Minggu, 30 Maret 2008

KEBEBASAN HATI NURANI DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN

Oleh : Blasius Baene

I. Pendahuluan

Persoalan kebebasan hati nurani sebagai norma moral subjektif bukanlah sebuah persoalan yang mudah diselesaikan dengan begitu saja dalam kehidupan manusia, karena hati nurani berkaitan erat dengan pribadi manusia. Bahkan, para pakar moral mengatakan bahwa pembicaraan mengenai hati nurani sebagai norma moral subjektif merupakan suatu fakta yang sangat rumit1 karena apa yang disebut sebagai norma moral subjektif tidak lepas dari pribadi atau subjek yang mengambil keputusan. Dapat dikatakan bahwa hati nurani sebagai norma moral subyektif memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama ketika manusia berhadapan dengan suatu persoalan yang membutuhkan keputusan dari manusia itu sendiri. Hati nurani sebagai jalan keluar yang paling akhir dalam mengambil keputusan menjadikan manusia otoritas eksklusif atas apa yang diperintahkan oleh hati nuraninya.2 Dengan demikian, setiap orang sebagai subjek yang mengambil keputusan bertanggungjawab atas tindakan dan perbuatannya dengan segala konsekuensi dari apa yang dia putuskan. Pengambilan keputusan oleh setiap orang, dapat kita lihat dalam pengalaman hidup sehari-hari. Misalnya, seseorang yang memutuskan untuk pergi ke Gereja pada hari Minggu. Tetapi, di satu sisi ia mengalami suatu persoalan yang membuat dia tidak nyaman untuk pergi ke Gereja. Ketika menghadapi persoalan seperti itu, si subjek yang menghadapi persoalan harus membuat suatu pilihan untuk memutuskan mana yang tepat bagi dirinya, yakni pergi ke Gereja atau tidak. Dalam mengambil suatu keputusan, petama-tama subjek yang mengambil keputusan harus digerakkan oleh hati nuraninya untuk memutuskan sesuatu hal. Jadi, orang lain tidak berperan atas keputusan yang diambil oleh subjek, karena orang lain tidak mengetahui apa yang dipikirkan oleh hati nurani si subjek yang mengambil keputusan.
Di tengah persoalan yang dihadapi oleh manusia dewasa ini, manusia berjuang untuk melepaskan diri dari berbagai problem yang ada. Tetapi, Kemampuan hati nurani manusia untuk memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya tidak dapat menjawab problem yang dihadapi oleh manusia itu sendiri. Sekarang, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah bagaimana kebebasan hati nurani menjawab persoalan manusia ketika manusia mengambil suatu keputusan? Apakah hati nurani berperan dalam diri manusia ketika manusia mengambil suatu keputusan? Inilah yang saya bahas dalam paper ini, yaitu melihat bagaimana peran kebebasan hati nurani manusia dalam mengambil suatu keputusan ketika manusia dihadapkan pada suatu persoalan tertentu.

II. Pengertian Hati Nurani

Pengertian hati nurani tidak dapat disimpulkan dalam satu definisi tertentu, karena pengertian hati nurani tidak hanya mencakup satu aspek tertentu. Namun, bila ditelusuri lebih dalam dapat dikatakan, bahwa hati nurani merupakan hati yang telah mendapat cahaya Tuhan. Dikatakan mendapat cahaya Tuhan karena dalam memutuskan sesuatu seseorang yang mengambil keputusan tertentu harus diikuti oleh suatu kesadaran ketika orang itu memutuskan apa yang harus diputuskan dan dilaksanakan. Untuk melukiskan pengertian hati nurani, dipakai kata “conscientia” yang secara harafiah berarti pengetahuan dengan.3 Jadi, hati nurani pertama-tama menyentuh pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Thomas Aquinas melihat hati nurani sebagai suatu pengetahuan yang lain. Maksudnya adalah pengetahuan sejauh mencakup makna sosial. Artinya bahwa hati nurani mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dalam mengambil suatu keputusan. Bila gagasan ini dikaitkan dengan kebebasan hati nurani, maka dapat dikatakan bahwa kebebasan hati nurani merupakan suatu kebebasan terhadap seluruh aspek kehidupan manusia, namun bukan berarti bahwa kebebasan hati nurani adalah kebebasan dalam arti kesewenangan pribadi manusia.4

