Rabu, 22 Juli 2009

KEBEBASAN MENURUT JEAN PAUL SARTRE

(Tinjauan atas Eksistensialisme Humanisme Jean Paul Sartre)



Oleh: Blasius B. Baene

I. Pendahuluan

Berbicara mengenai kebebasan dapat dikatakan bahwa manusia tidak pernah sampai kepada suatu pengertian yang pasti tentang apa itu kebebasan, karena terminologi kebebasan memiliki cakupan yang sangat luas. Namun, apabila kebebasan difokuskan pada manusia, maka kebebasan merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena melalui kebebasan manusia berusaha mengaktualisasikan atau merealisir dirinya sebagai individu yang bereksistensi. Dengan kata lain, kebebasan tidak hanya mencakup salah satu aspek dari manusia untuk diaktualisasikan atau direalisir tetapi seluruh hidup manusia itu adalah kebebasan atau kebebasan mencakup seluruh eksistensi manusia.[1]

Tilikan kebebasan dicetuskan oleh Jean Paul Sartre[2] dalam bukunya yang berjudul eksistensialisme humanisme. Sartre menggagas bahwa manusia adalah kebebasan.[3] Konsep kebebasan yang mengalir dari Sartre tidak dapat dipahami lepas dari gagasannya mengenai cara berada manusia di dunia yang dia lukiskan secara radikal dalam dua bentuk, antara lain “etre-pour-soi (being-for-itself) dan etre-en-soi (being-in-itself). Bagaimana Sartre menggagas “kebebasan” dengan bertolak dari cara berada manusia akan kami uraikan berikut ini.


II. Latar Belakang Pemikiran Jean Paul Sartre

Titik berangkat pemikiran Sartre diawali dari pandangannya tentang manusia. Menurut Sartre, manusia merupakan satu-satunya makhluk yang bereksistensi,[4] artinya bahwa manusia itu bukanlah sesuatu yang konseptual melainkan sesuatu yang aktual. Dengan demikian, eksistensi pertama-tama bertolak dari manusia sebagai subjek.[5] Oleh karena eksistensi bertolak dari manusia sebagai subjek, maka eksistensi manusia tidak sama dengan objek-objek yang lain, karena eksistensi manusia tidak dihasilkan dari sesuatu yang ditentukan melainkan suatu penyangkalan terhadap objek tertentu.[6] Pemahaman ini bertolak dari apa yang dicetuskan oleh Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi. Artinya, manusia itu berada dulu baru ada. Berada dulu baru ada hendak mengatakan suatu pengertian bahwa manusia pada awalnya adalah kosong. Tetapi, oleh karena pilihan bebasnya manusia menjadi ada. Dengan kata lain, kebebasan manusia untuk memilih menjadikan kekosongannya bereksistensi. Bereksistensi berarti bertindak sesuai dengan pilihan saya sebagai satu-satunya individu yang bebas.[7] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia itu “ada” sejauh ia bertindak terhadap sesuatu bagi dirinya sendiri dan apa yang dia lakukan untuk dirinya sendiri adalah lahir dari kebebasan dan kesadarannya sebagai individu yang menyadari sesuatu yang berarti bagi dirinya.

Eksistensialisme humanisme Sartre lahir sebagai gugatan terhadap aliran filsafat yang menganut paham idealisme dan materialisme. Filsafat idealisme yang berpuncak pada Hegel mengatakan bahwa manusia tidak lebih dari sekadar “roh” yang sedang berkembang dan bergerak menuju kesempurnaan diri. Manusia dalam pandangan Hegel bukanlah individu yang memiliki otonomi dan bereksistensi melainkan hanyalah suatu proses penyempurnaan diri dari Roh untuk menjadi absolut. Oleh karena itu, menurut Hegel, manusia tidak mencerminkan suatu kehidupan yang konkrit karena makna dan kedudukannya terserap dalam kesadaran Roh Absolut.[8] Demikian pula kaum materialis berpendapat bahwa manusia tidak lebih dari sekadar materi sebagai berada di atas kesadaran manusia.[9]

Berangkat dari gagasan di atas, Sartre berpendapat bahwa para filsuf idealis dan meterialis telah mereduksi hakekat manusia sebagai individu yang bereksistensi ke dalam proses dialektik kesadaran roh dan materi. Menurut Sartre, manusia tidak pernah dapat direduksir ke dalam realitas roh dan materi, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai individu yang bebas dan bereksistensi.


2.1. Konsep Kesadaran dalam Eksistensialisme Humanisme Jean Paul Sartre

Tesis kesadaran merupakan salah satu aspek yang mendasari filsafat eksistensialisme humanisme Sartre. Tesis ini dipengaruhi oleh fenomenologi sebagai salah satu aliran filsafat yang menggeser fokus kesadaran dari objek-objek ke kesadaran tentang objek-objek. Menurut fenomenologi kesadaran bukanlah semata-mata kesadaran, tetapi selalu merupakan kesadaran tentang sesuatu,[10] yaitu kesadaran tentang sesuatu yang berada di luar dirinya. Artinya, kesadaran itu perama-tama bertolak dari dirinya sendiri menuju kepada objek-objek dan bukan sebaliknya dari objek menuju ke kesadaran.

Sartre mengamini bahwa kesadaran itu selalu merupakan kesadaran tentang sesuatu. Namun, Sartre berseberangan dengan fenomenologi Husserl berkaitan dengan ego dan kesadaran. Husserl yang dipengaruhi oleh Kant berdalil bahwa kesadaran bersumber dari ego transendental karena apa yang disebut ego tidak ditemukan dalam pengalaman melainkan ego menjadi syarat bagi pengalaman itu sendiri. Dengan kata lain, kesadaran mensyaratkan adanya ego yang menyadari sesuatu.[11] Dalam hal ini Sartre berbeda pendapat dengan Husserl dengan mengatakan bahwa kesadaran itu tidak sama dengan benda-benda karena benda-benda itu adalah kekosongan. Dalam hal ini, ego dalam konsep Sartre tidak menjadi syarat mutlak bagi kesadaran, karena ego merupakan bagian dari dunia objek sedangkan kesadaran adalah kekosongan. Oleh karena itu, ego dan kesadaran tidaklah sama. Dengan demikian, Husserl dan Sartre memiliki jalan pikiran yang berbeda dalam memahami kesadaran. Kalau dalam Husserl kesadaran dipahami sebagai kesadaran dari objek ke kesadaran, sebaliknya Sartre memahami kesadaran sebagai subjektif karena kesadaran itu ada dalam diri individu yang mengarahkan kesadarannya kepada objek dan bukan objek yang mengarahkan kesadarannya kepada individu.

Selain tidak sejalan dengan Husserl, Sartre juga mengkritik Descartes yang menyamakan kesadaran sebagai substansi (cogitans). Menurut Sartre, kesadaran tidak dapat dikatakan sebagai substansi sebagaimana dicetuskan oleh Descartes, karena kesadaran itu merupakan sesuatu yang kosong tanpa muatan. Kesadaran merupakan suatu aspek yang tidak dapat direfleksikan sebagai objek kendatipun kesadaran meyadari dirinya sejauh ia menyadari objek di luar dirinya. Dengan demikian, kesadaran itu memiliki dua karakter yang saling berelasi, yaitu kesadaran diri dan kesadaran intensional.


2.1.1. Etre-en-soi (being-in-itself)

Dalam karya monumentalnya tentang L’être et le nêat (Being and Nothingness), Sartre mencetuskan dua cara berada di dunia, yaitu etre-en-soi (being-in-itself) dan etre-pour-soi (being-for-itself). Menurut Sartre, etre-en-soi yang berarti ada-pada-dirinya sama sekali identik dengan dirinya, karena etre-en-soi itu tidak aktif, tidak afirmatif dan tidak negatif. Etre-en-soi itu tidak memiliki masa depan dan tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan.[12] Etre-en-soi merupakan suatu tipe eksistensi benda-benda yang tidak berkesadaran dan padat. Kepadatan benda-benda tersebut membuat etre-en-soi tidak mungkin menjadi dalam arti bahwa ada yang belum mewujudkan dirinya tetapi sekaligus lepas dari adanya sekarang (being is not yet what it will be that is already what is not).[13] Oleh karena itu, etre-en-soi menurut Sartre merupakan sesuatu yang kontingen, artinya ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa dasar, tanpa diciptakan dan tanpa diturunkan dari sesuatu yang lain. Dengan kata lain, etre-en-soi itu adalah dirinya sendiri.[14] Jadi, etre-en-soi adalah kesadaran yang bersifat intensional, artinya kesadaran yang menjadi bentuk dari kehadiran diri terhadap diri sendiri. Artinya, dia sadar bahwa dia ada atau berada dalam dunia. Keberadaannya dalam dunia merupakan keberadaan yang sempurna karena ketiadaan tidak dapat masuk ke dalamnya. Keberadaannya terjadi karena ia sendiri yang mengaktualisasikan atau merealisir dirinya. Dia tidak diasalkan dan karena itu, dia ada hanya untuk dirinya sendiri.

Etre-en-soi (being-in-itself) yang memiliki sifat kontingen dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa ia tertutup untuk dirinya sendiri sekaligus penuh untuk dirinya sendiri. Hal ini mengandaikan bahwa etre-en-soi tidak memiliki efek ke luar karena dia tidak berkesadaran. Maka, etre-en-soi tidak pernah ada dan tidak pernah dapat menempatkan dirinya sebagai ada bagi yang lain karena dia kontingen, tanpa dasar yang menopang.


2.1.2. Etre-pour-soi (being-for-itself)

Lawan dari etre-en-soi menurut Sartre adalah etre-pour-soi (being-for-itself) yang berarti ada-bagi-dirinya. Ada-bagi-dirinya berkaitan dengan kesadaran bahwa manusia memiliki kesadaran akan dirinya bahwa dia ada. Kesadaran bahwa dirinya ada hendak mengatakan suatu cara berada manusia. Dengan kata lain, manusia hubungan dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, etre-pour-soi dapat dikatakan sebagai suatu kesadaran yang tidak mengikuti prinsip identitas sebagaimana etre-en-soi. Ketiadaan prinsip identitas dalam etre-pour-soi mau mengatakan bahwa manusia selalu memiliki kesadaran terhadap dirinya tetapi kesadaran itu sendiri tidak identik dengan dirinya sendiri, karena kesadarannya mengarah kepada objek. Sehingga kesadaran manusia muncul seiring dengan hadirnya sesuatu (objek) yang ada di depannya. Namun, sesuatu yang disadarai itu bukanlah dirinya. Oleh karena itu, manusia sadar bukan disebabkan oleh karena dirinya sendiri yang membuat dirinya sadar melainkan oleh karena dirinya menyadari sesuatu itu. Dengan demikian, apa yang disadari itu tidak identik dengan dirinya.

Ketidakidentikan manusia dengan apa yang disadarinya menunjukkan bahwa kesadaran itu negativitas,[15] yaitu suatu kesadaran yang menunjukkan bahwa etre-pour-soi itu memiliki ciri “it is not what it is.”[16] Artinya, ketidakidentikkan manusia dengan dirinya memiliki aspek kesadaran yang menidak. Oleh karena itu, kesadaran tidak sama dengan benda-benda karena benda-benda itu merupakan suatu entitas yang disadari (objek) sedangkan manusia adalah entitas yang tidak sama dengan sesuatu yang disadari karena antara manusia dan objek terdapat suatu jarak. Jadi, etre-pour-soi merupakan eksistensi yang berkesadaran atau sesuatu yang bukan dirinya dan sekaligus apa yang dirinya bukan (being what is not and not being what it is).[17] Artinya bahwa kesadaran tidak pernah identik dengan dirinya sendiri, bahkan kesadaran itu tidak mempunyai identitas karena tidak bisa dekat dengan dirinya. Hal ini mengandaikan bahwa kesadaran itu bukanlah keseluruhan sehingga terdapat suatu pemisahan antara subyek dengan dirinya sendiri. Pemisahan inilah yang disebut sebagai ketiadaan (nothingness),[18] di mana manusia dipisahkan dari esensinya yang kemudian membuat kesadaran itu tidak pernah padat, artinya selalu merupakan kekurangan dari keberadaannya.


