Minggu, 17 Agustus 2008

TELAAH TENTANG FUNGSIONALITAS KONFLIK DALAM MASYARAKAT MENURUT LEWIS A. COSER


Oleh: Blasius Baene

I. Pendahuluan

Konflik atau perselisihan yang terjadi dalam masyarakat, seringkali dianggap sebagai suatu masalah yang sangat kompleks, di mana kedua belah pihak yang sedang bertikai atau berselisih tidak mampu tidak mampu menciptakan suatu perdamaian, baik dalam relasi maupun dalam kehidupan sosial lainnya. Lewis A. Coser, seorang ahli sosioligi terkenal dari Amerika justru mempunyai pandangan lain terhadap konflik. Coser berpendapat bahwa konflik justru memiliki “fungsionalitas” positif dalam masyarakat. Hal ini dia gagas dalam bukunya yang berjudul: “The Functions of Social Conflict.”

Lewis A. Coesr lahir di Berlin-Jerman pada tahun 1913 dan memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Columbia. Kemudian, selama beberapa waktu, dia mengajar di universitas Chicago. Sebagian besar karir akademisnya dihabiskan di universitas Brandeis. Sejak tahun 1968, Coser menjadi Profesor luar biasa untuk bidang sosiologi di universitas negeri New York dan Stony Brook.

II. Pokok Masalah

Salah satu teori sosiologi yang berpengaruh di Amerika pada tahun 1950-an adalah “teori struktural fungsional.” Teori ini menekankan proses-proses sosial yang didasarkan pada konsensus nilai dan memandang masyarakat dari sisi solidaritas, integrasi, dan keseimbangan. Namun, para Sosiolog menganggap teori ini sebagai salah satu teori yang menutup mata terhadap konflik yang selalu melekat dalam setiap masyarakat. Dalam hal ini, teori fungsional struktural tidak melihat realitas bahwa masyarakat sesungguhnya dipenuhi oleh berbagai ketegangan dan selalu berpotensi untuk melakukan konflik. Teori fungsional cenderung melihat masyarakat berada dalam suatu posisi yang aman, damai, tentram, bersatu tanpa adanya konflik di antara mereka.

Melihat gejala konflik yang kerapkali terjadi dalam struktur sosial masyarakat, para ahli sosiologi menyumbangkan berbagai gagasan atau ide-ide untuk memecahakan aneka konflik yang ada dalam masyarakat. Misalnya: G. Simmel dan Max Weber mengatakan bahwa konflik tidak dapat dihindarkan dalam realitas sosial masyarakat, tetapi konflik memainkan peranan positif dalam mempertahankan masyarakat, yaitu memupuk rasa pemersatuan. Tetapi setelah mereka, kata “konflik” tidak terdengar lagi kecuali dalam arti yang negatif. Artinya, ada suatu paradigma baru yang menuntun para Sosiolog untuk memmberi top-ranking terhadap konsep “kesesuaian paham” atau konsensus sebagaimana terdapat dalam teori struktural fungsional. Sedangkan “konflik atau perselisihan” dilihat sebagai destruktif atau patologi masyarakat yang kemudian menghancurkan struktur relasi sosial masyarakat itu sendiri.

III. Pembahasan

Apa yang terjadi dalam tahun 1950-an mendorong Lewis A. Coser untuk menganalisa konflik yang dianggap sebagai destruktif atau patologi masyarakat oleh penganut teori struktural fungsionalisme. Dalam hal ini Coser mengawali pendekatannya dengan kecaman terhadap nilai atau konsensus normatif, keteraturan dan keselarasan.

Dalam kajian sosiologisnya, Coser berpendapat bahwa tidak selamanya konflik berkonotasi negatif, tetapi sebaliknya konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat menjadi suatu proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan kelompok sosial. Fungsi konflik yang positif dikemukakan oleh Coser dalam dinamika kelompok-dalam (in-group) versus hubungan kelompok luar (out-group). Kekuatan solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam, akan meningkat karena permusuhan atau konflik yang terjadi dengan kelompok luar bersifat lebih besar. Kemudian, Coser melihat bahwa konflik yang terjadi dalam suatu kelompok bersifat positif, karena dengan adanya konflik yang tidak terelakkan antarindividu, terciptalah suatu keinginan antarindividu untuk membangun sebuah dialog guna meningkatkan kesejahteraan, dukungan sosial dan lain sebagainya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap kelompok masyarakat konflik selalu ada, karena masing-masing pihak seringkali didorong oleh berbagai kesalah-pahaman antara satu dengan yang lainnya. Bahkan, Coser mengakui bahwa semua hubungan sosial pasti memiliki tingkat antagonisme tertentu, ketegangan atau perasaan-perasaan negatif. Coser mengatakan bahwa salah satu alternatif untuk menghilangkan konflik adalah dengan menggunakan sistim “katup penyelamat” (savety value), yaitu suatu mekanisme yang dipakai untuk mempertahankan kelompok yang menghadapi konflik tanpa merusak hubungan kelompok itu sendiri. Misalnya, rasa kekecewaan, marah terhadap kelompok dapat disalurkan melalui lelucon, gambar atau lukisan dan lain sebagainya. Coser juga melihat konflik sebagai suatu stimulus untuk membentuk integrasi antarkelompok, artinya konflik sering merasa usaha untuk mengadakan persekutuan dengan kelompok-kelompok lain.

IV. Kesimpulan

Apa yang dapat disimpulkan dari teori fungsionalitas konflik sebagaimana digagas oleh Lewis A. Coser? Ada empat kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang digagas oleg Coser berkaitan dengan fungsi konflik dalam masyarakat, antara lain: Pertama: bahwa konflik konflik antara kelompok meningkatkan solidaritas internal dalam kelompok-kelmpok yang sedang mengalami situasi konflik. Kedua: konflik di dalam kelompok mencega antagonisme yang tidak dapat dihindari yang menandai semua hubungan sosial, yakni mulai dari memupuknya sampai kepada satu titik di mana hubungan itu sendiri menjadi terancam. Ketiga: konflik meningkatkan perkembangan ikatan sosial antarkelompok, termasuk kelompok-kelompok yang sedang berkonflik itu sendiri. Keempat: konflik merupakan suatu rangsangan atau stimulus utama untuk mencapai adanya perubahan sosial.

V. Refleksi

Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik adalah merupakan suatu gejala yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia. Namun, konflik yanbg terjadi dalam masyarakat bukanlah suatu persoalan yang tidak dapat diselesaikan. Saya sependapat dengan Coser yang mengatakan bahwa “tidak selamanya konflik berkonotasi negatif.” Sebaliknya, konflik memberikan fungsi positif dalam sosial masyarakat untuk untuk menyatukan kembali kelompok-kelompok yang sedang mengalami konflik sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering berhadapan dengan apa yang disebut sebagai konflik, baik konflik yang berasal dari dalam (internal) maupun konflik yang berasal dari luar (eksternal). Misalnya: dalam hidup bersma di biara, saya sering mengalami konflik dengan teman yang kemudian memunculkan konflik batin dalam diri saya. Konflik terjadi karena adanya perbedaan pendapat, perbedaan sikap, perbedaan budaya dan lain sebagainya. Apalagi saya adalah orang yang berasal dari daerah yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan teman-teman dalam komunitas. Namun, persoalannya adalah apakah konflik yang terjadi dengan teman dalam komunitas adalah sebuah bentuk destruktif atau patologi bagi kedua belah pihak? Apakah setiap persoalan yang ada tidak dapat dieselesaikan secara damai? Menurut saya, konflik yang saya alami dengan teman-teman di dalam komunitas bukanlah suatu penyakit atau sesuatu yang tidak dapat diselesaikan secara damai. Sebaliknya, konflik yang ada justru menjadi saran untuk mempertahankan keatuan kelompok apalagi sebagai satu komunitas. Mengapa? Karena dengan adanya konflik, berarti masing-masing individu maupun kelompok di dalam komunitas itu berjuang untuk membangun dialog untuk mempertahankan integritas atau kesatuan sebagai anggota komunitas teristimewa dengan kelompok lain yang berasal dari budaya yang berbeda dengan dirinya. Selain itu, konflik dapat merangsang hidup setiap kelompok untuk merubah cara pandang yang pesimistis menjadi optimis untuk bersatu dengan kelompok-kelompok lain.
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang
Sumber:
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Modern dan Klasik, Jakarta: Gramedia, 1986.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

How to Play Baccarat - Fbcasino
Learn 카지노 how to play Baccarat online. Play Baccarat games against the 바카라 사이트 computer or at the table. 1xbet Baccarat involves two cards of two possible outcomes: two