Minggu, 30 Maret 2008

Gambaran Manusia Ideal Menurut Confucius, Taoisme dan Para Legalist

Oleh: Blasius Baene

I. Pendahuluan

Pertanyaan tentang “manusia ideal” merupakan sebuah pertanyaan filosofis yang sangat sentral dan aktual dalam kehidupan manusia. Dikatakan “sentral” karena dengan menanyakan gambaran manusia ideal, berarti manusia tidak hanya dilihat secara parsial, tetapi keseluruhan eksistensi manusia menjadi objek pengamatan manusia. Dengan demikian, keberadaan manusia di dunia menjadi bahan diskusi terutama bagi para filsuf yang menggeluti dunia manusia, tidak terkecuali Confucianisme, Taoisme, dan para Legalist.

II. Pembahasan

2.1. Manusia Ideal dalam Pandangan Confucianisme

Gagasan tentang manusia ideal dalam pemikiran Confucianisme bertitik tolak dari struktur kebajikan manusia. Confucius menitiberatkan gagasannya tentang manusia pada T’ien Ming. Aliran Confucianisme mengatakan bahwa dalam T’ien Ming terbentuk hati nurani cinta kasih (Jen) yang memampukan manusia untuk membuka diri bagi orang lain. Dengan membuka diri bagi orang lain, manusia dapat mengendalikan diri dari berbagai hawa nafsu yang kerapkali membawa manusia pada kejahatan. Untuk mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam diri manusia, manusia hendaknya hidup seturut hati nurani cinta kasih itu (Jen). Dalam Confucianisme, Jen harus diungkapkan dalam sikap atau perilaku manusia, seperti menghormati orang yang lebih tua, menjalin kasih persaudaraan dengan orang lain, dan lain sebagainya. Semuanya ini harus diungkapkan dalam sikap atau perilaku, sebab jika tidak demikian, maka apa yang disebut sebagai Jen hanyalah merupakan usaha manusia belaka.
Menurut Confucius, menjadi manusia ideal berarti seseorang itu harus memperlihatkan sikap kesungguhan (chung) untuk menerima orang lain secara manusiawi, sebab ada hukum yang mengatakan bahwa “jangan melakukan kepada orang lain apa yang kamu sendiri tidak diperlakukan oleh orang lain kepadamu.” Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa “manusia ideal” dalam pemikiran Confucianisme adalah orang yang mampu mempraktekkan nilai-nilai kebajikan seperti mencintai sesama secara universal, menghormati orang yang lebih tua, menghargai pendapat dan keputusan orang lain. Jika seseorang tidak mampu melaksanakan semuanya ini, maka dia tidak bisa disebut sebagai manusia ideal.
Apa yang digagas oleh Confucianisme tentang manusia ideal segera diikuti oleh Mencius dan Hsun Tzu. Namun, keduanya memandang manusia dalam perspektif yang berbeda dengan Confucianisme. Menurut Mencius, pada dasarnya kodrat manusia itu adalah baik. Artinya, ketika manusia melihat segala sesuatu itu baik, maka kodratnya juga baik. Sebaliknya, apabila kejahatan lahir dalam diri manusia dan menjadikan manusia itu jahat, maka itu bukan karena manusia jahat melainkan karena kejahatan itu lahir dari luar diri manusia itu sendiri.
Untuk menghilangkan kejahatan yang ada dalam diri manusia, Mencius menekankan Jen harus bersama dengan Yi, karena kedua sikap ini melahirkan semangat kejujuran dalam diri manusia untuk berbuat sesuatu. Dengan adanya sikap hati nurani yang jujur, maka seseorang memiliki rasa malu terhadap kejahatan yang dia buat. Rasa malu seperti yang diungkapkan oleh Magnis Suseno dalam budaya Jawa mengandaikan sikap kejujuran dalam hati manusia yang paling dalam. Misalnya: mengapa saya mencuri, mengapa saya membunuh, dan lain sebagainya. Dengan adanya rasa malu, maka seseorang itu semakin hari semakin mengarah kepada identitas menuju “manusia ideal.” Dengan demikian, gagasan “manusia ideal” dalam pemikiran Mencius adalah manusia yang sungguh-sunguh menyadari segala sesuatu apa yang dia perbuat.
Berbeda dengan Mencius dan Confucius, Hsun Tzu melihat bahwa pada dasarnya manusia dikelilingi oleh kekuatan jahat. Fakta ini dikemukakan oleh Hsun Tzu dengan bertitik tolak dari realitas manusia. Pertama: manusia dilahirkan untuk mendapat keuntungan. Realitas ini dapat kita lihat dalam pengalaman hidup sehari-hari bahwa manusia tidak pernah merasa puas dengan apa yang ia miliki. Manusia selalu berambisi untuk menguasai orang lain. Kedua: manusia dilahirkan dengan rasa iri dan benci. Fakta ini juga dapat kita temukan dalam pengalaman hidup kita sehari-hari. Misalnya: ketika seseorang mengalami nasib yang baik, maka dalam hati kita mulai muncul suatu sikap iri dan benci bahkan kita berusaha untuk melenyapkan orang itu. Ketiga: Manusia dilahirkan dengan nafsu dan telinga. Inilah fakta yang tidak dapat disangkal dalam diri manusia. Ketika goyangan Inul ramai diperdebatkan di mana-mana, orang tidak lagi berfokus pada kreativitas Inul melainkan semua mata dan telinga mengarah kepada lekuk tubuhnya Inul yang gemulai ketika bergoyang di atas panggung. Akibatnya, dalam diri manusia timbul niat kejahatan. Oleh karena itu, untuk membendung kejahatan yang ada dalam diri manusia, Hsun Tzu mengatakan bahwa manusia perlu melatih diri secara terus menerus, karena hanya melalui latihan yang terus menerus kodrat manusia itu menjadi baik. Jadi, seorang manusia ideal harus menjalankan Yi dan Li untuk membedakan apa yang baik dan apa yang buruk. Li merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kecenderungan jahat dalam diri manusia. Orang yang berpegang pada Li tidak akan mengalami perubahan dalam hidupnya.

2.2. Manusia Ideal dalam Pandangan Taoisme

Gambaran tentang “manusia ideal” dalam pandangan Taoisme tampak dalam “Tao te ching” yang berarti sifat lurus. Yang dimaksud oleh Tao dengan sifat lurus adalah bahwa manusia perlu memiliki hati nurani yang tulus, karena dengan memiliki hati nurani yang tulus seseorang sungguh-sungguh terlibat dalam masyarakat. Menurut Tao, seorang “manusia ideal” tidak boleh berpretensi dalam masyarakat untuk memiliki tujuan lain. Seorang manusia ideal harus memiliki hati nurani yang tulus murni dalam berelasi dengan orang lain. dengan demikian, seorang manusia ideal harus mengikuti jalan Tao sebagai jalan yang memberi arah.
Menurut Taoisme hakekat manusia itu bersifat alami (P’o). Oleh karena itu, tingkah laku manusia jangan dibuat-buat seperti Tukul. Dengan kata lain, ajaran Tao tentang manusia ideal mengajak kita untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hati yang tulus, nurani yang baik, dan tidak dibuat-buat seperti Tukul yang hanya menampilkan gaya untuk menarik perhatian orang lain.

2.3. Manusia Ideal dalam Pandangan para Legalist

Pandangan para legalist tentang “manusia ideal” bertitik tolak dari kodrat manusia. Menurut para legalist, dalam kodrat manusia ada dua aspek yang selalu melekat dalam diri manusia untuk bertindak yaitu menghindari yang tidak enak dan mencari yang enak. Kedua unsur ini menghantar pandangan para legalist tentang manusia kepada hukum, artinya kalau seseorang melanggar hukum, maka seseorang itu harus dihukum sesuai dengan apa yang dia buat.
Apa yang dikatakan oleh para legalist tentang hukuman mau mengatakan bahwa seorang yang memerintah harus bertindak sesuai dengan “namanya.” Misalnya: seorang hakim harus bertingkah laku sesuai dengan namanya sebagai seorang hakim.

III. Penutup

Apa yang dapat disimpulkan dari pertanyaan tentang manusia ideal yang disodorkan oleh Confucius, Taoisme dan para Legalist? Pertama-tama harus dikatakan bahwa gagasan tentang manusia ideal mengajak kita untuk melihat bahwa untuk menjadi seorang manusia ideal, manusia harus memiliki suatu sikap lurus hati dan kejujuran terhadap diri sendiri. Kejujuran dan sikap lurus hati mengandaikan bahwa manusia memiliki sikap yang universal untuk mencintai dan menerima orang lain. Dengan demikian, gagasan tentang manusia ideal sangat relevan dalam situasi manusia zaman sekarang ini sekurang-kurangnya dalam komunitas kita perlu ditanamkan sikap kejujuran.
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana (STFT) Malang

Tidak ada komentar: