Senin, 24 Maret 2008

KRITIK TERHADAP AGAMA KRISTEN

Oleh: Blasius Baene
Catatan dari penulis: Tulisan ini pernah dimuat di http://www.amoretvita.wordpress.com/

I. Konteks

Abad kesembilan belas adalah abad di mana persoalan besar antara kaum “kapitalis” dan kaum “proletar” mencuat secara tajam di permukaan bumi Eropa, khususnya di Jerman. Seiring dengan munculnya persoalan ini, muncul pula para pemikir besar seperti Ludwig Feuerbach (1804-1872) dan Karl Marx (1818-1883). Karl Marx membangun gagasan “materialisme” yang pada abad kesembilan belas mencapai puncak kemegahannya.1 Menurut Marx segala sesuatu yang nyata adalah materi. Maka, manusia harus dipandang dari realitas yang konkrit bukan dari realitas yang abstrak.2 Gagasan inilah yang menghantar Marx untuk melihat realitas yang dihadapi oleh masyarakat yang pada saat itu terbagi dalam kelas-kelas. Kelas-kelas ini pada akhirnya melahirkan jurang pemisah antara kaum “kapitalis” dan kaum “proletar”. Akibatnya, kaum “proletar” menderita, sengsara, dan mati kelaparan, karena kaum “kapitalis” menjadi penguasa segala sesuatu terutama dalam sistim ekonomi. Persoalan yang terjadi antara kaum “kapitalis” dan kaum “proletar,” membawa pengaruh besar pada agama. Artinya, pada tataran penderitaan dan kematian kaum “proletar,” Marx melihat bahwa agama telah “meninabobokan”3 masyarakat yang tertindas dengan menjanjikan keselamatan, kebahagiaan, dan kedamaian bagi mereka yang mengalami penderitaan. Dengan kata lain, Marx melihat agama sebagai candu bagi masyarakat4 yang merupakan pelabuhan untuk mengurangi kegelisahan manusia atas penderitaan yang mereka alami. Lain halnya dengan Ludwig Feuerbach (1804-1872). Ia secara radikal mengganti teologi menjadi antropologi.5 Menurut Feuerbach, agama lahir dari hakekat manusia itu sendiri, yaitu dari sifat egoismenya.6 Artinya bahwa keinginan manusia untuk mencapai kebahagiaan dilukiskan sebagai sesuatu yang nyata ada pada para dewa. Jadi, manusia sesungguhnya beragama bukan karena didasari atas iman akan Allah, tetapi hanya karena ia memiliki keinginan. Dengan kata lain, Feuerbach mau mengatakan bahwa agama hanyalah sebuah fantasi manusia untuk mencapai kebahagiaan, kesejahteraan, dan kedamaian dalam hidup.
Berangkat dari pemahaman agama sebagai sebuah ilusi, Ernest Renan (1823-92) mencoba mengajukan berbagai pertanyaan terhadap hal-hal yang supernatural dalam agama Kristen, karena apa yang dikatakan sebagai yang “supernatural” merupakan sesuatu hal yang berada di luar jangkauan pikiran manusia. Dengan mengajukan berbagai pertanyaan, Renan bermaksud untuk melihat keaslian fakta sejarah kekristenan yang kerapkali dipertentangkan di kalangan kaum intelektual terutama para filsuf dan para teolog. Melalui interpretasi sejarah, tampil dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu kaum ortodoks dan para teolog. Kaum ortodoks mengklaim bahwa apa yang ada dalam sejarah harus dibuktikan melalui ilmu pengetahuan, karena apa yang dibuat oleh Yesus seperti mukjizat tidak sesuai dengan kepercayaan pokok teologi kaum ortodoks.7 Berbeda dengan kaum ortodoks, para teolog lebih percaya pada dogma. Para teolog mengakui bahwa Injil merupakan bukti sejarah yang tidak berisi kesalahan apa pun. Jadi, mukjizat-mukjizat yang dibuat oleh Yesus, menurut para teolog merupakan sebuah bukti untuk meneguhkan iman agama Kristiani. Untuk itulah, Renan menulis sebuah biografi tentang hidup Yesus yang semata-mata dijadikan sebagai bukti sejarah. Karena agama hanya sebagai ilusi, Renan berpendapat bahwa Yesus itu bukan ilahi. Dia hanyalah manusia biasa yang menyamar menjadi ilahi. Apa yang tertulis dalam kitab suci, “hanyalah” merupakan sebuah endapan pengalaman manusia yang dikumpulkan dan dijadikan satu sebagai suatu bukti historis bahwa fakta itu sungguh-sungguh terjadi. Jadi, Injil yang diakui dan diterima oleh para teolog hanyalah sebuah “dongeng.”
Apa yang dipikirkan oleh Renan berkaitan dengan sejarah, melahirkan problem yang tidak dapat dipecahkan. George Sorel (1847-1922) tampil dan menawarkan suatu metode baru untuk mendekati perkara ini, yakni melalui penelitian historis. Namun, bukan berarti dalam penelitian seperti ini tidak ada persoalan. Penelitian seperti ini justru menimbulkan suatu persoalan besar antara teologi dan ilmu pengetahuan. Kemudian, Baruch de Spinoza (1634-77) membangun sebuah gagasan lain. Sebagai filsuf panteisme, Spinoza justru menyerang gagasan-gagasan yang ada dalam Alkitab. Dalam bukunya yang berjudul “Theologico-Political Treatise,” ia memberikan suatu alasan kritis terhadap agama yang meyakini bahwa Pentateukh merupakan karya Musa. Spinoza yakin bahwa Pentateukh itu merupakan sebuah karya yang ditulis oleh orang lain setelah Musa.
J. Samuel Preus lebih berbicara soal kebenaran dan pengertian terhadap pemahaman Alkitab. Ia berbicara soal Alkitab karena Spinoza menyangkal apa yang ada dalam Alkitab itu sendiri. Ia mengatakan bahwa Spinoza telah menghambat keingintahuan para teolog dan para filsuf untuk membuat suatu interpretasi terhadap Alkitab.

II. Kritik terhadap Agama Kristen

2.1. Ernest Renan (1823-92)

Sejak rasionalisme berkembang menjadi sebuah aliran yang mengutamakan rasio (akal budi) sebagai sumber ilmu pengetahuan, pengalaman menjadi tidak berdaya, karena bagi rasionalisme sendiri rasio (akal) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya sehingga rasio tidak memerlukan pengalaman, karena pengalaman hanya dapat berfungsi untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh akal.8 Sikap skeptis terhadap pengalaman yang diagung-agungkan oleh para penganut aliran empirisme, melahirkan keragu-raguan (skeptis) dalam diri manusia sebagaimana diungkapkan oleh Ernest Renan.9 Renan, ketika berada dalam situasi skeptis terhadap pengalaman, menulis demikian: “kadang-kadang sikap skeptis dan optimistis menghantar kita pada sebuah keyakinan bahwa kita berada dalam kebenaran.10 Kebenaran sebagai hasil dari keragu-raguan manusia, menimbulkan sebuah pertanyaan dari dalam diri manusia itu sendiri berkaitan dengan Allah sebagai “finalitas” atau tujuan akhir dari iman manusia. Manusia bertanya, adakah “finalitas” itu berada dalam pengalaman manusia? Renan mengatakan bahwa finalitas itu diterima sebagai semacam hukum yang tersurat di dalam kodrat, yang asal usulnya tidak perlu dicari dalam suatu akal, melainkan dari dalam tuntutan-tuntutan yang ideal saja.11 Dengan demikian finalitas itu bersifat imanen, maksudnya sesuatu yang tersusun dalam suatu kecenderungan buta yang menyebabkan makhluk digerakkan menuju kepada kelestarian mereka. Keadaan lingkungan, rintangan-rintangan dan pengalaman alam itu sendiri, telah menyebabkan tujuan konkrit yang sama sekali tidak dikehendaki oleh suatu kecenderungan awal. Jadi, finalitas itu sama sekali tidak diadakan oleh suatu akal transenden, tetapi dibentuk secara bertahap oleh alam itu sendiri.12
Berkenaan dengan finalitas sebagai tujuan akhir dari pencarian manusia, Renan tergerak untuk menulis sebuah biografi tentang realitas kehidupan Yesus, terutama Renan menyoroti peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam karya Yesus. Salah satunya, Renan mengamati peristiwa mukjizat yang pernah dibuat oleh Yesus sebagaimana diimani oleh orang-orang Kristen. Renan berpendapat, bahwa jika mukjizat yang tertuang dalam kitab suci menjadi sumber inspirasi bagi orang Kristen, maka metode yang kita gunakan adalah sebuah metode yang salah. Sebaliknya, jika mukjizat menjadi sebuah inspirasi tanpa realitas, maka metode kita adalah sebuah metode yang benar.13 Dengan mengatakan inspirasi tanpa sebuah realitas, maka, sama halnya dengan mengatakan bahwa “Injil adalah sebuah dongeng.” Ditinjau dari sudut historis, Renan berpendapat bahwa sejarah tidak selalu memberikan yang terbaik dalam setiap peristiwa yang terjadi.14 Oleh karena itu, agama hanyalah sebuah perasaan yang lahir dari pengalaman akan Allah yang tidak ditemukan secara objektif di dalam kitab suci dan di dalam dunia.15 Maka, untuk memahami peristiwa mukjizat yang dibuat oleh Yesus, kitab suci perlu ditafsirkan secara tepat, karena secara ilmiah mukjizat itu tidak mungkin.16
Yang dimaksud oleh Renan dalam hal ini adalah bahwa setiap orang yang menjadikan mukjizat sebagai sumber inspirasi dalam kehidupannya, ia tidak mempunyai suatu metode yang benar, karena apa yang tertuang dalam kitab suci itu, sebenarnya hanya merupakan sebuah ilusi belaka yang menghanyutkan manusia ke dalam mimpi-mimpi akan sebuah realitas yang sesungguhnya tidak terjadi. Dalam hal ini teologi liberal mencoba memisahkan iman dari akal dan pengalaman. Friedrich Schleiermacher (1768-1834) seorang pendiri teologi liberal mengatakan, bahwa kitab suci hanyalah sebuah endapan pengalaman manusiawi dari pada pewahyuan ilahi. Dengan kata lain, Schleiermacher mengatakan bahwa segala apa yang tertulis di dalam kitab suci termasuk mukjizat hanya sebuah rekaman pengalaman manusia. Jadi, Yesus dalam kehidupan umat kristiani hanya merupakan sebuah contoh. Misi yang Dia bawa bukan untuk menyelamatkan umat manusia melainkan dengan kematian-Nya, Ia membangkitkan kesadaran manusia akan Allah dan memanggil mereka untuk menjalankan kehidupan moral yang baik dan benar.17

2.2. George Sorel (1847-1922)

Sejak lahirnya Teori Evolusi yang dibangun oleh Charles Robert Darwin (1809-1882)18 iman kristiani terguncang. Kepastian kristianitas menjadi semakin tidak jelas arah, karena pada saat itu orang jatuh ke dalam agonstisisme dan ateisme seiring dengan perkembangan yang terjadi. Pada abad ini, dunia memasuki suatu fase baru yang mau tidak mau manusia diharuskan untuk menerima perkembangan ini. Dunia baru yang dimaksud di sini adalah dunia sains (ilmu pengetahuan). Dalam dunia ini, interpretasi terhadap kitab suci langsung mengalami perubahan yang sangat drastis seiring dengan penemuan-penemuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Iman menghadapi suatu tantangan yang berat, karena dengan munculnya berbagai teori penemuan baru, iman seakan-akan tidak lagi bermanfaat untuk menjawab apa yang diinginginkan oleh manusia, sebab apa yang diimani oleh manusia ternyata tidak melampaui ilmu pengetahuan manusia. Misalnya, dalam bidang penemuan mesin-mesin, iman tidak lagi memainkan peranan karena yang bermain dalam penemuan itu adalah akal budi manusia. Artinya akal budi manusia memikirkan bagaimana cara membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada dan dapat disaksikan oleh manusia secara nyata.
Dapat dikatakan bahwa dengan lahirnya teori evolusi, dunia teologi (iman) kristiani berada di persimpangan kematian. Iman mengalami kehilangan arah seiring dengan adanya penemuan-penemuan baru yang dianggap sebagai proses terjadinya evolusi. Gagasan-gagasan terhadap ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu, disatukan oleh George Sorel dalam sebuah pemahaman sejarah kekristenan, yang mengakibatkan lahirnya konflik antara teologi dan ilmu pengetahuan. Teologi melihat bahwa kisah penciptaan yang ada dalam kitab suci, merupakan suatu bukti sejarah yang menghantar orang ke dalam iman akan Allah sang pencipta. Dan hanya dengan cara demikian, iman terhadap yang ilahi itu dapat bertahan. Sebaliknya, Ilmu pengetahuan melihat bahwa apa yang ada dalam sejarah, bukanlah satu-satunya yang harus diimani. Karena, sejarah belum tentu memberikan suatu fakta yang benar dan jelas. Jadi, perlu ada suatu penelitian historis19 yang benar dan dapat diterima melalui ilmu pengetahuan.

2.3. Baruch de Spinoza (1634-77)

Gagasan-gagasan Spinoza tentang yang Absolut atau Allah tidak lepas dari pengaruh Descartes. Bahkan, apa yang digagas oleh Descartes diangkat oleh Spinoza menjadi pendapatnya sendiri. Allah dalam gagasan Spinoza adalah Allah yang yang imanen yang substansinya berasal dari alam raya.20 Allah yang memiliki substansi dari alam raya ini menjadi “ada” yang memiliki kekuasaan tak terbatas, yang mampu mengadakan diri di dalam eksistensi itu.21 Dalam pandangan Descartes dikatakan bahwa eksistensi merupakan ciri khas Allah, sebagaimana halnya dengan inteligensi, dan kekuasaan. Dengan demikian, dalam pemahaman seperti ini kita berada dalam gagasan Cartesian tentang Allah sebagai causa sui. Artinya, suatu istilah untuk menyatakan sifat Allah sebagai “ada” yang sempurna secara mutlak.22
Usaha Descartes untuk membanggakan akal budi, ternyata mendapat perlawanan dari Huets seorang Uskup dari Avranches. Ia mengatakan bahwa pengalaman lebih mendalam dari pada pembuktian secara matematis.23 Lebih lanjut dia mengatakan bahwa “seluruh tulisan dalam Alkitab, pada umumnya ditulis dalam bentuk simbol-simbol atau lambang oleh pengarang. Jacques Abbadie (1654-1272), dalam karyanya yang berjudul “Treatise on the Truth of the Christian Religion” memperlihatkan suatu bukti bahwa Yesus Kristus adalah Allah yang benar dan sehakekat dengan Bapa. Dalam hal inilah Spinoza mengungkapkan sebuah penyesalan dengan berkata “aku berspekulasi untuk menyatakan bahwa aku tidak bertuhan, karena alam dan para skeptis tidak pernah mempertentangkannya. Aku percaya bahwa pengetahuan dalam filsafat merupakan anugerah dari Tuhan pada masa lampau.24
Kebangkitan para apologet Katolik pada abad ke-16, memberikan suatu pencerahan baru untuk melepaskan diri dari pengaruh akal budi. Benedictine Francois Lamy (1636-1711) misalnya memunculkan sebuah polemik filosofis dalam The New Atheism Overthrown, or, Refutation of the System of Spinoza” (Perobohan Atheisme Baru atau Penolakan terhadap Sistem Spinoza). Lamy, dengan tegas menolak monisme25 yang digagas oleh Spinoza sebagaimana Descartes menentang dua substansi, yaitu badan dan jiwa. Ia mengatakan bahwa dengan menolak monisme Spinoza berarti melawan kehendak bebas. Lamy juga membantah sistem panteisme Spinoza, karena jika hal ini diterima, maka akan membawa konsekuensi terhadap moral yang celaka.

2.4. J. Samuel Preus

Preus mencoba untuk mengungkap kembali skeptis Spinoza terhadap isi kitab suci yang menjadi sumber iman bagi orang Kristiani. Preus melihat bahwa Spinoza banyak terlibat dalam berbagai dialog umum yang mencoba mengarahkan pandangan terhadap isi kitab suci. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemahaman isi kitab suci itu adalah “bagaimana” kitab suci itu diinterpretasikan dalam suatu bahasa yang tepat dan benar, sehingga dapat diterima dan dijadikan sebagai sumber iman. Preus mengangkat satu contoh: jika saya mengetahui bahwa yang benar adalah bumi berputar mengelilingi matahari, lalu saya mengambil sebuah teks kitab suci dan menemukan di sana bahwa ternyata yang benar adalah matahari mengelilingi bumi.26 Bagaimana saya menginterpretasikan realitas seperti ini untuk menemukan arti yang sebenarnya? Preus melihat hal ini sebagai suatu persoalan besar berkaitan dengan kaum ortodoks yang mengatakan bahwa karena kitab suci tidak mengandung filsafat, maka, tidak ada kebenaran di dalamnya.
Pada abad ketujuh belas, dogmatik Lutheran berusaha keras untuk membangun suatu bukti yang masuk akal terhadap doktrin atas kitab suci sebagai sumber iman yang tidak berisikan suatu kesalahan apa pun. Ringkasnya, bahwa ada beberapa pandangan para teolog, sejarawan modern yang menyebutkan bahwa ada delapan kriteria baik secara eksternal maupun internal yang memungkinkan adanya hukuman bagi manusia yang meramalkan otoritas kitab suci. Kriteria seperti ini merupakan dasar kepercayaan sebagaimana dicatat oleh Duns Scotus ketika Calvin menjadi muridnya.
John Calvin mengakui bahwa manusia melalui kontemplasi dapat sampai pada ilmu pengetahuan akan eksistensi Allah, hidup, kebijaksanaan, kekuatan, kebaikan, pengampunan, dan simbol-simbol yang lain. Tetapi, dia mengatakan bahwa di satu pihak, manusia mewariskan perbuatan jahat yang menjatuhkan dia ke dalam penyembahan berhala, kecuali jika Tuhan menolong dia melalui pewahyuan, maka dia akan selamat. Tetapi, di lain pihak manusia itu berdosa sehingga ia membutuhkan pengampunan dari sang penciptanya agar ia keluar dari rasa keberdosaan itu. Dengan cara seperti ini, Calvin mempertimbangkan untuk menerima Injil sekaligus iman kristiani. Akibatnya, mereka yang beraliran Calvinisme mengembangkan sebuah doktrin tentang “tobat terbatas” yang mengatakan bahwa Kristus tidak mati di salib untuk setiap orang, tetapi hanya untuk kaum terpilih saja. Dengan demikian, lahir sebuah pandangan yang disebut sebagai “predestinasi” artinya takdir manusia sudah sejak awal ditentukan oleh Tuhan. Atau dengan kata lain, siapa yang selamat sudah sejak awal, sejak keabadian ditentukan oleh Allah. Dengan demikian, kaya-miskinnya manusia sudah ditentukan oleh Tuhan sejak awal mula. Oleh karena itu, untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan dalam hidup ini, manusia harus berjuang untuk bekerja keras, disiplin dan saleh dalam hidup, karena hanya dengan cara demikian manusia dapat memperoleh keselamatan, kebahagiaan dalam hidup ini. Inilah yang dimaksud oleh para penganut aliran Calvinisme dalam gagasan mereka terhadap “predestinasi.”

III. Penutup

Harus diakui bahwa perubahan makna agama telah menjadi sebuah persoalan besar sepanjang sejarah. Sejak tampilnya Marx dengan gagasannya terhadap agama sebagai candu masyarakat, lahirlah sebuah ketidakpercayaan manusia terhadap agama sebagai yang “meninabobokan” masyarakat atas realitas kehidupan yang mereka hadapi. Hingga sampai pada dunia sains, agama tetap menjadi objek kritikan yang dianggap sebagai tempat di mana manusia merasakan kehadiran Allah sebagai tujuan akhir dari pencarian manusia. Hadirnya Allah dalam pengalaman manusia, membuat manusia berada dalam situasi damai, adil, dan tenteram. Dengan demikian, manusia ada dalam genggaman sang Ilahi sebagai realitas murni. Namun, dengan hadirnya rasionalisme yang menekankan rasio (akal) dalam pemikiran manusia, pengalaman manusia akan sang ilahi itu menjadi tak berdaya. Pengalaman akan Allah berada di persimpangan kematian, karena segala sesuatu apa yang dipikirkan manusia bagi para penganut rasionalisme harus didasarkan pada rasio (akal budi). Akibatnya, keragu-raguan (rasa skeptis) seperti ini mewarnai realitas kehidupan manusia itu sendiri. Dalam keraguan manusia, agama dilihat hanya sebagai sebuah khayalan, ilusi yang membawa manusia pada suatu realitas yang tidak hadir secara nyata.
Bahkan lebih radikalnya lagi, Dietrich Bonhoeffer (1906-1945) mengatakan bahwa “Kristianitas itu seharusnya tanpa agama” karena manusia modern pun mempunyai masalah yang sama sebagaimana dia sendiri mempunyai masalah dengan kepercayaannya akan mukjizat. Melalui gagasan ini, Bonhoeffer bermaksud untuk mengembalikan manusia ke dalam situasi sekularisasi bahwa manusia dapat hidup tanpa Allah. Oleh karena itu, manusia sebaiknya tidak perlu beragama.
Berkaitan dengan gagasan para filsuf di atas, apa yang harus kita buat untuk menemukan makna kebenaran dari realitas kehidupan kita. Harus diterima bahwa manusia pada dasarnya memiliki sikap skeptis terhadap apa yang dia imani. Namun, bukan berarti bahwa dengan adanya rasa skeptis dalam diri manusia, maka manusia perlu menghindar dari pengalaman imannya akan Allah. Saya tidak bermaksud demikian. Saya juga tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kita harus menerima keragu-raguan sebagaimana para filsuf mengalaminya. Saya berpikir bahwa untuk kembali kepada iman yang sejati akan Allah sebagai realitas terakhir dari pencarian manusia, manusia perlu memiliki sikap yang tegas terhadap imannya itu sendiri. Ia harus memiliki prinsip dalam kehidupannya. Ia harus yakin pada apa yang diimaninya. Dengan kata lain ia tidak bergantung pada orang lain sehingga ia tidak mudah jatuh ke dalam apa yang disebut sebagai “ateisme.”
Harus diakui bahwa kritik terhadap agama pada abad kesembilan belas lahir dari keprihatian para filsuf terhadap sikap agama atas realitas penderitaan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Agama dilihat hanya sebagai tempat untuk menampung keresahan manusia atas realitas hidup yang mereka alami. Dalam kegetiran hidup yang dialami oleh masyarakat abad kesembilan belas, agama tidak memberi reaksi apa-apa. Agama berdiam diri atas penderitaan manusia. Agama hanya berfungsi untuk menjanjikan keselamatan bagi mereka yang menderita, yang hidup dalam dunia tanpa jaminan, yang mati kelaparan dan tidak mempunyai lapangan pekerjaan. Agama tidak melihat kenyataan yang sesungguhnya terjadi di balik penderitan masyarakat.
Namun, dengan munculnya kritikan terhadap agama, bukan berarti agama berdiam dan tidak memberi reaksi apa-apa terhadap realitas yang dialami oleh masyarakat. Dalam konteks situasi masyarakat sekarang ini, banyak orang yang kita jumpai hidup di bawah garis kemiskinan, baik miskin secara material, moral, maupun miskin secara spiritual. Dari ketiga unsur ini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah agama masih tetap berdiam dan membiarkan masyarakat hidup dalam pendertiaan? Jawabannya adalah bahwa agama tentu saja tidak berdiam dan membiarkan masyarakat menghadapi realitas yang ada. Menurut saya, zaman sekarang bukan lagi sebagai zaman abad kesembilan belas di mana agama tidak bereaksi atas realitas masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas perjuangan sebagaimana terlukis dalam analisis Marx. Mau tidak mau, agama harus bergerak bukan hanya sekadar menjanjikan keselamatan, kebahagiaan, dan kedamaian bagi mereka yang hidup dalam penderitaan, tetapi bagaimana agama terlibat dan ikut ambil bagian dalam mengurangi penderitaan masyarakat27 yang sesungguhnya. Atau dalam bahasa Gutierrez seorang tokoh “teologi pembebasan” adalah bagaimana agama memproklamasikan Allah sebagai Bapa yang berbelas kasih dalam sebuah dunia yang tidak manusiawi.28 Dengan kata lain, bagaimana agama mendialogkan Allah yang membebaskan bagi mereka yang hidup dalam situasi ketidakberdayaan akibat penindasan yang dilakukan oleh orang-orang yang menguasai hidup mereka.

Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang


DAFTAR PUSTAKA

Ackermann, R.J, Agama sebagai Kritik, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

Chen, Martin, Teologi Gustavo Gutierrez (Refleksi dari Praksis Kaum Miskin), Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Dulles, A, A History of Apologetics, San Fransisco: 1999.

Eliade, Mircea (Ed), The Encyclopedia of Religion, Volume 11, New York: Macmillan Publishing Company, 1993.

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Leahy, Louis, Aliran-aliran Besar Ateisme, Yogyakarta: Kanisius, 1985.

---------Manusia di hadapan Allah 1: Masalah Ketuhanan Dewasa Ini, Yogyakarta: Kanisius, 1982.

---------Manusia di hadapan Allah 2, Yogyakarta: Kanisius, 1984.

Ramly, A.M. Peta Pemikiran Marx (Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis), Yogyakarta: LkiS, 2000.

Smith, Linda, dan William Raeper, Ide-ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Srenski, Ivan (ed), Thinking about Religion, London: Blackwell Publishing, 2006.
Catatan Kaki

1 A.M. Ramly, Peta Pemikiran Marx (Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis), Yogyakarta: LkiS 2000, hlm. 18.
2 Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm. 120.
3 A.M. Ramly, Op. Cit. hlm. 164.
4 Dr. Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme, Yogyakarta: Kanisius, 1985, hlm. 98.
5 Ibid, hlm. 90.
6 Dr. Harun Hadiwijono, Op. Cit. hlm. 117.
7 R.J. Ackermann, Agama sebagai Kritik, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991, hlm. 47.
8 Dr. Harun Hadiwijono, Op. Cit. hlm. 18.
9 Dr. Louis Leahy, Manusia di hadapann Allah 1, Yogyakarta: Kanisius, 1982, hlm. 21.
10 Ibid.
11 Dr. Louis Leahy, Manusia di hadapan Allah 2, Yogyakarta: Kanisius, 1984, hlm. 20.
12 Ibid, hlm. 36.
13 E. Renan. The History of the Origins of Christianity, Dalam Srenski, I. Thinking about Religion, London: Blackwell Publishing, 2006, hlm. 25.
14 Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, Volume 11, New York: Macmillan Publishing Company, 1993, hlm. 334.
15 Linda Smith dan William Raeper, Ide-ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 168.
16 Ibid, hlm. 170.
17 Ibid.
18 Ibid, hlm. 175.
19 George Sorel, The Historical System of Ernest Renan. Dalam Strenski, I. Thinking about Religion, London: Blackwell Publishing, 2006, hlm. 27.
20 Dr. Louis Leahy, Op. Cit. hlm. 99.
21 Ibid, hlm. 98.
22 Ibid, hlm. 110.
23 A. Dulles, A History of Apologetics, San Fransisco: 1999, hlm. 171.
24 Ibid, hlm. 191.
25 Ajaran yang mengatakan bahwa adanya kesatuan radikal dari segala yang ada, namun kesatuan yang dimaksud dapat berupa kesatuan materi.
26 J. Samuel Preus, The Bible religion in the Century of Genius, Part III: The Hidden Dialogue in Spinoza Tractatus. Dalam Strenski, I. Thinking about Religion, London: Blackwell Publishing, 2006, hlm. 40.
27 Masyarakat yang dimaksud di sini adalah bukan orang-orang ateis, tetapi orang-orang Kristiani yang miskin, yang tertindas, yang tidak mendapat jaminan dalam hidup, dan lain sebagainya.
28 Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez (Refleksi dari Praksis Kaum Miskin), Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 46.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Berikan catatan kritis berdasarkan teologis kristen tentang pendapat karl marx dan sigtmunfreud!!!tolong bantu dijawab.mkasih