2.2. Memperjuangkan “Kebebasan” Sebagai Corak Humanisme Jean Paul Sartre

Sartre mendeklarasikan kebebasan sebagai corak humanismenya. Kebebasan yang dimaksudkan oleh Sartre adalah manusia itu sendiri. Ia menggagas kebebasan untuk menegaskan idealismenya bahwa manusia adalah makhluk di mana eksistensi mendahului esensi,[19] artinya manusia itu berada dulu baru ada. Konsep ini mengandaikan bahwa manusia itu pada awalnya adalah kosong dan tidak memiliki apa-apa. Tetapi, kekosongan itu kemudian diisi oleh karena kebebasannya untuk memilih. Dengan kata lain, melalui kebebasannya manusia membentuk dirinya, mengisi esensinya yang kosong, bebas untuk memilih dan bertindak atas dirinya sendiri, membangun dirinya sebagai pribadi atau individu yang bereksistensi, yang benar-benar ada, hadir dan ada dalam dunia.

Kebebasan yang digaungkan oleh Sartre mau menegaskan bahwa hanya manusialah yang memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi dirinya sebagai makhluk yang berada. Di sinilah terletak bentuk ateisme Sartre yang menolak kodrat dan adanya Tuhan, sebab menurut Sartre seandainya Tuhan ada, maka saya menjadi obyek dengan kodrat tertentu. Dengan kata lain, kalau Tuhan ada, maka kebebasan itu dicabut dari eksistensi saya. Akibatnya, saya ini bukan lagi individu yang bebas yang dapat menentukan apa yang terbaik bagi diri saya sendiri melainkan eksistensi saya ini sudah ditentukan. Sebaliknya, dengan mengatakan bahwa Allah tidak ada berarti saya adalah individu yang bebas atas diriku sendiri. Oleh karena itu, aku tidak pernah dapat direduksi ke dalam suatu proses sejarah atau lingkungan sosial.

Kebebasan yang digagas oleh Sartre memiliki konsekuensi bahwa manusia menjadi raja atau tuan atas dirinya sendiri. Menjadi raja atau tuan atas dirinya sendiri berarti bahwa manusia berhak untuk menentukan nasibnya sendiri. Ia bebas melakukan apa saja bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia dirinya sendirilah yang menentukan kodratnya tanpa ada pedoman universal yang mendahului setiap pilihan yang diambilnya.[20] Kebebasan itu absolut bagi manusia, artinya tidak ada suatu pun yang membatasi kebebasan manusia oleh karena manusia adalah kebebasan total. Kebebasan mengindikasikan adanya tanggungjawab. Artinya, hanya akulah yang bertanggungjawab penuh atas diriku, tindakan-tindakanku dan segala keputusan yang aku ambil atas diriku dan bukan pihak lain. Oleh karena itu, dalam kebebasan tidak perlu ada pertimbangan-pertimbangan moral yang mengatakan bahwa ini boleh dan itu tidak, karena dengan adanya pertimbangan moral maka saya tidak bebas. Dengan kata lain, pengabaian terhadap nilai-nilai moral membuat manusia bebas melakukan apa saja tanpa memperhatikan apakah tindakan itu merugikan orang lain atau tidak.


III. Tinjauan Kritis atas Konsep Kebebasan dalam Eksistensialisme Humanisme

Jean Paul Sartre

Kebebasan merupakan kata kunci dalam filsafat eksistensialisme humanisme Sartre. Bagi Sartre, kebebasan itu mutlak dan otonom bagi manusia karena manusia tidak memiliki esensi atau kodrat. Jika manusia itu telah memiliki esensi atau kodrat maka dia bukan lagi manusia bebas melainkan manusia yang hidup dalam aturan-aturan atau norma-norma yang sudah ditentukan.

Terhadap kebebasan yang digaungkan oleh Sartre, kami melihat bahwa gagasan ini memiliki konsekuensi baik dari segi positif maupun dari segi negatif. Dari segi positif dapat dikatakan bahwa Sartre mengemas sebuah filsafat yang tidak menempatkan manusia ke dalam realitas materi dan roh sebagaimana dipahami oleh para filsuf idealisme dan materialisme. Sebaliknya, dengan menggaungkan kebebasan, Sartre membuka kesadaran kita bahwa melalui kebebasannya manusia dapat mengaktualisasikan dirinya dalam kesadarannya sebagai indviidu yang bereksistensi. Selain itu, melalui kebebasan manusia dituntut untuk bertanggungjawab penuh atas dirinya sendiri, atas pilihan bebasnya dan atas tindakan-tindakannya. Dengan kata lain, melalui kebebasanku aku tidak hanya bertanggungjawab atas diriku sendiri, tetapi juga aku bertanggungjawab atas semua orang. Dengan demikian, melalui kebebasanku mengaktualisasikan diriku aku sadar bahwa aku benar-benar ada. Jadi aku harus bertanggungjawab atas diriku sendiri. Sebaliknya, dari segi negatif, kami melihat bahwa Sartre dalam menggagas kebebasan tidak memperhitungkan nilai-nilai moral. Harus diakui bahwa bagaimanapun juga manusia tidak lepas dari hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia. Maka, apabila kebebasan tidak memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan moral sebagaimana dicetuskan oleh Sartre, maka akibatnya adalah bahwa manusia itu sendiri jatuh atau terperosok ke dalam ketiadaan nilai-nilai moral. Sehingga, konsekuensinya adalah manusia hidup dalam keegoisan karena tidak menghargai satu sama lain akibat kebebasannya.


IV. Relevansi Kebebasan

Setelah membahas bagaimana Sartre menggagas kebebasan, kami melihat bahwa di satu pihak gagasan Sartre mengenai kebebasan masih memiliki relevansi pada jaman sekarang tetapi di lain pihak gagasan ini memiliki konsekuensi yang dapat menghancurkan manusia itu sendiri. Dengan kata lain konsep kebebasan Sarterian tidak relevan. Kami katakan bahwa konsep kebebasan Sarterian memiliki relevansi dalam arti bahwa bagaimanapun kebebasan manusia untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya harus diakui dan dihargai. Salah satu contoh misalnya adalah kebebasan untuk memilih partai tertentu atau kebebasan untuk beragama. Dalam hal ini manusia mempunyai kebebasan mutlak dan otonom. Namun, sebaliknya kebebasan Sarterian ini menjadi tidak relevan ketika manusia mengabaikan norma-norma moral yang berlaku. Di sinilah Sartre tidak konsekuen dengan apa yang di kemukakan. Oleh karena itu, menurut penulis, kebebasan manusia tetap diakui dan dihargai karena hanya dengan jalan demikian manusia sesungguhnya merealisir atau mengaktualisasikan dirinya tetapi dengan kebebasan itu juga manusia tidak boleh mengabaikan prinsip dan norma-norma moral sebab manusia tidak lepas dari sebuah komunitas yang memiliki hukum dan norma.

Blasius B. Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2005.

Bertens, K., Panorama Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 1987.

--------------, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jilid II, Jakarta: Gramedia, 2006.

Diester, Nico Syukur, OFM, Filsafat Kebebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Dagun, Save M., Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

­­­­­­­­­­­­---------------, Ringkasan Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius, 1975.

Hamersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983.

Muzairi, H. MA., Eksistensialisme Jean Paul Sartre: Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Piedade, Jiao Innocencio, SJ, Sejarah Filsafat Barat Kontemporer (Diktat Kuliah), Yogyakarta: Fakultas Filsafat teologi Wedhabakti, 1989.

Sartre, Jean Paul, Eksistensialisme Humanisme, (terj. Yudhi Murtanto), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.



[1] K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Jakarta:Gramedia, 1987, hlm. 170.

[2] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jilid II, Jakarta: Gramedia, 2006, hlm. 89-99. Jean Paul Sartre lahir pada tanggal 21 April 1905 di kota Paris. Ketika berumur dua tahun, ayahnya meninggal dunia sehingga bersama ibunya Anne Marie Schweitzer ia dibawa ke rumah kakeknya Charles Schweitzer seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alsace. Di bawah pengasuhan kakeknya, Sartre mengembangkan minat dan bakatnya terhadap sastra bahkan sastra menjadi agama baru bagi dia, sehingga pada umur 12 tahun, ia mengakui bahwa ia sama sekali tidak percaya pada Allah walaupun ia dididik dan dibesarkan dalam agama Katolik mengikuti agama Louise Guillemin istri dari Charles. Dalam bukunya Lest Mots, Sartre mengisahkan kehidupan masa kecilnya yang tidak bahagia. Antara tahun 1924-1929, Sartre belajar di École Normale Supéreiure. Selama menjadi mahasiswa, Sartre termasuk dalam golongan intelektual kiri dengan mengkritik kaum borjuis dan norma-norma tradisi serta menyerang idealisme. Pada tahun 1931, Sartre mengajar sebagai guru filsafat di beberapa Lycées, antara lain: Le Havre, Laon dan Paris. Pada saat itu, ia berkenalan dengan fenomenologi Husserl sehingga pada tahun 1933-1934, ia mendapat kesempatan untuk belajar fenomenologi di Berlin. Ketertarikan Sartre pada bidang filsafat, sastra, politik, drama dan film menghasilkan beberapa karya penting dari Sartre, seperti: La Transendence de l’égo; L’imagination; Esquise d’une théorie des émotions; L’imaginaire; La nausée; L’être et le néant Essai d’ontologie phénomenologieque dan bukunya yang paling populer adalah L’existentialisme est un Humanisme. Beberapa karyanya yang lain menandakan bahwa Sartre adalah seorang filsuf eksistensialis yang mempengaruhi peradaban abad ke 20. Pada tanggal 15 April 1980 Sartre meninggal dunia.

[3] Ibid., hlm. 106.

[4] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 108.

[5] H. Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre: Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 35.

[6] Harry Hamersma, Op. Cit., hlm. 109.

[7] Harun Hadiwijono, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1975, hlm. 83.

[8] H. Muzairi, Op. Cit., hlm. 21.

[9] Ibid., hlm. 13.

[10] Donny Gahral Adian, Percikan Pemikiran Kontemporer: Suatu Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2002, hlm. 161.

[11] Ibid., hlm. 163.

[12] K. Bertens, Op. Cit., hlm. 101.

[13] Donny Gahral Adian, Op. Cit., hlm. 164.

[14] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm. 100.

[15] Jiao Innocencio Piedade, SJ, Sejarah Filsafat Barat Kontemporer (Diktat Kuliah), Yogyakarta: Fakultas Filsafat Teologi Wedabhakti, 1989, hlm. 43.

[16] Ibid.,

[17] Donny Gahral Adian, Op. Cit., hlm. 165.

[18] H. Muzairi, Op. Cit., hlm. 112.

[19] Save M. Dagun, Op. Cit., hlm. 106.

[20] Donny Gahral Adian, Op. Cit., hlm. 167.