Minggu, 23 Maret 2008

OPTION FOR THE POOR: Suatu tinjauan atas Sollicitudo Rei Sosialis 42

Oleh: Blasius Baene
I. Pendahuluan

Kemiskinan dan penindasan merupakan sebuah keprihatinan sosial yang tidak hanya mengakibatkan kemelaratan manusia, tetapi lebih dari itu, kemiskinan dan penindasan mengakibatkan sesuatu yang lebih tragis dalam diri manusia, yaitu manusia mati sebelum waktunya. Konflik sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia mengakibatkan peningkatan jumlah angka kemiskinan. Peperangan yang terjadi di berbagai wilayah membuat ruang gerak manusia semakin terbatas dan terisolasi sehingga manusia semakin melarat dan semakin terdiskriminasi.
Indonesia merupakan sebuah negara yang mempunyai jumlah penduduk terbanyak di dunia. Namun, persoalan kemiskinan di negara kita merupakan sebuah persoalan sosial yang tidak pernah kunjung selesai pembahasannya. Bahkan, realitas krisis ekonomi, sosial dan politik yang terjadi di negara kita semakin memperburuk keadaan hidup orang-orang miskin. Dari 200 juta penduduk Indonesia, jumlah penduduk miskin yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2006 adalah 39,05 juta orang atau 17,75 % dari total jumlah penduduk Indonesia.[1] Dan ternyata angka kemiskinan yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006, tidak mengalami perubahan pada tahun 2007. Dengan kata lain, angka kemiskinan pada tahun 2007 sama seperti pada tahun 2006.[2]
Dengan demikian, angka kemiskinan di atas memperlihatkan kepada kita bahwa kemiskinan merupakan sebuah persoalan sosial yang membutuhkan perhatian khusus dari berbagai elemen masyarakat dunia. Harus diakui bahwa dalam mengentaskan kemiskinan, pemerintah telah melakukan suatu upaya untuk memberantas kemiskinan dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada warga miskin. Tetapi, kendatipun demikian fakta menunjukkan bahwa kemisikinan di Indonesia masih merupakan sebuah problem sosial. Jadi, apa yang dilakukan oleh pemerintah masih sebatas wacana untuk menarik perhatian masyarakat yang tidak mampu. Pemerintah belum mempunyai keseriusan dalam mengentaskan kemiskinan sebagai sebuah persoalan sosial yang harus diselesaikan.
Berangkat dari realitas kemiskinan di Indonesia dan di dunia, penulis mengangkat tema tentang kemiskinan (option for the poor) dengan bertolak dari apa yang digagas dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II.

II. Latar belakang Munculnya Sollicitudo Rei Socialis (SRS)

Sollicitudo Rei Socialis (SRS) merupakan Ajaran Sosial Gereja yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 30 Desember 1987. Ada dua alasan mendasar yang menyebabkan munculnya ensiklik ini, yaitu: pertama: untuk memperingati 20 tahun munculnya Populorum Progressio (PP) yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada tanggal 26 Maret 1967. Kedua: perhatian Paus Yohanes Paulus II terhadap ensiklik Populorum Progressio, terutama berkaitan dengan tema tentang “perkembangan.” Artinya Paus Yohanes Paulus II merasa prihatin atas kondisi real yang terjadi sehingga dia menanggapi situasi jaman yang semakin hari semakin berkembang dan berubah.
Situasi jaman yang dimaksud mencerminkan realitas keterbelakangan serta kemiskinan dan penindasan di tengah orang-orang yang memiliki kekayaan. Paus Yohanes Paulus II melihat bahwa realitas ini menuntut sebuah seruan yang berasal dari Gereja sebagai penjaga kesinambungan dan pembaharuan yang terus-menerus (SRS 3). Dan inilah yang merupakan ciri khas Gereja, bahwa Gereja terus-menerus memelihara tradisi yang ada untuk memberikan pengarahan dan pengajaran kepada setiap manusia. Tetapi, disamping itu perlu juga ada suatu usaha pembaharuan yang sesuai dengan situasi jaman yang dihadapi.
Apa yang digagas dalam Populorum Progressio 20 tahun yang lalu berkaitan dengan “perkembangan,” dinilai tidak memberikan suatu hasil yang bersifat positif. Hal ini dapat kita lihat dari tema tentang “perkembangan” yang terus-menerus diulang dalam keseluruhan dokumen Sollicitudo Rei Socialis. Kalau dalam Populorum Progressio Paus Paulus VI begitu yakin dengan “perkembangan,” sebaliknya Paus Yohanes Paulus II justru melihat sebuah kemerosotan di mana harapan akan perkembangan yang pada saat itu masih kuat, ternyata jauh belum terlaksana (SRS 12). Justru yang terjadi adalah jurang pemisah antara yang kaya dan miskin, antara Utara dan Selatan, antara Barat dan Timur (SRS 14), dan lahirnya kemiskinan baru. Oleh karena itu, dalam menghadapi berbagai perkembangan, Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa “Gereja harus membuka suatu perspektif baru yang dapat mendinamisir proses perkembangan,” sehingga perkembangan berubah dari peradaban materialis menjadi budaya kasih.[3] Dengan demikian, SRS mencoba membaca tanda-tanda jaman dan menafsirkannya dalam terang Injil.[4]

III. Skema Pembahasan

3.1. Perkembangan Sollicitudo Rei Socialis

Sollicitudo Rei Socialis (SRS) sebagai Ajaran Sosial Gereja banyak membahas tema-tema tentang “perkembangan” sebagaimana telah diawali dalam ensiklik Populorum Progressio oleh Paus Paulus VI. Namun, “perkembangan” yang dimaksud dalam SRS mempunyai pengertian yang berbeda dengan Populorum Progessio. Dalam Populorum Progessio, “pekembangan” diartikan sebagai nama baru untuk perdamaian.5 Perdamaian yang dimaksudkan oleh Paus Paulus VI adalah perdamaian yang berkaitan dengan kemajuan/perkembangan yang tidak hanya terbatas dalam bidang kehidupan ekonomi,6 melainkan perkembangan yang mencakup seluruh medan hidup manusia, termasuk kebudayaan, agama, dan moral.7 Dari pengertian ini kita melihat bahwa Paus Paulus VI mempunyai suatu keyakinan yang sangat optimis terhadap realitas perkembangan. Tetapi, Sollicitudo Rei Socialis melihat suatu kemerosotan tehadap nilai-nilai perkembangan. Artinya, seruan “perkembangan” yang digaungkan dalam Populorum Progressio tidak mempunyai sumbangan yang berarti, bahkan “perkembangan” yang diagaungkan oleh Populorum Progressio telah pudar seiring dengan munculnya berbagai ketimpangan sosial, antara lain: kesenjangan antara Utara dan Selatan (SRS 14), lahirnya kemiskinan baru yang menjadi khas dalam masyarakat makmur, keterbelakangan sosial dan ekonomi (SRS 15), kebobrokan elite lokal (SRS 16), persoalan perumahan yang semakin sulit (SRS 17), masalah peningkatan pengangguran (SRS 18), utang internasional (SRS 19), masalah pembagian dunia dalam dua blok besar antara Barat dan Timur berdasarkan ideologi, politik dan militer yang kemudian berdampak pada negara-negara yang sedang berkembang (SRS 20-21) dan lebih diperparah lagi bahwa masing-masing kedua blok yang saling tegang cenderung mengarah pada neokolonialisme (SRS 22), perdagangan senjata dan alat-alat perang (SRS 23), dan pengontrolan terhadap penduduk secara tidak manusiawi (SRS 24).
Sollicitudo Rei Socialis ternyata tidak hanya menguraikan hal-hal yang bersifat negatif, tetapi juga ensiklik ini mengangkat nilai-nilai yang bersifat positif. Misanya: munculnya kesadaran akan keprihatinan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), keinginan untuk bekerjasama dalam membangun sebuah visi untuk mengangkat martabat manusia, kesadaran akan nilai-nilai ekologi atau lingkungan,8 keinginan untuk menciptakan suatu perdamaian dan saling hormat menghormati antara sesama manusia (SRS 26). Kesadaran terhadap perdamaian mengarahkan setiap orang untuk mengembangkan nilai-nilai manusia sejati (SRS 27-34) dan sekaligus melihat bagaimana dimensi teologis dari perkembangan tersebut (SRS 35-40).

3.2. Isi Sollicitudo Rei Socialis 42 tentang Option for the Poor (To See)

Setelah melihat latar belakang dan perkembangan Sollicitudo Rei Socialis (SRS) secara keseluruhan, kini penulis menguraikan beberapa poin penting dari apa yang digagas dalam SRS 42 berkaitan dengan tema tentang “kemiskinan” (option for the poor). Beberapa gagasan pokok yang diutarakan dalam SRS 42 adalah sebagai berikut:
· Ajaran Sosial Gereja “harus terbuka” bagi persepektif internasional seturut haluan Konsili Vatikan II,9 ensklik-ensiklik terakhir, 10 dan ensiklik yang sedang kita kenangkan.11
· Pilihan atau sikap mengutamakan kaum miskin, yaitu pilihan atau bentuk khusus prioritas dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani. Pilihan atau sikap itu, mewarnai kehidupan setiap orang Kristen sejauh ia berusaha meneladan kehidupan Kristus.
· Cinta kasih yang mengutamakan kaum miskin dan keputusan-keputusan yang diilhamkan kepada kita, “harus merangkul mereka yang lapar, serba kekurangan, tunawisma, tuna pelayanan kesehatan, dan terutama mereka yang tidak mempunyai harapan akan masa depan yang lebih cerah.”
· Memberi perhatian pada gejala-gejala kemiskinan yang makin menjadi-jadi, sebab kaum miskin bukannya berkurang melainkan semakin banyak, dan tidak hanya terjadi di negara-negara yang belum maju, tetapi juga di negara-negara yang sudah maju.
· Menegakkan asas karakteristik ajaran sosial Kristiani: harta benda dunia pada awalnya dimaksudkan bagi semua orang. Hak atas milik perorangan memang berlaku dan perlu, tetapi tidak menghapus prinsip-prinsip itu. Kenyataannya, milik perorangan itu terikat pada kewajiban sosial justru berdasarkan prinsip bahwa harta benda diperuntukkan bagi semua orang. Demikian pula jangan dilupakan bentuk khas kemiskinan sebagai sebuah bentuk keprihatian terhadap kaum miskin, yaitu bila orang dirampas hak-hak asasi manusiawinya, khususnya hak atas kebebasan beragama, dan hak atas kebebasan berprakarsa di bidang ekonomi.

3.3. Nilai yang dipromosikan oleh SRS dalam Terang Option for the Poor

Setelah melihat beberapa poin penting yang disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam SRS 42 berkaitan dengan kemiskinan, maka yang menjadi pertanyaan bagi kita selanjutnya adalah “nilai-nilai apakah yang ingin dipromosikan oleh dokumen ini kepada kita?” Berangkat dari pertanyaan ini, penulis melihat bahwa melalui ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, Paus Yohanes Paulus II ingin mewujudkan sebuah pembaharuan berkaitan dengan perkembangan kemiskinan yang semakin hari semakin berkembang sebagaimana ditampakkan dalam SRS 42.
Dalam mengatasi berbagai kesenjangan terhadap aspek sosial politik dan ekonomi yang mengakibatkan berkembangnya kemiskinan, Paus Yohanes Paulus II mencoba menganalisa persoalan ini dari sudut pendang refleksi teologis. Dari sudut pendang refleksi teologis, salah satu persoalan yang dilihat sebagai persoalan sosial adalah dosa struktural. Dosa struktural berakar dalam pribadi-pribadi manusia yang kemudian berhubungan dengan tindakan-tindakan konkrit manusia (SRS 36).12 Akibat dari struktur seperti ini menghantar manusia ke dalam sikap “egoisme” yang menjadi salah satu faktor penghambat realitas perkembangan sosial manusia, terutama mereka yang berada dalam garis kemiskinan, karena masing-masing pribadi mempunyai ambisi untuk mencari keuntungan dan haus akan kekuasaan.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan usaha perkembangan bagi seluruh umat manusia, sikap “egoisme” harus dibuang dan perlu diusahakan suatu nilai yang baru, yaitu “solidaritas.” Solidaritas yang dimaksudkan oleh SRS bukan soal perasaan belaskasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal karena nasib buruk yang dialami oleh sekian banyak orang di dunia. Sebaliknya, solidaritas yang dimaksudkan oleh SRS adalah solidaritas sebagai “tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya kepada kesejahteraan semua orang dan setiap perorangan, karena kita semua bertanggungjawab atas semua orang.”13 Dengan demikian, solidaritas merupakan sebuah nilai yang harus dibina secara terus menerus, karena solidaritas mengandaikan adanya pihak yang saling bekerjasama dalam mewujudkan sebuah cita-cita menuju kesejahteraan umum (bonum commune). Namun, harus disadari bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan umum, hanya terjadi apabila kita bersatu dengan pengalaman Yesus yang rela solider dengan manusia terutama untuk mereka yang miskin. Dan inilah yang diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam SRS 42, bahwa pilihan mengutamakan dan bersatu dengan orang miskin hanya terwujud apabila kita sebagai orang Kristen berusaha untuk meneladan hidup Kristus. Dengan demikian, usaha kita untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan sikap solider bersama dengan orang-orang miskin harus berangkat dari iman Yesus sendiri.

3.4. Tanggapan terhadap Option for the Poor dalam SRS 42 (To Judge)

Tema tentang kemiskinan yang dibahas dalam SRS 42 merupakan salah satu persoalan mendasar dan sekaligus menjadi perhatian Paus Yohanes Paulus II dalam menanggapi realitas “perkembangan” sosial manusia. Kemiskinan dilihat sebagai salah satu bentuk keprihatinan sosial dewasa ini dalam hubungannya dengan perkembangan manusia di dunia. Wajah kemiskinan di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya yang mencapai angka 17,75 % atau sekitar 39,05 juta orang miskin di Indonesia, menantang kita khususnya orang Kristiani untuk menjawab realitas sosial seperti ini. Tantangan yang dimaksud adalah bagaimana kita menangapi berbagai persoalan sosial terutama persoalan “kemiskinan” yang meliputi seluruh kehidupan manusia.
Dalam menanggapi SRS 42, saya melihat bahwa Paus Yohanes Paulus II sungguh-sungguh memberi perhatian pada persoalan kemiskinan, karena kemiskinan mencakup keseluruhan dimensi sosial kehidupan manusia. Dalam SRS 42, Paus Yohanes Paulus II memperlihatkan bahwa pilihan atau sikap mengutamakan kaum miskin merupakan sebuah prioritas dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani. Cinta kasih dalam mengutamakan kaum miskin bukanlah sekadar cinta yang diungkapkan dalam teori, tetapi cinta yang sungguh-sungguh merangkul mereka yang lapar, yang disingkirkan dalam kehidupan sosial masyarakat, serba kekurangan, tunawisma, dan mereka yang tidak mempunyai harapan akan masa depan yang lebih cerah.
Dalam SRS 42, Paus Yohanes Paulus II melihat bahwa keberpihakan dengan kaum miskin merupakan wujud utama untuk melaksanakan cinta kasih Kristiani yang didasarkan pada cinta Allah sendiri kepada manusia. Oleh karena itu, Gereja harus membuka diri terhadap berbagai persoalan sosial baik dalam skala nasional maupun internasional. Dan secara khusus kita melihat bahwa Paus Yohanes Paulus II memberi perhatian yang sangat besar terhadap gejala-gejala kemiskinan sebagai peroalan sosial yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, Paus Yohanes Paulus II mendesak agar Gereja menyadari tugas perutusannya sebagai pewarta Sabda Allah kepada kaum miskin, kaum tertindas, dan orang-orang yang disingkirkan dari kalangan masyarakat.
Yohanes Paulus II mendesak agar Gereja memberi perhatian terhadap berbagai gejala kemiskinan yang semakin hari semakin berkembang di berbagai negara di dunia dan khususnya di Indonesia. Gereja tidak boleh menutup mata terhadap realitas kemiskinan, sebab dengan menutup mata terhadap realitas sosial yang menyangkut martabat manusia berarti sama dengan menindas dan menambah penderitaan manusia. Sebaliknya, dengan memberi perhatian dan mengutamakan kaum miskin berarti kita turut menentang ketidakdilan dan memperjuangkan pembebasan yang senantiasa diharapkan oleh kaum terpinggir.14 Inilah yang dicanangkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam SRS 42, yaitu membangun kesadaran setiap manusia terutama Gereja untuk melibatkan diri dalam berbagai persoalan sosial kemiskinan yang tidak hanya menjadi perhatian satu orang tetapi semua orang di muka bumi ini.

3.5. Keterlibatan Sosial Gereja Masa Kini

Realitas kemiskinan merupakan sebuah realitas sosial yang patut mendapat perhatian dari berbagai pihak termasuk Gereja. Keterlibatan sosial Gereja dalam menanggapi realitas kemiskinan merupakan keterlibatan sosial yang didasarkan atas keterlibatan dan keberpihakan Yesus terhadap kaum miskin, kaum tertindas, kaum pendosa, dan lain sebagainya. Namun, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah sejauh mana Gereja masa kini melibatkan diri dalam berbagai persoalan sosial terutama persoalan kemiskinan? Apakah Gereja benar-benar memberi perhatian dalam memperhatikan nasib manusia yang semakin hari semakin digerogoti oleh ketakutan akibat kemiskinan? Bagaimana Gereja menjawab persoalan kemiskinan yang begitu kompleks dalam realitas hidup manusia?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mengundang kita untuk menemukan sebuah cara baru dalam menanggapi realitas kemiskinan sebagai salah satu persoalan yang merangkul semua dimensi kehidupan manusia. Melalui SRS 42, Yohanes Paulus II mengajak Gereja untuk membuka diri terhadap persoalan dunia yang semakin kompleks. Arus globalisasi yang merasuk ke dalam dunia membuat persaingan dan kesenjangan ekonomi yang tidak sehat antara manusia maupun negara. Akibatnya, masyarakat yang tidak dapat bersaing secara ekonomi dalam arus perkembangan globalisasi ini semakin tertindas, semakin tersingkirkan. Jadi, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin bahkan semakin tertindas karena mereka tidak mempunyai daya untuk menyaingi orang-orang yang mempunyai modal secara ekonomi.
Pertanyaan bagi kita adalah Gereja berbuat apa dalam menghadapi situasi globalisasi yang membuat kesenjangan antara yang kaya dan miskin secara ekonomi, sosial dan politik? Sekali lagi, Paus Yohanes Paulus II melalui SRS 42 mengundang Gereja untuk membuka hati dan mata dalam menghadapi berbagai persoalan sosial yang semakin berkembang. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa Gereja tidak mempunyai solusi teknis atas berbagai permasalahan sosial mengingat bahwa Gereja bertugas bukan di bidang ekonomi atau politik. Oleh karena itu, yang menjadi keprihatinan utama Gereja adalah persoalan martabat manusia.15 Martabat manusia tidak boleh tidak dapat direndahkan menjadi sekadar persoalan teknis semata. Martabat manusia mempunyai nilai yang luhur lebih dari segala-galanya karena dia adalah gambaran dan ciptaan Allah. Oleh karena itu, martabat manusia harus dihargai dan dihormati. Jadi, tugas Gereja di tengah badai kemiskinan yang tidak hanya memiskinkan dan menindas manusia, tetapi juga merampas dan merendahkan martabat manusia adalah mengangkat keluhuran martabat manusia sebagai ciptaan Allah.
Perhatian terhadap orang-orang yang tertindas, yang miskin, dan yang tidak mempunyai harapan dan lain sebagainya mendorong Gereja untuk tetap “eksis” dalam meneruskan solidaritas dan keberpihakan Yesus terhadap kaum miskin, pendosa, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sebagai umat Kristen kita harus lebih mendekati saudara-saudara kita yang miskin dan lemah dalam ketulusan hati serta persaudaraan dan selalu siap menolong mereka. Kita harus mempertajam solidaritas kita dengan kaum miskin. Oleh karena solidaritas itu adalah masalah dan perjuangan kaum tertindas dan kaum miskin, maka kita juga harus menjadikan solidaritas itu sebagai masalah dan perjuangan kita,16 sebab solidaritas yang nyata adalah solidaritas dengan orang miskin, tertindas, tersisih, terpinggirkan baik secara ekonomi, sosial maupun politik.17 Solidaritas berarti memihak mereka yang belum memperoleh hak. Solidaritas tidak sama dengan persaudaraan semua orang. Solidaritas adalah perjuangan oleh mereka yang tersisih dan bagi mereka yang tersisih untuk mengubah wajah kemiskian, ketidakadilan dan segala bentuk penindasan. Solidaritas adalah usaha untuk melawan ketidakadilan dan berjuang untuk menciptakan perdamaian dan keadilan bagi mereka yang diperlakukan kurang adil.
Dengan menekankan solidaritas sebagai bentuk kepedulian sosial Gereja, berarti Gereja mengambil akar pokok keterlibatannya dalam Injil, yaitu Yesus yang berpihak kepada orang-orang miskin, pendosa, dan mereka yang dikucilkan dari kalangan masyarakat. Keterlibatan Yesus dalam diri orang miskin merupakan perwujudan cinta kasih Allah kepada semua orang. Atau dengan kata lain, pilihan mendahulukan kaum miskin merupakan pilihan yang berpangkal pada kasih karunia Allah demi terwujudnya Kerajaan Allah sebagaimana diproklamirkan oleh Yesus.18 Oleh karena itu, keterlibatan sosial Gereja dalam menanggapi realitas sosial kemiskinan harus ditampakkan melalui pewartaan Sabda Allah yang meliputi perikehidupan manusia maupun masyarakat luas pada umumnya.19 Gereja harus menentang segala bentuk ketidakadilan, kekerasan, kejahatan kaum penguasa, dan penindasan yang senantiasa dialamatkan kepada orang-orang miskin sebagai kaum lemah secara ekonomi. Gereja harus ambil bagian dalam persoalan kemiskinan untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang tidak hanya dinikmati oleh satu orang melainkan oleh semua orang. Gereja harus berjuang untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai bonum commune dalam semua golongan manusia tanpa kecuali.

IV. Relevansi (To Act)

Pertanyaan selanjutnya yang kita ajukan adalah apakah ensiklik SRS ini masih relevan dalam situasi zaman sekarang? Jawabannya adalah “tentu” SRS ini masih sangat relevan dalam situasi zaman sekarang. Menurut penulis, beberapa poin yang dapat dijadikan sebagai relevansi dari SRS ini adalah sebagai berikut:

1. A Preferential for the Poor

Pilihan mengutamakan orang miskin adalah merupakan pilihan untuk mengamalkan cinta kasih Kristiani dan secara khusus mewujudkan keterlibatan Yesus terhadap orang miskin. Lalu, apa yang harus dibuat oleh Gereja? Jika melihat kembali angka kemiskinan di Indonesia yang mencapai 17,75 % atau 39,05 juta orang, maka saya melihat bahwa Gereja harus berpihak kepada mereka yang miskin. Pelayanan Gereja “harus” pertama-tama diperuntukkan bagi mereka yang miskin baik secara ekonomi maupun secara spritual. Gereja harus berjuang untuk membebaskan orang miskin dari tindakan kemiskinan. Gereja jangan hanya bicara sementara pelaksanaannya tidak ada. SRS mengajak Gereja untuk memperhatikan kehidupan kaum miskin secara nyata. Tetapi, yang ingin dibangun oleh Gereja bukan hanya ekonomi, tetapi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan, membuka lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya.

2. Budaya Lingkungan

Persoalan lingkungan akhir-akhir ini telah menjadi persoalan dunia. Pemanasan global kini menjadi perhatian dunia. Lumpur Lapindo yang hingga sampai saat ini belum dapat ditangani telah merusak lingkungan yang tidak hanya menyebabkan kerugian secara material tetapi juga menyebabkan kerusakan alam terutama tempat tinggal manusia. Saya sendiri tinggal di Porong selama satu bulan dan di sana saya menyaksikan betapa masyarakat menderita, bukan hanya karena kehilangan pekerjaan, tetapi juga karena kehilangan tempat tinggal. Oleh karena itu, saya melihat bahwa untuk mengatasi kerusakan lingkungan, perlu dibentuk sebuah lembaga hukum yang sungguh-sungguh mencintai dan peduli pada nilai-nilai lingkungan.
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma, J.B. SJ, Aspek-aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

-------Kemiskinan dan Pembebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

-------Mewartakan dalam Kebebasan, Orientasi Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Chen, Martin, Pr, Teologi Gustavo Gutierrez (Refleksi dari Praksis Kaum Miskin),
-------Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Dopo, Eduard R. Keprihatinan Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Hardiwiryana, R. SJ, (Alih Bahasa), Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1981 sampai 1991 dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Jakarta: Departemen
-------Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999.

Kieser, B. SJ, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Kristiyanto, Eddy, OFM, Diskursus Sosial Gereja sejak Leo XIII, Malang: Dioma, 2003.

Soetoprawiro, Koerniatmanto, Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme (Memahami
--------Keterlibatan Sosial Gereja), Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Spektrum, Dokumentasi dan Informasi KWI, No. 1 Tahun XXXV 2006.

Catatan kaki

[1] Kecuk Suhariyanto, Di Balik Angka Kemiskinan, Kompas, 14 Septembar 2006, hal. 6.
[2] Suhardi Suriyadi, Minyak dan Kemiskinan, Kompas, 26 November 2007, hal. 6.
[3] B. Kieser, S.J, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal. 179. Bdk. Sollicitudo Rei Socialis art. 33.
[4] Eddy Kristiyanto, Diskursus Sosial Gereja sejak Leo XIII, Malang: Dioma, 2003, hal. 182.
5 Ibid, hal. 118.
6 Paulus Budi Kleden, Si vis Pacem, Para Progressionem Oeconomicam (Sebuah Refleksi Teologis tentang Keadilan dalam bidang Ekonomi), dalam Spektrum, Dokumentasi dan Informasi KWI (Sidang Sinodal KWI 2006), No. 1 Tahun XXXV, 2007, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2007, hal. 89.
7 B. Kieser, SJ, “Perkembangan” wujud Keterlibatan Sosial Gereja? Wajah Gereja yang Baru? Dalam J.B. Banawiratma, SJ, Aspek-aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hal. 122.
8 Akhir-akhir ini kesadaran akan pelestarian ekologi semakin menjadi perhatian dunia. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai media massa yang selalu mengangkat tema-tema aktual tentang lingkungan berkaitan dengan “pemanasan global” (global warming). Dan di Bali sejak tanggal 3-14 Desember yang lalu diadakan sebuah konferensi tentang “Pemanasan Global” (global warming) yang diikuti oleh 189 negara di seluruh dunia, Jawa Pos, 5 Desember 2007, hal. 4.
9 Gaudium et Spes 83-90: “Pembangunan Masyarakat Internasional.”
10 Mater et Magistra, Pacem in Terris, dan bagian 4 Octogesima Adveniens 2-4.
11 Populorum Progeressio.
12 J.B. Banawiratma, SJ, Pilihan mengutamakan kaum miskin dalam Ajaran Sosial Gereja, dalam J.B. Banawiratma, SJ, Aspek-aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hal. 171.
13 Eddy Kristiyanto, Diskursus Sosial Gereja sejak Leo XIII, Malang: Dioma, 2003, hal. 193.
14 J.B. Banawiratma, SJ, Pilihan Mengutamakan Kaum Miskin dalam Ajaran Sosial Gereja, dalam J.B. Banawiratma, SJ, Aspek-aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hal. 157.
15 Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme (Memahami Keterlibatan Sosial Gereja), Yagyakarta: Kanisius, 2003, hal. 51.
16 J.B. Banawiratma, SJ, Mewartakan dalam Kebebasan, Orientasi Baru No. 5, Tahun 1991, Yagyakarta: Kanisius, 1991, hal. 146.
17 Ibid, hal. 151.
18 Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez (Refleksi dari Praksis Kaum Miskin), Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 122.
19 Koerniatmanto Soetoprawiro, Op. Cit, hal. 57.

Tidak ada komentar: