Selasa, 01 April 2008

Analisis Perbandingan Eklesiologi Kitab Didache dan Tradisi Apostolik Hipolitus dari Roma

Oleh: Blasius Baene

I. Pendahuluan

Salah satu persoalan yang seringkali dihadapi oleh Gereja khususnya Gereja Katolik adalah pertanyaan mengenai kebenaran sumber-sumber iman yang dihayati oleh Gereja Katolik. Pertanyaan seperti ini, kerapkali menjadi bahan diskusi baik dalam kalangan jemaat Katolik sendiri maupun di luar jemaat Katolik. Apa yang dipertanyakan adalah berkaitan dengan keabsahan/keaslian sumber-sumber iman yang dihayati oleh Gereja Katolik. Bahkan dari kalangan Protestan sendiri mengajukan sebuah pernyataan kritis dengan mengatakan “back to the Bible”1 artinya kembali kepada Kitab Suci. Dengan kata lain, pernyataan kritis seperti ini mengundang Gereja Katolik untuk melihat kembali teks-teks Kitab Suci sebagai sumber iman yang utama. Kritik ini diajukan berkaitan dengan kepercayaan kaum Protestan yang berpusat pada “Sola Scriptura” artinya satu-satunya sumber kebenaran iman adalah Kitab Suci. Berbeda dengan Gereja Katolik, yang mengakui di samping “Sola Scriptura” sebagai sumber iman, juga “Sola Fidei dan Sola Gratia” diakui sebagai sumber kebenaran iman.
Oleh karena itu, melalui kedua tradisi yang saya bahas dalam paper ini, yaitu tradisi apostolik Hipolitus dari Roma dan kitab Didache, saya akan melihat bagaimana kedua tradisi ini menghadirkan warisan para rasul sebagai sumber kebenaran iman. Selain itu, saya juga akan membahas bagaimana kedua teks ini menampilkan struktur jemaat dan konsep Gereja.

II. Asal-usul Kitab Didache dan Tradisi Apostolik

Kitab Didache dan tradisi apostolik adalah dua tradisi yang muncul pada abad yang berbeda. Kitab Didache muncul pada abad kedua setelah sejarawan Gereja yang bernama Eusebius dari Kaisarea (265-340) dan seorang Bapak Gereja yang bernama Athanasius dari Antiokhia (296-373)2 menulis bahwa ada sebuah kitab yang bernama Didache (Pengajaran) ton Dodeka Apostolon (Dua belas Rasul) atau Pengajaran Dua belas Rasul. Secara historis, penulis kitab Didache dan daerah asal penulisannya tidak diketahui secara pasti. Namun, ada dugaan bahwa kitab Didache kemungkinan berasal dari daerah Siria dan Mesir karena tulisan mengenai kitab ini sangat terkenal penggunaannya di Mesir. Dugaan lain adalah bahwa kitab Didache diperkirakan berasal dari pertengahan abad pertama mengingat ada indikasi penulisan mengenai bagaimana Gereja mengelola diri dan juga ketidakmengetahuan penulis kitab Didache atas kehancuran kota Yerusalem pada tahun 70 M.
Beralih dari asal usul kitab Didache, tradisi apostolik muncul pada abad ketiga. Tradisi ini berasal dari Hipolitus dari Roma pada tahun 215. Dia adalah seorang imam dari Gereja Roma. Dalam hidupnya, ia banyak menghadapi tantangan terutama pengaruh teman-temannya yang merasa anti terhadap Paus. Pada zaman Paus Pontianus, dia dan Pontinus dibuang ke Sardinia dan pada tahun 325 sebelum ia mati, Hipolitus berdamai dengan uskup Roma. Hal ini disebabkan oleh karena dirinya merasa anti Paus akibat pengaruh dari teman-temannya seperti: Zeprinus dan Callitus yang anti terhadap Paus. Hipolitus mati sebagai Martir di Roma.

2.1. Pengertian Kitab Didache

Kitab Didache merupakan sebuah dokumen yang berisikan tentang ajaran Bapak-bapak rasuli atau lebih tepatnya “Pengajaran Tuhan melalui Dua Belas Rasul kepada bangsa-bangsa non-Yahudi.” Sangat dimungkinkan bahwa materi yang ada dalam kitab Didache, berasal dari para murid dan rasul Kristus sendiri sedangkan beberapa tulisan lainnya diperkirakan berasal dari tradisi Yudaisme yang digabung menjadi satu sehingga terbentuk menjadi sebuah kitab.3 Apa yang tertulis dalam kitab Didache dianggap sebagai sebuah karya/pengajaran yang berwibawa oleh karena isi kitab Didache ini merupakan sebuah kumpulan tulisan yang ditulis oleh Bapak-bapak rasuli yang secara khusus mengenal satu atau lebih dari murid-murid Kristus. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Bapak-bapak rasuli ini adalah para penulis yang mendapatkan pengajaran langsung dari para rasul atau murid-murid para rasul Kristus.4 Oleh karena itu, berdasarkan keterangan ini beberapa sarjana melihat bahwa kitab Didache ditulis pada tahun 50 M bersamaan dengan penulisan surat rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika.5 Dengan demikian, dapat kita menganalisa bahwa sangat masuk akal jika penulis kitab Didache ini adalah orang-orang yang mengenal dan langsung mendapatkan pengajaran dari para rasul atau murid-murid para rasul Kristus. Setelah diteliti dan dipahami secara mendalam oleh para sarjana dan para teolog, akhirnya karya bapak-bapak rasuli ini ditetapkan di dalamnya ada 8 kitab.6 Salah satu dari 8 kitab itu adalah “kitab Didache.”

2.2. Tradisi Apostolik

Tradisi apostolik Hipolitus dari Roma merupakan sebuah tradisi yang menghadirkan tradisi Gereja terutama berbagai tata cara ritual yang dilakukan oleh Gereja sesuai dengan ajaran para rasul. Misalnya: tata cara pentahbisan seorang uskup, pembaptisan dan lain sebagainya. Selain itu, tradisi apostolik ini juag menghdirkan bagaimana struktur jemaat dalam Gereja sebagaimana para rasul juga membentuk struktur jemaat di mana para rasul sendiri menjadi kepala jemaat. Oleh karena itu, sejauh saya pahami tradisi ini, maka saya akan membaginya dalam tiga bagian, yakni: tradisi tentang upacara pentahbisan seorang uskup, hidup keluarga, dan upacara pembaptisan para katekumenat.

2.1. Kitab Didache: Sebuah Studi tentang Iman Gereja

Untuk memahami kitab Didache sebagai sumber iman Gereja, pertama-tama harus dipahami apa itu studi Patristik dan studi Patrologi, karena hanya melalui kedua istilah ini, kita dapat mengerti dan memahami apa yang disampaikan dalam kitab Didache kepada kita.
Studi patristik dan studi patrologi adalah dua istilah yang berbeda, karena keduanya memiliki pengertian dan objek tersendiri dalam memahami iman Gereja. Studi patristik merupakan sebuah studi tentang teologi yang ditulis oleh Bapak-bapak Gereja, artinya studi patristik mempelajari bagaimana cara untuk memahami pemikiran teologis Bapak-bapak Gereja yang menyelesaikan persoalan iman pada zamannya. Sebaliknya, studi patrologi merupakan studi yang lebih menekankan pemahaman terhadap historisitas literer dari teks-teks tulisan purba.7 Untuk memahami teks-teks purba yang bersifat historis ini, para peneliti studi patrologi harus mengenal apa maksud dan tujuan dari penulisan-penulisan teks tersebut. Oleh karena itu, mereka yang menggeluti dunia patrologi adalah orang-orang yang memiliki keahlian sekaligus bekerja di luar tubuh Gereja, seperti sejarawan, pengajar, dan lain sebagainya. Sedangkan studi patristik digeluti oleh mereka yang bekerja dalam tubuh Gereja, seperti para rohaniwan, karena mereka mengakui tulisan Bapak-bapak Gereja ini sebagai sebuah warisan kekayaan Gereja yang harus diakui dan dicintai kewibawaannya.

2.2. Tradisi Apostolik: Sebuah Studi tentang Iman Gereja

Sebagaimana kitab Didache diterima sebagai sumber kebenaran iman Gereja, demikian pula tradisi apostolik diterima dan diakui sebagai sumber kebenaran iman Gereja, karena keseluruhan tradisi ini memperlihatkan dengan jelas nuansa pokok-pokok iman Gereja yang dianggap sebagai warisan dari para rasul, sehingga sampai pada abad ketiga warisan itu terus menerus dihayati dalam kehidupan jemaat. Misalnya: dalam upacara pentahbisan uskup. Seorang uskup akan menumpangkan tangannya ke atas uskup yang tertahbis untuk menjadi uskup. Pada saat uskup menumpangkan tangannya, ia berdoa untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan dan memohon turunnya Roh Kudus atas uskup yang tertahbis. Selain berdoa untuk memohon datangnya Roh Kudus, umat juga diajak untuk ambil bagian di dalam perayaan itu untuk berdoa kepada Tuhan memohon datangnya Roh Kudus8 atas uskup yang tertahbis. Puncak dari pentahbisan ini terletak dalam perayaan ekaristi sebagai puncak iman Gereja di mana di dalamnya dirayakan misteri keselamatan lewat tubuh dan darah Kristus sendiri sebagai kurban.

III. Analisa Isi

3.1. Analisa Isi Kitab Didache

Pada dasarnya kitab Didache dianggap sebagai sebuah kitab tertua di luar ke-27 kitab yang telah dikanonkan sebagai kitab Perjanjian Baru. Terhadap analisa isi kitab Didache, pertama-tama harus dikatakan bahwa tulisan-tulisan yang terdapat dalam kitab Didache sebagian besar memiliki paralelisme dengan Injil Matius. Tetapi, sebaliknya dikatakan bahwa apa yang ada dalam kitab Didache tidak terdapat dalam Injil Markus sebagai Injil tertua menurut kebanyakan para ahli. Padahal dalam kenyataannya, sebagian besar isi Injil Matius berasal dari Injil Markus. Selanjutnya, kitab Didache sebagai pengajaran Tuhan melalui Dua Belas rasul diperkirakan sebagai hasil karya tangan Barnabas, karena ada anggapan bahwa kitab Didache pasal 1-6 memiliki paralelisme yang mirip dengan surat Barnabas pasal 18-20.8 Selanjutnya, dalam kitab Didache ini ditemukan bahwa beberapa ajaran yang berkaitan dengan moral, teologi, liturgi, cara untuk menentukan mana rasul dan mana nabi yang asli dan palsu, serta cara mengatur jemaat pada abad pertama kekristenan.9
Dalam memahami bagaimana isi kitab Didache secara keseluruhan, maka pada bagian ini saya mencoba menguraikan isi kitab Didache sesuai dengan bagian-bagiannya. Kitab Didache sendiri terdiri atas 16 pasal10 dan dibagi dalam empat bagian, antara lain: Pertama, bahan katekisasi moral dalam bentuk ajaran “Dua Jalan.” Kedua: instruksi liturgi mengenai baptisan, puasa, doa, ekaristi, peran para Episkope dan Diaken. Ketiga: ajaran tentang ibadah hari Minggu. Keempat: ajaran tentang akhir zaman.11

3.1.1. Bahan tentang Katekisasi Moral dalam bentuk ajaran “Dua Jalan”

Ajaran pertama tentang katekisasi moral dalam bentuk ajaran “Dua Jalan” terangkum dalam kitab Didache pasal 1-5 sebagai sebuah kumpulan instruksi moral Yudaisme yang diadopsi oleh orang-orang non-Yahudi yang hendak dibaptis dalam iman Kristen. Instruksi ini dikenal dengan nama “Dua Jalan.” Kedua jalan yang dimaksud di sini adalah “Jalan Kehidupan” dan “Jalan Kematian.” Kedua jalan ini merupakan sebuah ajaran mulia sejak zaman kuno, bahkan ajaran ini dapat dibandingkan dengan pesan kitab Didache dalam teks-teks PL (Ul 30:19; Yer 21:8) dan PB (Mat 7:13-13). Jalan ini juga dapat ditemukan dalam surat Barnabas ayat 18:1-21:912.
Apa yang disebut sebagai jalan kehidupan seluruhnya berisikan tentang ajaran cinta kasih, larangan-larangan, dan beberapa hukum lain yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa ajaran tentang cinta kasih yang terdapat dalam kitab Didache sebagian besar memiliki paralelisme dalam Injil Matius khususnya ajaran tentang khotbah di bukit. Sedangkan ajaran yang berisikan tentang larangan sebagian besar paralel dengan teks-teks PL seperti jangan membunuh, jangan berzinah dan lain sebagainya.13 Sebaliknya, ajaran tentang jalan kematian berisikan tentang perbuatan-perbuatan yang megarah kepada sikap kejahatan, seperti percabulan, penyembahan berhala, pembunuhan, perzinahan, kesombongan, kemunafikan dan lain sebagainya.14

3.1.2. Instruksi mengenai Baptisan, Puasa, Doa, Ekaristi, peran Episkope dan Diaken

Salah satu isi pokok yang penting dari tata cara pembaptisan dalam kitab Didache adalah bahwa seseorang yang dibaptis haruslah dibaptis dalam nama sang Bapa, dan sang Putra, dan sang Roh Kudus. Rumusan seperti ini juga dapat kita temukan dalam Injil Matius sebagaimana Yesus amanatkan kepada para rasul untuk menjadikan semua bangsa menjadi murid-Ku. Orang yang dibaptis harus dibaptis dalam air yang mengalir. Kemudian, mengenai puasa dan doa15, dikatakan bahwa hendaklah setiap orang berpuasa dan berdoa tidak seperti orang munafik, tetapi sebaliknya berpuasa dan berdoalah sebagaimana Tuhan perintahkan dalam injil-Nya. Selanjutnya, dalam perayaan ekaristi, ada dua hal yang penting, yakni mengucap syukur atas “cawan dan roti.” Mengucap syukur berarti mensyukuri rahmat Tuhan yang Dia berikan kepada umat-Nya. Mengenai para Episkope dan Diaken16, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang Episkope dan Diaken, yaitu dia adalah seorang laki-laki yang lembut hati, tidak tamak, jujur, dan teruji.

3.1.3. Ajaran tentang Ibadat Hari Minggu

Kitab Didache juga mengajarkan bagaimana sikap yang harus dilakukan oleh jemaat pada hari Minggu. Didache mengajarkan bahwa pada hari Minggu, jemaat diajak untuk berkumpul bersama, memecahkan roti dan mengucapkan syukur kepada Tuhan, serta mengakui dosa dan pelanggaran yang telah dilakukan. Oleh karena itu, setiap orang tidak dibiarkan untuk berseteru dengan sesamanya yang datang berkumpul dalam pertemuan jemaat itu.

3.1.4. Ajaran tentang akhir Zaman

Ajaran tentang akhir zaman dalam kitab Didache dapat kita bandingkan dengan apa yang terdapat dalam Injil Matius. Didache melihat bahwa pada akhir zaman hendaknya setiap orang berjaga-jaga, bersiapsiaga, dan lain sebagainya untuk mengetahui saat kedatangan Tuhan, sebab pada akhir zaman, para nabi palsu dan penyesat akan berlipat ganda banyaknya dan anak domba berubah menjadi serigala dan kasih menjadi kebencian. Secara umum apa yang diajarkan tentang akhir zaman dalam kitab Didache, sebagian besar dapat kita temukan dalam teks-teks PB dan juga beberap teks PL.
Hal lain yang diajarkan dalam kitab Didache adalah ajaran tentang pengajaran palsu dan mengenai makanan (pasal 6), ajaran tentang Pengajar, Rasul, dan Nabi (pasal11),17 dan ajaran tentang bagaimana hal menerima orang Kristen. Hal yang sangat ditekankan dalam menerima orang Kristen adalah menerima setiap orang yang datang dalam nama Tuhan.

3.2. Analisa Isi Tradisi Apostolik Hipolitus dari Roma

Setelah memahami apa yang disampaikan dalam tradisi apostolik Hipolitus dari Roma, maka untuk melihat bagaimana isi tradisi ini secara keseluruhan, menurut saya tradisi ini dibagi dalam tiga bagian, antara lain:

3.2.1. Tata Pemilihan dan Upacara Pentahbisan Uskup dan Diakon (TA 1-9)

Bagia pertama dari ajaran Hipolitus adalah soal tata cara pemilihan seorang uskup dan diakon. Seorang calon uskup tertahbis menurut tradisi Hipolitus adalah seseorang yang tidak bercela dan merupakan pilihan seluruh jemaat. Pada saat upacara pentahbisan calon uskup, semua uskup yang hadir akan menumpangkan tangan ke atas calon uskup tertahbis, sedangkan umat diajak untuk berdoa memohon rahmat turunnya Roh Kudus ke atas uskup tertahbis. Salah seorang dari uskup yang hadir akan mengucapkan doa dengan mengatakan “Allah Bapa, Tuhan kami Yesus Kristus, melalui Gereja suci-Mu, Engkau telah memilih hamba-Mu ini untuk menjadi uskup. Curahkanlah Roh ilahi-Mu kepada hamba-Mu ini untuk menggembalakan kawanan domba-domba-Mu. Demi Yesus Kristus Putera-Mu, bersama Bapa dan Roh Kudus, dalam Gereja kudus, sekarang dan sepanjang segala abad. Amin. Setelah itu, uskup berdialog dengan umat untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan (bdk. TA 4:1-13). Kemudian, uskup yang tertahbis akan memberkati persembahan dengan mengatakan: bagi-Mu kemuliaan, Bapa dan Putera dan Roh Kudus, bersama Gereja suci-Mu, sekarang dan selalu dan sepanjang segala abad, amin (bdk. TA 5-7).
Selain pemilihan uskup, Hipolitus juga melihat bagaimana tata cara pemilihan seorang diakon. Dalam pantahbisan diakon, ia mengatakan bahwa hanya uskup yang dapat menumpangkan tangan ke atas diakon tertahbis, karena diakon tidak ditahbiskan untuk menjadi seorang imam melainkan untuk melayani dan membantu uskup. Oleh karena itu, ia bukan bagian dari dewan klerus, tetapi apa yang dipercayakan kepadanya berada di bawah otoritas uskup, sehingga hanya uskuplah yang dapat mengangkat seseorang menjadi diakon (bdk. TA 8:1-12). Satu hal yang penting dalam seluruh peristiwa ini adalah mengucapkan syukur kepada Tuhan lewat doa-doa atas karya tangan-Nya dalam diri setiap orang yang terpilih menjadi hamba-Nya (bdk. TA 9:1-5).

3.2.2. Kehidupan Keluarga (TA 10-16)

Bagian kedua dari tadisi aostolik Hipolitus khusunya pasal 10-16 berbicara tentang kehidupan keluarga secara khusus kehidupan seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya dan kehidupan para budak. Pertama, bahwa seorang janda tidak ditahbiskan melainkan dalam tugas kegerejaan ia dipilih/disahkan oleh penatua. Seorang janda tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa dalam Gereja, tetapi dia mempunyai kewajiban dalam liturgi, karena kewajiban liturgi merupakan kewajiban untuk semua orang (bdk. TA 11:1-5).
Kedua: orang yang baru masuk dalam agama Kristen, mereka akan ditanyakan alasan apa yang membuat mereka beriman kepada Kristus. Mereka juga ditanyakan bagaimana sikap hidup mereka, status perkawinan mereka, pekerjaan-pekerjaan mereka, dan kedudukan atau jabatan mereka. Jika mereka adalah budak yang beriman, maka mereka akan diizinkan untuk mendengarkan sabda, tetapi jika mereka adalah seorang pendukung praktek prostitusi, seorang pelacur, seorang gundik, dan lain sebagainya, maka mereka itu akan ditolak (bdk TA 15-16).

3.2.3. Kehidupan para Katekumen (TA 17-43)

Hipolitus sangat mengamati bagaimana kehidupan para katekumen sebagai bagian dari kehidupan menggereja. Ia melihat bahwa para katekumen tidak cukup hanya mendapat bimbingan dalam waktu satu atau dua bulan untuk mengenal Kristus. Menurut Hipolitus, para katekumen yang ingin mengenal Kristus harus menerima bimbingan selama tiga tahun. Selama berlangsung pengajaran, para katekumen selalu diajak untuk berdoa sampai matang, sehingga secara batin mereka siap untuk menerima baptisan dan menjadi anggota Gereja. Pada hari sabat, mereka yang menerima baptisan akan berkumpul dalam satu tempat untuk berdoa bersama dan di sana uskup akan menumpangkan tangan ke atas mereka untuk melepaskan mereka dari segala roh-roh jahat yang mengganggu kehidupan mereka. Pada waktu pembaptisan, uskup akan mendoakan minyak syukur yang ada dalam bejana. Pada saat itu pula, ada dua orang diakon yang membantu uskup berdiri di sebelah kiri dan kanan sambil memegang minyak masing-masing. Setelah itu, uskup akan meminyaki mereka dengan minyak pembebasan dari roh-roh jahat. Setiap orang yang dibaptis akan turun ke dalam air. Dalam pembaptisan itu juga terjadi dialog antara yang membaptis dengan yang dibaptis berkaitan dengan iman kepercayaan kristiani, khusunya tentang syahadat iman (bdk TA 21:1-40).
Upacara pembaptisan para katekumen disatukan dalam perayaan ekaristi sebagai puncak iman orang beriman akan kehadiran Kristus. Dalam perayaan ekaristi itu akan dirayakan misteri keselamatan Kristus dan cinta Allah kepada manusia, secara khusus para katekumen yang lahir menjadi manusia baru dalam Kristus. Dalam perayaan ekaristi mereka akan disatukan bersama dengan Kristus sendiri.

IV. Konsep Gereja dalam menurut Kitab Didache dan Tradisi Apostolik

Dalam memahami bagaimana konsep Gereja dalam kitab Didache dan tradisi apostolik Hipolitus dari Roma, saya melihat bahwa ada beberapa konsep Gereja dalam kedua tradisi ini. Konsep Gereja itu adalah:

4.1. Gereja sebagai Communio

Baik kitab Didache maupun tradisi apostolik Hipolitus tidak terlalu memperlihatkan cirikhas Gereja sebagai sebuah communio. Namun, jika kita menelusuri lebih jauh kedua tradisi ini, maka kita akan menemukan bahwa kedua tradisi ini menampilkan sosok Gereja sebagai sebuah communio yang mempersatukan umat beriman. Misalnya, dalam perayaan ekaristi, baik kitab Didache maupun tradisi apostolik Hipolitus, tampak bahwa melalui perayaan ekaristi umat bersatu dan berkumpul dalam Gereja untuk merayakan secara bersama-sama misteri agung keselamatan Kristus. Melalui Gereja, mereka membentuk sebuah communio yang berdasarkan pada kehadiran Allah. Gereja membangun jemaat menjadi satu komunitas yang beriman kepada Tuhan.

4.2. Gereja sebagai Rahmat Keselamatan

Gereja tidak cukup hanya sebagai communio, tetapi juga harus dikatakan bahwa Gereja adalah pusat keselamatan hidup jemaat. Berkat wafat dan kebangkitan Kristus, Gereja sungguh-sungguh dipenuhi oleh Roh Kudus, sehingga melalui Roh Kudus itu Gereja turut mewartakan bahwa Gereja adalah pusat keselamatan manusia. Dan hal ini tampak dalam kedua tradisi yang ada, baik Didache maupun tradisi apostolik Hipolitus dari Roma. Hipolitus sendiri melihat Gereja sebagai rahmat keselamatan lewat Roh yang berkarya dalam hidup jemaat. Sedangkan kitab Didache melihat Gereja sebagai keselamatan lewat pemecahan roti di mana umat berkumpul untuk merayakan misteri kebangkitan Kristus.

4.3. Gereja sebagai pusat perayaan Iman

Gereja bukan hanya sebagai communio dan keselamatan, tetapi yang lebih penting adalah bahwa Gereja adalah pusat perayaan iman. Melalui perayaan ekaristi dan doa-doa yang dirayakan dalam Gereja, jemaat yang berkumpul merayakan misteri iman mereka kepada Tuhan. Baik dalam kitab Didache maupun dalam tradisi apostolik, dimensi Gereja sebagai perayaan iman dapat dilihat dalam perjamuan ekaristi sebagai ungkapan syukur, ungkapan iman dan ungkapan kesatuan dengan Kristus.

V. Penutup/kesimpulan

Setelah mempelajari kitab Didache dan tradisi apostolik, apa yang dapat disimpulkan? Saya melihat bahwa ada beberapa hal yang dapat diambil sebagai kesimpulan. Pertama: Kitab Didache dan tradisi apostolik memberikan sebuah pemahaman baru kepada kita berkaitan dengan sumber-sumber kebenaran iman yang kita imani. Kedua: melalui kedua tradisi ini kita dapat melihat bagaimana bentuk Gereja sebagai sebuah communio, keselamatan, dan sebagai pusat perayaan iman akan Allah. Kitab Didache dan tradisi apostolik menghadirkan pada kita bentuk eklesiologi yang berpusat pada Allah sebagai dasar iman Gereja.

Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang
Catatan-catatan kaki
1 D, hal. 3.
2 D, hal. 19.
3 D, hal. 12.
4 D, hal. 19.
5 D, hal. 4 dan 20.
6 D, hal. 2 dan 11.Yang termasuk dalam karya Bapak-bapak Rasuli adalah: Kitab Didache, surat Barnabas, surat Ignatius dari Antiokhia, surat Klemen dari Roma, surat dan kisah kemartiran Polikarpus dari Smirna, Kitab gembala Hermas, Fragmen tulisan papias dari Hieropolis, dan surat kepada Diognetus.
7 D, hal. 3.
8 TA, 1:1, hal. 1.
8 D, hal. 13.
9 D, hal. 28.
10 D, hal. 29.
11 D, hal. 12.
12 Bdk. Catatan kaki kitab Didache, D, 1:1, hal. 30.
13 D, 1:2-4, hal. 31-34.
14 D, 5:1-2, hal. 38-39. Mengenai jalan kematian ini, dapat dibandingkan dengan Injil Mat 15:19, Rm 1:29, Gal 5:20. Dapat dibandingkan dengan teks Didache 5:1 dengan teks Barnabas 20:1.
15 Doa yang diajarkan di sini adalah doa Bapa Kami yang diajarkan olewh Tuhan sendiri kepada para rasul.
16 Episkope adalah terjemahan dari kata Yunani “Episkopos” yaitu “Pengawas” atau dalam tradisi Gereja Katolik disebut sebagai “Uskup.” Sedangkan Diaken adalah terjemahan dari kata Yunani “Diakonia” yang berarti “Pelayan.”
17 D, 11:1-12, hal. 46-48. Rasul atau Apostolos dalah seseorang yang diutus. Nabi atau Propheteis adalah seseorang yang memiliki wahyu penglihatan dan pendengaran ilahi dan menyampaikan apa yang dia lihat dan didengarnya itu kepada orang lain

Tidak ada komentar: