Kamis, 20 November 2008

KONSEP EKSISTENSIALISME SØREN KIERKEGAARD




Oleh: Blasius B. Baene



I. Pendahuluan

Bangkitanya idealisme Jerman merupakan suatu hantaman terhadap individu, karena para filsuf idealisme hanya menggeluti persoalan-persoalan yang bersifat “universal.” Artinya, para filsuf idealisme membangun satu sistem epistemologi yang berorientasi pada rasio murni. Rasio murni bukanlah produk dari intelektual individu melainkan dasar dari embrio seluruh realitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para filsuf idealisme melihat segala realitas dalam perspektif universal dan abstrak.

Bertitik tolak dari realitas yang demikian, Søren Kierkegaard[1] membangun satu sistem filsafat yang tidak menggumuli persoalan-persoalan universal dan abstrak, melainkan persoalan-persoalan konkrit sekaligus menyentuh wilayah individu. Sebab, menurut Kierkegaard, persoalan-persoalan praktis sehari-hari itulah yang konkrit dan menjadi persolan eksistensial manusia.[2] Bagi Kierkgaard, yang konkrit itulah yang menjadi titik tolak permenungan baru tentang makna keberadaan manusia.[3] Atas dasar inilah Kierkegaard mencetuskan konsep tentang eksistensialisme. Bagaimana Kierkegaard memahami manusia sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit akan penulis bahas dalam paper ini.


II. Latar Belakang Pemikiran Søren Kierkegaard

Cetusan eksistensialisme yang digaungkan oleh Kierkegaard bertitik tolak dari bangunan filsafat idealisme Jerman. Eksistensialisme merupakan suatu gugatan terhadap filsafat idealisme yang cenderung mempersoalkan realitas secara universal dan mengabaikan eksistensi individu. Secara khusus epistemologi Kirkegaard merupakan suatu usaha untuk mendobrak “abstraksionisme” Hegel yang memutlakan Idea abstrak atau Roh sebagai kenyataan.[4] Kierkegaard melihat bahwa ide “abstraksionisme” Hegel merupakan suatu pereduksian terhadap manusia konkrit atau individu bahkan kesadaran manusia konkrit hanyalah sebuah dialektika dalam roh.[5] Oleh karena itu, Kierkegaard melihat Hegelianisme sebagai ancaman besar terhadap individu, karena individu dilihat tidak lebih dari sekadar titik atau percikan dalam sejarah.[6] Dengan kata lain, Hegel mereduksi personalitas atau eksistensi manusia yang konkrit ke dalam realitas yang abstrak. Padahal, menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai “Aku umum” tetapi sebagai “aku individual” dan tidak diasalkan kepada yang lain. Hanya manusia yang bereksistensi. Bereksistensi berarti bertindak sesuai dengan pilihan saya sebagai individu yang bereksistensi.[7] Eksistensi manusia bukanlah suatu “ada” yang statis, melainkan suatu “menjadi” yang di dalamnya terkandung suatu perpindahan yaitu dari “kemungkinan” ke “kenyataan.” Oleh karena itu, Kierkegaard membedakan tiga tahap kehidupan eksistensial, yaitu tahap estetis, tahap etis dan tahap religius.


2.1. Konsep Eksistensi Menurut Søren Kierkegaard

Cetusan “eksistensi” yang dipondasikan oleh Kierkegaard bertitik tolak dari gagasannya tentang manusia sebagai individu atau persona yang bereksistensi dan konkrit. Ia melihat bahwa hal yang paling mendasar bagi manusia adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya.[8] Menurut Kierkegaard, eksistensi hanya dapat diterapkan kepada manusia sebagai individu yang konkrit, karena hanya aku individu yang konkrit ini yang bereksistensi, yang sungguh-sungguh ada dan hadir dalam realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, aku yang konkrit ini tidak dapat direduksi kepada realitas-realitas lain, sebab jika aku yang konkrit ini direduksi ke dalam realitas-realitas yang lain itu, maka realitas diriku yang sesungguhnya sebagai individu yang bereksistensi tercampur dengan realitas-realitas itu. Dengan demikian, aku individu yang konkrit ini tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan dan mewujudkan diriku sebagaimana adanya karena aku tergantung kepada realitas-realitas itu. Ketergantunganku kepada realitas-realitas itu membuat aku tidak bisa untuk merealisasikan diriku sebagaimana aku kehendaki. Padahal menurut Kierkegaard, eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya.[9]

Menurut Kierkegaard, bereksistensi bukan berarti hidup dalam pola-pola abstrak dan mekanis, tetapi terus menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal dan subjektif.[10] Dengan kata lain, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan soal komitmen total seluruh pribadi individu. Berangkat dari kebebesan sebagai corak bereksistensi, Kierkegaard dengan demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas yang abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan konkrit. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan, hanya aku yang konkrit ini yang dapat mengambil keputusan atas diriku sendiri dan bukan orang lain. Orang lain tidak berhak untuk menentukan pilihanku dalam mengambil suatu keputusan atas apa yang aku lakukan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard, barangsiapa yang tidak berani mengambil keputusan, maka ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Hanya orang yang berani mengambil keputusanlah yang dapat bereksistensi karena dengan mengambil keputusan atas pilihannya sendiri, maka dia akan menentukan kemana arah hidupnya.[11]


2.2. Dialektika Eksistensial Søren Kierkegaard

Dialektika eksistensial yang dilontarkan oleh Kierkegaard berangkat dari gugatannya terhadap pemahaman Hegel tentang dialektika itu sendiri. Sebelum masuk kepada gagasan Kierkegaard tentang dialektika eksistensial, penulis menguraikan terlebih dahulu bagaimana pandangan Hegel tentang dialektika.

Salah satu metode yang digunakan oleh Hegel dalam menguraikan filsafatnya adalah metode “dialektika.” Hegel menggunakan metode dialektika bukan hanya sekadar untuk menguraikan filsafatnya, tetapi dengan menggunakan metode ini, Hegel mau mencetuskan bahwa kenyataan atau realitas merupakan suatu proses dialektis. Proses dialektis dalam pemikiran Hegel merupakan produk dari realitas pengalaman hidup sehari-hari melalui dialog dengan orang lain. Proses dialektis yang dipahami oleh Hegel dapat kita lihat dari argumen yang dilontarkan oleh Hegel. Misalnya: apabila dalam sebuah dialog/percakapan terdapat sebuah pendapat dan pendapat itu ditentang oleh pendapat lain, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan. Menurut Hegel, apabila ada oposisi semacam ini, kita berusaha untuk mendamaikan keduanya dengan sebuah pendapat yang lebih lengkap. Tahap ini menurut Hegel disebut sebagai proses dialektis, yaitu tahap tesis, sintesis dan antitesis.[12]

Tesis Hegel tentang dialektika ditentang oleh Kierkegaard dengan asumsi bahwa tegangan-tegangan kunci dalam eksistensi manusia tidak dapat didamaikan melalui pemikiran proses rasionalisasi dan dialektis.[13] Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa apabila Hegel memahami Roh Mutlak sebagai proses dialektis, maka Kierkegaard memahaminya sebagai suatu perkembangan kehidupan eksistensial individu. Selain tidak setuju dengan dialektika Hegel, Kierkegaard juga tidak menerima pemikiran Hegel yang cenderung berpikir baik... ataupun... . Menururt Kierkegaard, peralihan dari satu tahap ke tahap lain tidak dilakukan dengan pemikiran melainkan dengan keputusan kehendak atau pilihan bahkan dengan suatu lompatan. Oleh karena itu, Kierkegaard melukiskan kehidupan eksistensial manusia dalam tiga tahap, yaitu tahap estetis, tahap etis dan tahap religius.


2.2.1. Tahap Estetis

Terminologi estetis berasal dari kata Yunani, yang berarti mengindrai, mencecap. Menurut Kierkegaard, pada tahap ini, individu diombang-ambingkan oleh dorongan-dorongan indrawi dan emosi-emosinya. Akibatnya, individu yang berada dalam tahap ini tidak mencapai suatu kesatuan batiniah yang terungkap dalam satu pendirian dan kematangan pribadi. Dengan kata lain, individu masih dihadapkan pada realitas-realitas perasaan yang menyenangkan tanpa memperhitungkan apakah perasaan itu baik atau tidak. Pada tahap ini, individu memiliki keinginan yang besar untuk menikmati seluruh pengalaman emosi dan nafsu. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard tidak ada ukuran-ukuran moral yang umum atau keyakinan iman yang ditetapkan untuk membatasi ruang gerak individu. Maka salah satu persoalan yang ditakuti oleh individu pada tahap ini adalah rasa tidak enak dan kebosanan.

Kendatipun tahap ini merupakan tahap rendah dalam eksistensi manusia, namun tahap ini tetap disebut sebagai tahap eksistensial, karena pada tahap ini setiap individu memiliki pilihan bebas atas situasi-situasi yang dia hadapi. Bagaimana memahami pilihan ini, Kierkegaard menampilkan tiga pahlawan estetis dari kebudayaan Barat, yaitu Don Juan seorang tokoh dalam opera Mozart, Faust seorang tokoh ciptaan Goethe, dan Ahasuerus seorang Yahudi yang dalam pengembaraannya tidak percaya kepada Allah maupun manusia. Menurut Kierkegaard, ketiga tokoh ini merupakan perwakilan dari rasa kebosanan dan keputusasaan. Misalnya: Don Juan memiliki rasa kebosanan keputusasaan karena apa yang dia menikmati terus menerus terulang. Demikian pula dengan Faust yang menghadapai berbagai tantangan merasa ragu apakah dia mampu untuk menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Sedangkan Ahasueres menurut Kierkegaard merupakan personifikasi dari keputuasasaan karena ia memiliki realitas hidup yang tidak jelas.

Dari ketiga contoh di atas, Kierkegaard melihat bahwa keputusan merupakan tahap akhir dari sebuah pilihan eksistensi manusia. Artinya, ketika orang berada dalam situasi kebosanan dan keputusasaan, maka orang itu memiliki kebebasan untuk berpindah kepada eksistensi yang baru. Tahap ini disebut sebagai tahap etis.


2.2.2. Tahap Etis

Tahap etis merupakan suatu tahap di mana individu membuat suatu pilihan bebas atau sebuah “lompatan eksistensial.” Lompatan eksistensial mengandaikan bahwa individu mulai secara sadar memperhitungkan atau memilah-milah dan menggunakan kategori yang baik dan yang jahat dalam bertindak. Kierkgaard melukiskan peralihan dari eksistensi estetis ke eksistensi etis seperti orang yang meninggalkan kepuasan nafsu-nafsu seksualnya yang bersifat sementara dan masuk ke dalam status perkawinan dengan menerima segala kewajibannya.[14] Pada tahap ini individu dapat menguasai dan mengenali dirinya. Pengenalan dan penguasaaan diri menghantar individu untuk menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan ukuran-ukuran moral yang bersifat universal. Dengan demikian, kehidupan seorang individu pada tahap ini ditandai oleh pilihan-pilihan konkrit berdasarkan pertimbangan rasio.

Tetapi menurut Kierkegaard, kendatipun manusia telah berusaha untuk mencapai asas-asas moral universal, namun, manusia etis masih terkungkung dalam dirinya sendiri, karena dia masih bersikap imanen, artinya mengandalkan kekuatan rasionya belaka.[15] Pada tahap ini, manusia menyadari keadaannya yang tragis. Kierkegaard menampilkan Sokrates sebagai “pahlawan tragis.” Menurut Kierkegaard, kendatipun Sokrates mengakui kelemahan-kelemahan manusia, tetapi dia tidak memahami dosa karena kelemahan-kelemahan manusia dapat diatasi dengan kehendak atau dengan ide-ide belaka. Sokrates menyangkal dirinya demi asas-asas moral universal. Oleh karena itu, individu pada tahap ini tidak memahami bahwa dasar-dasar eksistensinya terbatas. Ia juga tidak menjumpai Paradoks Absolut kecuali kalau dia memiliki realitas kehidupan yang mendalam sehingga dia ditantang untuk melompat ke eksistensi yang baru, yaitu tahap religius.


2.2.3. Tahap Religius

Tahap religius merupakan tahap tertinggi dari eksistensial manusia. Dikatakan demikian karena tahap ini tidak lagi menggeluti hal-hal yang konkrit melainkan langsung menembus inti yang paling dalam dari manusia,[16] yaitu pengakuan individu akan Allah sebagai realitas Yang Absolut dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan dari Allah. Pada tahap ini, manusia religius membiarkan diri terkena oleh mata petir rahmat Tuhan dan dengan iman kepercayaan yang besar ia mempertaruhkan seluruh kehidupannya demi Allah. Ia mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus.[17] Tetapi, Kierkegaard melihat bahwa iman kepercayaan Kristiani itu bersifat paradoks kendatipun hidup sebagai kristen merupakan cara yang paling tinggi bagi manusia.

Pada poin ini, Kierkegaard menampilkan Abraham[18] sebagai tokoh orang beriman sejati kepada Allah. Menurut Kierkegaard, ketika Abraham mengorbankan putranya Ishak, pada saat itu dia berhadapan dengan realitas paradoks, yaitu di satu pihak dia menyadari keterbatasannya sebagai manusia tetapi melalui keterbatasan itu Abraham membangun satu relasi intim dengan Yang Absolut. Pada tataran inilah Abraham benar-benar meninggalkan tahap etis dan melompat kepada tahap religius, yaitu langsung berhadapan dengan Yang Absolut, dengan Allah yang berpribadi, yang perintah-perintah-Nya bersifat mutlak dan tidak dapat diukur dengan akal manusia.[19]

III. Tinjauan Kritis Atas Konsep Eksistensialisme Søren Kierkegaard

Eksistensialisme yang dicetuskan oleh Kierkegaard merupakan suatu aliran filsafat yang hendak memperjuangkan manusia sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit. Eksistensialisme berasal dari kata “eks” yang berarti keluar dan “sistensi” dari kata “eksistere” yang berarti tampil, menempatkan diri, berdiri, ialah cara manusia berada di dunia ini.[20] Dari pengertian ini dapat kita pahami bahwa eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang menggeluti persoalan-persoalan yang berkaitan dengan eksistensi terutama eksistensi manusia. Manusia dilihat bukan dari esensinya melainkan eksistensinya. Oleh karena itu, kaum eksistensialis khususnya Kierkegaard melihat manusia sebagai individu yang bereksistensi tidak dapat direduksi ke dalam realitas-realitas lain, karena eksistensi bukanlah suatu persona yang universal melainkan individual.

Konsep eksistensialisme yang dicetuskan oleh Kiekregaard menurut penulis mengakibatkan dua hal, yaitu positif dan negatif. Secara positif, Kierkegaard membangun satu sistem filsafat yang menempatkan manusia sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit. Oleh karena itu, manusia tidak pernah dapat direduksi ke dalam realitas-realitas universal dan abstrak, karena apabila manusia direduksi ke dalam realitas-realitas abstrak dan universal, maka manusia tidak pernah memiliki kebebasan untuk merealisir atau mewujudkan dirinya sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit. Hal ini disebabkan oleh karena manusia tergantung kepada realitas-realitas itu sendiri. Dengan kata lain, realitas-realitas itu memiliki hukum-hukumnya sendiri dan ketika hukum-hukum itu diterapkan kepada individu yang bereksistensi, maka individu itu mau tidak mau harus mengikuti hukum-hukum itu. Ia tidak pernah merealisir diri sebagaimana adanya. Dengan demikian, Kierkgaard menyadarkan kita bahwa kita adalah individu yang eksis, pribadi-peribadi yang sadar bukan sekadar sebagai bagian dari suatu kerumunan, angka-angka dalam suatu kelompok atau benda-benda dalam suatu kumpulan melainkan sebagai pribadi yang bereksistensi.[21]

Sebagai dampak negatif, Kierkegaard tidak memperhatikan realitas bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk relasional. Sebagai makhluk relasional, manusia tidak bisa lepas dari realitas sosial bahwa manusia hidup dalam relasi dengan orang lain. Manusia tidak pernah hidup dalam kesendirian. Manusia selalu membutuhkan dan membangun relasi dengan orang lain. Oleh karena itu, menurut penulis manusia tidak cukup hanya bereksitensi untuk dirinya sendiri tetapi manusia bereksistensi untuk dirinya sendiri tanpa mengabaikan orang lain sebagai bagian dari kehadirannya sebagai individu. Dengan kata lain, Kierkegaard kurang menghargai hidup bersama dengan orang lain.



IV. Relevansi

Bertitik tolak dari ketiga tahap eksistensial manusia, penulis melihat bahwa apa yang digagas oleh Kierkegaard masih sangat relevan untuk zaman sekarang terutama bagaimana manusia sebagai individu secara bebas menentukan pilihannya dalam mengambil sebuah keputusan. Dalam mengambil keputusan, manusia sebagai individu tidak pernah bergantung kepada dorang lain. Orang lain tidak berhak atas setiap keputusan individu untuk dirinya sendiri, tetapi individu tidak bisa mengabaikan kehadiran orang lain dalam kehidupannya.




Blasius B. Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

DAFTAR PUSTAKA

Barret, William, Irrational Man, A Study in Existential Philosophy, Heinemann: London

------------------ Melbourne Toronto, 1961.


Budi Hardiman, F., Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta:

----------------- Gramedia, 2007.


Dagun, Save M., Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.


Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.


-----------------------, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1975.


Hammersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1984.


Martin, Vincent, O.P., Filsafat Esksistensialisme (Kierkegaard, Sartre, Camus),

----------------- Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.


Ryadi,Agustinus, Filsafat Barat Modern (Diktat kuliah), Malang: STFT Widya Sasana

------------------ Malang, 2007.


Setiaardja, A. Gunawan, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan

-------------------, Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990.


Swenson, David F. dan Walter Lowrie, (terj)., Søren Kierkegaard: Concluding

--------------------, Unscientific Postscript, Princeton: Princeton University Press, 1974.


Van der Weij, P.A., Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Jakarta: Gramedia, 1988.



[1] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007, hal. 244-246. Søren Kierkegaard lahir pada tahun 1813 di kota Kopenhagen, Denmark. Ia lahir sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Kierkegaard mewariskan sifat melankolik dan religius dari ayahnya. Pada tahun 1830, ia belajar di fakultas teologi Universitas Copenhagen untuk menyenangkan ayahnya karena Kierkegaard sendiri tidak berminat dalam bidang teologi. Selain belajar teologi, ia juga belajar filsafat dan kesusasteraan. Setelah belajar teologi, Kierkegard mulai melancarkan kritik terhadap agama Kristen di Denmark yang kemudian menghantar dia kepada sikap tidak percaya bahkan ia kehilangan kepercayaan pada patokan-patokan moral. Setelah ayahnya meninggal, Kierkegaard mengalami suatu pertobatan religius dan sempat bertunangan dengan Regina Olsen, tetapi dia memutuskan pertunangan itu dan memilih untuk hidup dalam kesendirian. Pada tahun 1855, Kierkgaard meninggal dunia. Beberapa karya Kierkgaard yang terkenal adalah antara lain: Om Begrebet Ironi (The Concept of irony), yaitu sebuah disertasi tentang konsep ironi, Either Or yang menyatakan sikap hidupnya (atau... atau...), The Concept of Dread, Philosophical Fragemnts, Stages on Life’s Way, dan Concluding Unscientific Postscript, Attack upon Christendom.

[2] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 124.

[3] P.A. Van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Jakarta: Gramedia, 1988, hal. 141.

[4] F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 248.

[5] Ibid.,

[6] P.A. Van der Weij, Op. Cit., hal., 139.

[7] Harun Hadiwijono, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1975, hal. 83.

[8] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 50.

[9] Ibid.,

[10] F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 250.

[11] Harun Hadiwijono, Ibid.,

[12] F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 181.

[13] Agustinus Ryadi, Filsafat Barat Modern (Diktat Kuliah), Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2007, hal. 110

[14] Harun Hadiwijono, Op. Cit., hal. 125.

[15] F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 253.

[16] Save M. Dagun, Op. Cit., hal. 52.

[17] P.A. Op. Cit., hal. 142.

[18] William Barret, Irrational Man: A Study in Exsistential Philosophy, Heinemmann: Melbourne Toronto, 1961.

[19] Harun Hadiwijono, Op. Cit., hal. 126-127.

[20] A. Gunawan Setiaardja, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 59.

[21] Vincent Martin, O.P. Filsafat Eksistensialisme (Kierkegaard, Sartre, Camus), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 25.



Tidak ada komentar: