walau mereka diterpa oleh berbagai persoalan ketika mereka menyampaikan Sabda Allah kepada dunia. Selanjutnya, dalam fungsi rajawi, kaum awam menjadi tonggak yang siap sedia untuk mengabdi dan berpegang pada apa yang dimulai oleh Kristus sendiri dalam perutusan-Nya di dunia.[15] Jadi, dalam fungsi rajawi kaum awam benar-benar menghayati panggilannya sebagai seorang pelayan, mengabdi, menaruh perhatian terhadap Gereja dan masyarakat.

2.4. Tugas Kaum Awam

Dalam LG 1 dikatakan bahwa Gereja adalah “sakramen,” artinya tanda dan alat kesatuan mesra dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia. Sebagai tanda dan sarana kesatuan mesra dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia, Gereja menghimpun seluruh umat dari berbagai tempat dan wilayah dan menjadikannya satu sebagai umat Allah yang bersatu hati, seiman dan sepenanggungan dalam membangun Gereja.[16] Dari sini dapat kita simpulkan bahwa dengan demikian Gereja mau tidak mau berada dalam dunia. Gereja yang berada di dunia ini semakin ditegaskan dalam LG 40. Konsili Vatikan II melalui LG 40 mengatakan bahwa Gereja sudah ada di dunia ini, dihimpun dari manusia, yaitu anggota masyarakat dunia, yang dipanggil untuk membentuk di dalam sejarah umat manusia itu sendiri, keluarga putra-putri Allah, yang senantiasa harus diperluas sampai kedatangan Tuhan.[17]

Gagasan Lumen Gentium di atas menghantar kita pada suatu pemahaman bahwa tugas pengembangan Gereja di dunia tidak hanya diletakkan kepada para klerus, tetapi juga diletakkan kepada para awam sebagai umat Allah yang dikuduskan berkat sakramen pembaptisan yang mereka terima. Peran kaum awam dalam membangun tugas pelayanan Gereja di dunia semakin ditegaskan dalam Dekrit tentang kerasulan awam. Di sana dikatakan bahwa “dalam melaksanakan tugas perutusan Gereja kaum awam menunaikan kerasulan mereka baik dalam Gereja maupun di tengah masyarakat, baik di bidang rohani maupun di bidang duniawi (AA 5). Pernyataan Konsili yang mengatakan bahwa kaum awam mengembangkan tugas pelayanan Gereja dalam sifatnya yang khas duniawi, itu berarti bahwa peran kaum awam dalam pelayanan Gereja diwarnai oleh pengalaman konkrit mereka di tengah dunia. Dan justru karena pengalaman konkrit inilah keterlibatan mereka dalam segala urusan gerejani sangat penting bagi Gereja, agar Gereja dapat memahami dan menghayati hakikatnya sendiri.[18]

2.5. Pembinaan Kaum Awam

Setelah melihat bagaimana terminologi kaum awam, dan perannya dalam pelayanan Gereja sebelum dan sesudah Konsili Vatikan II, maka pada bagian ini pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah perlukah pembinaan terhadap kaum awam dalam tugasnya untuk menunaikan perutusan Gereja? Harus diakui bahwa manusia tidak dapat berjalan dengan kekuatannya dan kemampuannya sendiri. Dengan kata lain, dalam menjalankan tugas perutusannya manusia harus didampingi dan diberi pengarahan yang terus menerus. Demikian pula kaum awam dalam mengembangkan tugas perutusannya di dunia harus didampingi dan diberi pengarahan secara terus menerus.

Pembinaan terhadap kaum awam dapat kita temukan dalam Christi Fideles Laici. Di sana dikatakan bahwa “kaum awam beriman harus dibina sesuai dengan persatuan yang timbul dari keberadaan mereka sebagai anggota-anggota Gereja dan warga masyarakat manusia agar mereka dapat menemukan dan menghayati panggilan serta tugas mereka yang sebenarnya” (CFL 59). Dari sini kita melihat bahwa kaum awam bukanlah orang-orang yang berada dalam posisi mengenal atau mengetahui segala sesuatu tanpa mereduksi keahlian mereka dalam bidang-bidang yang mereka tekuni. Sebaliknya, kaum awam adalah orang-orang yang masih merangkak dan belajar terus menerus untuk membangun pengetahuan mereka akan karya perutusan Gereja di tengah dunia. Oleh karena itu, mereka harus diarahkan dan dibina secara terus menerus.

Pertanyaannya adalah dalam bidang-bidang apakah kaum awam perlu mendapat pembinaan dalam karya perutusan Gereja? Konsili Vatikan II melalui Christi Fideles Laici menguraikan beberapa dimensi pembinaan terhadap kaum awam. Beberapa dimensi tersebut dapat kita temukan dalam CFL 60, antara lain: Pertama: Pembinaan rohani. Setiap orang dipanggil supaya bertumbuh terus menerus di dalam persatuan yang mesra dengan Yesus Kristus, sesuai dengan kehendak Bapa, dalam pengabdian mereka kepada orang lain dalam cinta kasih serta keadilan. Lebih lanjut dikatakan bahwa kehidupan dalam persatuan yang mesra dengan Kristus di dalam Gereja ini dipupuk oleh bantuan-bantuan rohani yang tersedia bagi semua umat beriman teristimewa dengan partisipasi yang aktif di dalam liturgi. Kedua: Pembinaan doktrinal. Pembinaan ini tidak hanya dimaksudkan sekadar dalam pengertian yang baik dalam dinamisme iman, tetapi bagaimana kaum awam diberi pemahaman dalam menjawabi iman mereka di tengah dunia yang serba pelik dengan berbagai persoalan iman. Oleh karena itu, perlu ada pendidikan katekese bagi kaum awam agar mereka dapat memberikan alasan akan pengharapan mereka dalam menghadapi situasi dunia yang rumit. Ketiga: Pembinaan terhadap Ajaran Sosila Gereja, artinya agar kaum awam dapat memahami dan mengerti persoalan-persoalan sosial yang kadang-kadang dihadapi oleh Gereja. Keempat: Pembinaan tentang nilai-nilai kemanusiaan yang dimaksudkan untuk kegiatan-kegiatan misioner dan apostolik kaum awam beriman.[19]

III. Penutup

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebelum Konsili Vatikan II (1962-1965), identitas kaum awam mengalami kehilangan jati dirinya. Kehilangan jati diri kaum awam sebelum Konsili Vatikan II dapat kita lihat dari kenyataan bahwa kaum awam seakan-akan tidak memiliki peran yang berarti di dalam Gereja. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan antara Klerus dan kaum awam yang begitu tajam dalam berbagai aspek bidang pelayanan terutama dalam tugas perutusan Gereja. Artinya, sebelum Konsili Vatikan II, tugas perutusan Gereja diserahkan sepenuhnya kepada hierarki atau kaum Klerus. Hanya hierarki yang menjalankan tugas perutusan itu secara aktif, sedangkan kaum awam bersifat pasif menerima tugas perutusan itu, karena kaum awam dianggap berada di tengah-tengah dunia yang penuh dengan kefanaan.

Namun, pembaharuan yang diwujudkan oleh Konsili Vatikan II benar-benar merangsang seluruh aspek kehidupan manusia. Paradigma tentang pelayanan di dalam Gereja mengalami pergeseran yang begitu dahsyat setelah Konsili Vatikan II. Artinya, Konsili Vatikan II melihat bahwa tugas pelayanan di dalam Gereja bukanlah hanya tugas para Klerus yang tertahbis, melainkan juga kaum awam memiliki peranan yang sangat penting dalam tugas perutusan Gereja. Bahkan Konsili Vatikan II melalui Lumen Gentium mengakui kesamaan martabat manusia di hadapan Allah. Konsili mengatakan bahwa “kendatipun di dalam Gereja tidak semua menempuh jalan yang sama, namun semua dipanggil kepada kesucian, dan menerima iman yang sama dalam kebenaran Allah. Lebih lanjut dikatakan bahwa kendatipun ada yang atas kehendak Kristus diangkat menjadi guru, pembagi misteri-misteri dan gembala bagi sesama, namun semua sungguh-sungguh sederajat martabatnya, sederajat pula kegiatan yang umum bagi semua orang beriman dalam membangun tubuh Kristus.[20] Dengan kata lain, Konsili Vatikan II mau menekankan kesetaraan di antara manusia kendatipun dalam kenyataannya manusia berbeda-berbeda dalam statusnya, tetapi dalam pelayanan setiap orang dipanggil pada kekudusan untuk mengembangkan tugas pertusan Gereja.
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang


DAFTAR PUSTAKA

Beding, Marcel, (terj), Seri Dokumen Gerejani No. 5, Para Anggota Awam Beriman Kristus, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1989

Budi Kleden, Paul dan Philipus Tule, (ed), Rancang Bersama Awam dan Klerus, Maumere: ----------Ledalero, 2006.

Hardawiryana, R, (terj), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.

Hasto Rosariyanto, F, (ed), Bercermin Pada Wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Krichberger, Georg, Allah Menggugat (Sebuah Dogmatik Kristiani), Maumere: Ledalero,
----------2007.

Pidyarto, Henricus, (ed), 40 Tahun Sesudah Konsili Vatikan II (Bagaimanakah Peran kaum Awam), Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, Vol. 14 No. Seri 13, 2005, Malang: STFT Widya Sasana, 2005.

Tondowidjojo, John, Arah dan Dasar Kerasulan Awam, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Yosef Bria, Benyamin, Peranan Kaum Awam dalam Hidup Menggereja menurut Kitab Hukum Kanonik Tahun 1983, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2002.

[1] R. Hardawiryana, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993, hal. 341.
[2] Georg Kirchberger, Allah Menggugat (Sebuah Dogmatik Kristiani), Maumere: Ledalero, 2007, hal. 618.
[3] Ibid.
[4] Dalam menelusuri pemakaian istilah “kaum awam” dalam Gereja, penulis tidak memuat historisitas pemakain istilah “kaum awam” dari masa ke masa, karena penulis mempunyai keterbatasan terutama berkaitan dengan data-data dan juga pemahaman penulis tentang pemisahan antara klerus dan kaum awam pada abad-abad permulaan kekristenan. Dalam bagian ini, penulis hanya menampilkan secara garis besar bagaimana penggunaan istilah “kaum awam” dalam Gereja untuk membedakannya dari kaum tertahbis.
[5] Paul Budi Kleden dan Philipus Tule (ed), Rancang Bersama (Awam dan Klerus), Maumere: Ledalero, 2008, hal. 22-23.
[6] Ibid, hal. 26.
[7] B.S. Mardiatmadja, SJ, Awam Sekitar Konsili Vatikan II, dalam Henricus Pidyarto (ed), 40 Tahun Setelah Konsili Vatikan II: Bagaimanakah Peran Kaum Awam? Seri Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, Vol. 14 No. Seri 13, Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2005, hal. 95.
[8] Mgr. A.G. Pius Datubara, OFMCap, Keuskupan Agung Medan Menyongsong Milenium III, dalam F. Hasto Rosariyanto, SJ, (ed), Bercermin Pada Wajah-wajah Gereja Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 180. Dikatakan bahwa ketika Jepang masuk di wilayah Keuskupan Agung Medan (1940-an) para imam ditahan di kamp. Situasi ini membuat kaum awam mengambil alih tugas memelihara dan mengembangkan iman umat selama kurang lebih 8 tahun. Bahkan setelah para imam kembali ke paroki masing-masing pada tahun 1959, ternyata hampir di semua tempat umat bertahan di beberapa tempat, khususnya di Nias Selatan umat semakin bertambah.
[9] John Tondowidjojo, Arah dan Dasar Kerasulan Awam, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 6.
[10] Ibid, hal. 37.
[11]Georg Kirchberger, Allah Menggugat (Sebuah Dogmatik Kristiani), Maumere: Ledalero, 2007, hal. 619.
[12] Ibid, hal. 620.
[13] Marcel Beding, Seri Dokumen Gerejani No. 5, Para Anggota Awam Umat Beriman Kristus (Imbauan Apostolik Pasca Sinode “Christi Fideles Laici”), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1989, hal. 131.
[14] John Tondowidjojo, Op. Cit. hal. 38-40.
[15] Dalam hal ini, penulis tidak mengecualikan kesipasediaan kaum klerus dalam tugas pelayanannya sebagai gembala umat. Yang ingin penulis tekankan di sini adalah sikap kesiapsediaan dalam pelayanan di dalam Gereja maupun di tempat-tempat lain, tidak hanya dilakukan oleh para klerus (kaum tertahbis), tetapi juga bahwa kaum awam memiliki sikap siap sedia seperti para klerus. Hal ini dapat kita lihat misalnya di paroki-paroki di mana kaum awam sungguh-sungguh terlibat secara penuh dalam pelayanan Gereja, seperti dalam bidang-bidang katekese umat, pelayanan orang sakit, berpartisipasi dalam mengembangkan dan membangun paroki, dan lain sebagainya.
[16] Gagasan umat Allah yang sehati, sejiwa, dan sepenanggungan dapat kita lihat dalam cara hidup jemaat perdana yang dikisahkan dalam Kis 4:32-37. Di sana dikatkan bahwa jemaat perdana berdoa bersama, sehati, sejiwa dan membagi-bagikan harta milik mereka kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan mereka. Apa yang mereka miliki tidak dimiliki secara pribadi melainkan kepunyaan bersama.
[17] John Tondowidjojo, Op. Cit. hal. 38.
[18] Paul Budi Kleden dan Philipus Tule (ed), Op. Cit. hal. 49.
[19] Seluruh uraian mengenai pemibinaan terhadap kaum awam penulis kutip secara langsung dari CFL 60.
[20] LG 32