2.1. Hati Nurani dalam Perjanjian Lama

Pengertian hati nurani dalam Perjanjian Lama tidak dikatakan secara mendetail, tetapi bila ditelusuri secara lebih mendetail dalam kitab suci, maka kita dapat menemukan bahwa Perjanjian Lama berbicara tentang hati nurani khususnya kita temukan dalam kitab Kebijaksanaan 17:10. “Memang kejahatan yang dihukum atas kesaksiannya sendiri adalah pengecut, sebab selalu menyangka yang terburuk karena diusik-usik suara hatinya.5 Di bagian lain, hati nurani dilukiskan dalam pengalaman manusia sebagai personal. Misalnya: Kej 4:9-14 melukiskan pengalaman Daud ketika ia melawan kehendak Allah.6 Apa yang digagas dalam perjanjian lama mengenai pengertian hati nurani dapat disimpulkan bahwa hati nurani merupakan suara Tuhan sendiri.7 Dengan mengatakan hati nurani sebagai suara Tuhan, itu berarti bahwa Allah sendiri yang langsung berbicara kepada manusia dari hati ke hati. Dengan perkataan lain, Allah mengajarkan kepada manusia apa yang harus atau tidak boleh dilakukan.8 Jadi, dalam Perjanjian Lama dapat dikatakan bahwa manusia dan Allah saling berhadapan secara langsung. Dalam hal ini ada proses dialogis antara yang Maha kuasa dan manusia sebagai subjek yang mengambil keputusan.

2.2. Hati Nurani dalam Perjanjian Baru

Gagasan tentang hati nurani dalam Perjanjian Baru dapat kita temukan, baik dalam Injil maupun dalam surat-surat Paulus yang begitu banyak berbicara tentang hati nurani. Dalam Injil, pemahaman terhadap hati nurani dapat kita lihat dari perkataan Yesus yang berbicara tentang hati sebagai pusat moral. Misalnya: dalam Injil Mat 5:8, Yesus berbicara kepada orang-orang yang berhati nurani, yakni orang-orang yang sederhana bahwa hati kita seharusnya tidak terpusat pada harta benda duniawi melainkan pada harta benda surgawi. Yesus memaksudkan harta surgawi sebagai pahala bagi manusia ketika hati nuraninya memutuskan untuk memilih kehidupan surgawi. Sedangkan Paulus dalam memahami hati nurani menggunakan istilah suneidesis.9 Dalam gagasan Paulus dikatakan, bahwa hati nurani merupakan saksi yang jujur dalam diri kita yang dapat dipanggil untuk menjadi saksi bagi kebenaran setiap pernyataan kita. Oleh karena itu, hati nurani dipandang sebagai “anugerah umum” bagi seluruh umat manusia.10 Artinya bahwa kepada setiap orang diberikan hati sebagai pusat untuk menentukan apa yang baik dan yang buruk dalam memutuskan suatu perbuatan tertentu.

2.3. Hati Nurani dalam Pandangan Konsili Vatikan II

Setelah mengemukakan bagaimana pemahaman hati nurani baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru, sekarang penulis melihat bagaimana pemahaman terhadap hati nurani dalam konteks Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II melihat bahwa hati nurani merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia ketika manusia mengambil suatu keputusan tertentu. Secara khusus, Konsili Vatikan II menggagas dengan begitu indah pengertian hati nurani sebagai inti terdalam dari diri manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya, di situ ia seorang diri yang sapaan-Nya menggema dalam hatinya (GS 16).11 Apa yang digagas oleh Konsili Vatikan II berkaitan dengan hati nurani mau mengatakan bahwa hati nurani merupakan bagian terdalam dari diri manusia di mana di dalam hati nurani itu manusia bertemu dengan dirinya sendiri dan Tuhan. Dengan demikian, diandaikan bahwa dalam pertemuan itu hati nurani manusia berdialog dengan dirinya sendiri dan Tuhan ketika manusia harus mengambil suatu keputusan tentang apa yang baik dan buruk bagi dirinya.
Gagasan yang disampaikan oleh Konsili Vatikan II dalam GS 16 tentang hati nurani, tampaknya sangat bersifat subjektif di mana manusia sebagai pribadi bertanggungjawab atas apa yang dia putuskan sesuai dengan hati nuraninya. Dengan menekankan personalitas manusia dalam mengambil keputusan, Konsili Vatikan II tidak bermaksud bahwa ketika manusia mengambil keputusan sesuai dengan hati nuraninya, maka keputusan itu selalu dalam keadaan mutlak benar. Justru sebaliknya, Konsili mengatakan bahwa hati nurani dapat tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi. Tetapi, bukan berarti bahwa dengan demikian hati nurani manusia kehilangan martabatnya.12 Kesesatan yang dimaksud oleh Konsili adalah akibat tindakan seseorang dalam mengambil suatu keputusan yang tidak didasarkan atas nilai-nilai kebenaran dan kesadaran dan bukan karena hati nurani sebagai akar kesesatan.

III. Keputusan Hati Nurani dalam mengambil Keputusan

Mengambil keputusan merupakan bagian hakiki dalam kehidupan manusia ketika manusia berhadapan dengan suatu persoalan tertentu. Setiap keputusan dilukiskan sebagai suatu hubugan antara sikap dan tindakan dasar seseorang. Bahkan, dalam Katekismus Gereja Katolik dikatakan bahwa dalam lubuk hati seseorang bekerjalah hati nurani. Pada saat itu, seseorang yang mengambil keputusan memberi perintah bagi dirinya untuk melakukan apa yang baik dan mengelakkan yang jahat. Ia juga harus menilai keputusan konkrit di mana ia menyetujui yang baik dan menolak yang jahat.13 Secara tidak langsung apa yang dikatakan dalam katekismus ini mau mengatakan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh seseorang pertama-tama tidak didasarkan atas pilihan orang lain, melainkan berdasarkan keputusan dan pilihan pribadi seseorang yang mengambil keputusan. Dengan demikian, konsekuensi dari keputusan itu, artinya baik buruknya suatu keputusan yang diambil oleh seseorang berdasarkan keputusan dan pilihannya sendiri adalah merupakan tanggungjawab orang itu sendiri.
Keputusan hati nurani dapat dibedakan dua macam, antara lain keputusan “hati nurani” yang mendahului (conscientia antcedens) dan keputusan “hati nurani yang menyusul” (conscientia consequens). Keputusan hati nurani yang mendahului (conscientia antesedens) merupakan suatu keputusan yang mendahului suatu perbuatan dengan berusaha menjauhkan seseorang dari perbuatan yang mengakibatkan dosa dan sekaligus mendorong seseorang itu untuk melakukan yang apa yang terbaik bagi dirinya. Dengan demikian, hati nurani seperti ini mendahului untuk memberi perintah, larangan, atau peringatan bagi seseorang yang mengambil keputusan agar keputusan yang diambil didasarkan atas keputusan yang matang dan bertanggungjawab. Sedangkan keputusan hati nurani yang menyusul (conscientia consequens) merupakan penilaian terhadap suatu perbuatan yang telah diputuskan. Dengan kata lain, penilain terhadap suatu perbuatan dilakukan setelah perbuatan itu terjadi. Jadi, dalam keputusan seperti ini, hati nurani yang menyusul dapat dikatakan bahwa keputusan hati nurani yang menyusul dapat dikatakan bahwa keputusan seperti ini seolah-olah menghakimi seseorang jika perbuatan itu tidak sesuai dengan norma yang berlaku, dan sebaliknya memuji suatu perbuatan seseorang apabila perbuatan itu sesuai dengan norma yang belaku.

3.1. Ciri-ciri Keputusan Hati Nurani

Untuk memahami ciri-ciri keputusan hati nurani, penulis mengambil gagasan yang dipakai oleh F. Böckle.14 Böckle mengemukakan bahwa keputusan hati nurani memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama: kebenaran, artinya keputusan hati nurani benar apabila keputusan itu berhubungan dengan norma moral objektif. Sedangkan keputusan hati nurani dikatakan salah apabila suatu keputusan hati nurani didasarkan pada prinsip-prinsip yang salah atau dengan kata lain keputusan itu tidak sesuai dengan akal budi manusia. Kedua: kepastian, artinya suatu keputusan yang didasarkan pada keyakinan tanpa mengalami rasa ketakutan dan kekeliruan dalam mengambil suatu keputusan. Dengan kata lain, seseorang yang mengambil keputusan merasa yakin bahwa apa yang dia putuskan dapat dipertanggungjawabkan dengan segala konsekuensi dari tindakan yang dia perbuat.
Menurut F. Böckle, ciri-ciri keputussan hati nurani yang telah digagas di atas memiliki beberapa dimensi pengertian, antara lain: Pertama: hati nurani yang benar dan pasti menjadi norma pokok dalam mengambil keputusan. Artinya, keputusan hati nurani yang benar pada dasarnya harus sesuai dengan norma objektif. Kedua: setiap keputusan tidak dibenarkan apabila seseorang bertindak melawan hati nurani yang pasti. Keputusan hati nurani yang pasti adalah keputusan yang dianggap sebagai keputusan yang terakhir. Ketiga: seseorang yang mengambil keputusan tidak diperkenankan untuk bertindak atas dasar keragu-raguan atau dengan hati nurani yang keliru, melainkan keputusan yang diambil harus berdasarkan atas kesadaran si subjek yang mengambil keputusan.

3.2. Perlukah pembinaan terhadap hati Nurani?

Konsili Vatikan II mengatakan bahwa hati nurani sebagai norma moral subjektif bukanlah suatu tanpa kesalahan dalam mengambil suatu keputusan. Bahkan dari sudut pandang filsafat, banyak filsuf yang mencurigai hati nurani sebagai norma moral subjektif. Filsuf yang dimaksud di sini adalah para filsuf empiris. Mereka berpendapat bahwa subyektivitas sama artinya dengan “sewenang-wenang” dan tidak bisa diandalkan.15 Mereka melihat bahwa sifat subjektif yang ditonjolkan terlalu otoriter dalam mengambil suatu keputusan. Namun, kendatipun demikian, mereka juga mengakui bahwa peran hati nurani selalu akan dibutuhkan dalam hidup manusia untuk membedakan apa yang baik dan apa yang buruk.16 Oleh karena hati nurani tidak luput dari suatu kesalahan dalam mengambil suatu keputusan, maka dalam mengambil suatu keputusan yang matang, benar dan dapat dipertanggungjawabkan, perlu ada suatu pembinaan terhadap hati nurani sebagai norma moral subjektif yang melekat dalam diri setiap manusia.
Dalam katekismus Gereja Katolik dikatakan bahwa hati nurani harus dibentuk dan keputusan moral harus diterangi. ...bagi kita manusia yang takluk kepada pengaruh-pngaruh yang buruk dan selalu digoda untuk mendahulukan kepentingan sendiri dan menolak ajaran pimpinan Gereja, pembentukan hati nurani itu mutlak perlu. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pembentukan hati nurani merupakan suatu tugas seumur hidup.17 Apa yang digagas dalam katekismus mengenai pembentukan hati nurani, harus diakui bahwa pembentukan/pembinaan terhadap hati nurani merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena melalui pembinaan hati nurani manusia dapat terhindar dari berbagai kesesatan dalam mengambil suatu keputusan dan berbagai tindakan yang bersifat manusiawi. Bukan hanya itu saja, dengan adanya pembinaan yang jelas terhadap hati nurani, maka manusia tidak hanya mampu membedakan apa yang baik dan apa yang buruk/jahat, tetapi juga sebagai makhluk religius manusia dibawa ke dalam persatuan cinta Allah yang selalu mengarahkan manusia untuk melakukan yang terbaik dalam hidupnya.
Grisez18 mengatakan bahwa pembinaan terhadap hati nurani selalu berkaitan dengan tiga hal, antara lain: Pertama: pembinaan hati nurani hendaknya memperhatikan pengertian yang jelas mengenai norma-norma yang membedakan antara “yang baik” dan “yang jahat.” Dengan kata lain mau mengatakan bahwa dalam membina hati nurani harus ada pemahaman yang jelas dan batas-batas yang jelas sejauh mana hati nurani berperan dalam diri subjek yang mengambil keputusan. Kedua: dalam pembinaan hati nurani perlu ada suatu informasi yang memadai dan faktual untuk melihat berbagai kemungkinan praktis, maksudnya adalah hal-hal yang dapat kita pelajari untuk memahami secara lebih mendalam tujuan dan maksud dari hati nurani. Ketiga: dalam pembinaan hati nurani, setiap orang harus bersedia untuk membina refleksi moral sebelum mengambil suatu keputusan agar setiap keputusan yang diambil sungguh-sungguh didasari oleh kesadaran dari setiap pribadi. Apa yang digagas oleh Grisez berkaitan dengan pembinaan terhadap hati nurani, mengajak setiap orang untuk terus menerus membina hati nuraninya, karena dengan membina hati nurani berarti setiap orang sebagai subjek yang mengambil keputusan turut mengembangkan nilai-nilai kebaikan dan menghindari hal-hal yang jahat/buruk yang dapat merugikan kehidupan manusia baik secara personal maupun kelompok sosial masyarakat.

IV. Daya Ikat Hati Nurani19

Daya ikat hati nurani menunjukkan suatu dimensi kekuatan hati nurani dalam mengambil suatu keputusan oleh subjek yang mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang ada. Dengan perkataan lain, kekuatan hati nurani sebagai norma moral terakhir dalam mengambil suatu keputusan sunguh-sungguh mempunyai makna yang sangat berarti dalam hidup setiap manusia. Harus diakui bahwa setiap orang memiliki daya/kekuatan hati nurani dalam mengambil suatu keputusan. Tetapi, daya/kekuatan hati nurani setiap manusia dalam mengambil suatu keputusan tidak dibenarkan secara mutlak dan sebaliknya juga tidak mutlak disalahkan. Oleh karena itu, dalam keterbatasan hati nurani manusia, manusia perlu memahami beberapa dimensi daya ikat yang menunjukkan kekuatan hati nurani dalam mengambil suatu keputusan.
Beberapa dimensi yang menunjukkan keadaan atau daya ikat hati nurani adalah sebagai berikut: Pertama: hati nurani yang pasti. Hati nurani yang pasti menunjukkan suatu kepastian moral dalam mengambil suatu keputusan, bahwa keputusan itu sungguh-sungguh berdasarkan tindakan moral yang benar. Yang dimaksudkan dengan tindakan moral yang benar adalah tindakan moral berdasarkan keniscayaan dan keyakinan serta iman yang benar dalam mengambil suatu keputusan. Seperti dikatakan oleh Paulus bahwa “segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman adalah dosa” (Rom 14:23). Perkataan Paulus ini mau menunjukkan bahwa hati nurani yang pasti tidak berdasarkan pengaruh orang lain melainkan berdasarkan otoritas dari subjek yang mengambil keputusan.
Kedua: Hati nurani yang bimbang. Hati nurani yang bimbang berangkat dari pengalaman hidup manusia sehari-hari bahwa manusia dalam realitas kehidupan yang dia alami tidak pernah luput dari sebuah kekeliruan atau kesalahan dalam mengambil suatu keputusan. Hati nurani dikatakan bimbang apabila seseorang (subjek) yang mengambil keputusan berada dalam ketidakpastian atau dengan kata lain merasa tidak yakin terhadap apa yang diputuskan. Misalnya: seorang gadis yang hamil di luar nikah. Orang ini merasa bimbang atau tidak yakin ketika dia memutuskan untuk melakukan pengguguran, karena dalam keadaan tertentu ia merasa bahwa dengan melakukan pengguguran berarti ia melakukan tindakan kejahatan, yakni membunuh manusia. Berdasarkan kasus seperti ini, maka yang menjadi petanyaan adalah “apakah dalam kebimbangan seseorang, orang itu harus bertindak? Jawaban yang diberikan berdasarkan pertanyaan ini adalah bahwa apabila seseorang sungguh-sungguh merasa bimbang, maka tidak ada keharusan bagi orang itu untuk berbuat apa pun termasuk keputusan yang berlaku seumur hidup. Sebaliknya, apabila seseorang (subjek) memutuskan untuk bertindak dalam situasi kebimbangan, maka ada kemungkinan bahwa orang itu melakukan tindakan kejahatan bahkan membawa orang itu ke dalam ketidakadilan dan dosa. Lalu, apa yang harus dibuat? Pendapat di atas tidak bermaksud bahwa orang tidak boleh berbuat sesuatu ketika dia berada dalam situasi kebimbangan. Justru sebaliknya, bahwa orang yang merasa bimbang dalam memutuskan sesuatu dianjurkan untuk berbuat sesuatu tetapi bukan dengan cara yang merugikan kehidupan orang itu sendiri. Yang dimaksud dengan berbuat sesuatu dalam situasi kebimbangan adalah bahwa seseorang yang mengalami kebimbangan dianjurkan untuk membuka diri terhadap orang lain dalam membantu dan mengatasi segala kebimbangan yang dia hadapi. Dengan demikian, subjek yang mengalami kebimbangan memiliki keberadaan hati nurani yang terbuka terhadap diri sendiri, orang lain, dan Tuhan.
Ketiga: hati nurani yang kacau. Hati nurani seperti ini dapat juga dikatakan sebagai hati nurani yang keliru atau salah pada saat berhadapan dengan dua ketentuan atau peraturan, sehingga ketika mengambil suatu keputusan, ia merasa takut bersalah atau berdosa jika memilih salah satu. Terhadap hati nurani seperti ini, seseorang yang mengambil keputusan harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh situasi yang sedang dia hadapi. Ketika orang dihadapkan pada dua situasi yang berbeda dan pada saat itu orang itu harus mengambil keputusan, maka orang itu perlu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam memutuskan sesuatu, karena segala konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil secara pribadi adalah merupakan tanggung jawab subjek yang mengambil keputusan.

V. Relevansi

Tak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia dewasa ini bahkan dapat juga dikatakan di Indonesia, salah satu persoalan yang sangat krusial dalam bidang moral adalah persoalan tentang pelaksanaan euthanasia sebagai jalan terakhir untuk mengakhiri segala bentuk penderitaan yang dialami oleh seseorang. Persoalan moral yang sering dihadapi berkaitan dengan kebebasan hati nurani dalam pelaksanaan euthanasia adalah ketika seorang pasien yang tidak tahan melihat penderitaan yang dia hadapi, maka pilihan terakhir untuk mengakhiri segala penderitaannya adalah memutuskan untuk dieuthanasia. Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah apakah ketika seorang pasien meminta untuk dieuthanasia, maka permohonan itu langsung dikabulkan oleh orang yang menangani pasien tersebut atau ditolak secara mentah-mentah? Perlu diketahi bahwa masalah euthanasia tidak hanya menyangkut masalah dalam hukum moral tetapi lebih pada keselamatan jiwa manusia. Apakah kebebasan hati nurani subjek dianggap salah ketika memutuskan untuk dieuthanasia? Bagaiaman jika seorang medis mengikuti apa yang diputuskan oleh pasien yang bersangkutan?
Berkaitan dengan kebebasan hati nurani sebagaimana saya bahas dalam paper ini, maka saya mau mengatakan bahwa pelaksanaan euthanasia sebagaimana trend dalam dunia medis sekarang ini untuk mengakhiri setiap bentuk penderitaan yang dialami oleh seseorang adalah merupakan suatu moral yang salah. Saya mengatakan sebagai moral yang salah, karena dengan mengajukan permohonan untuk dieuthanasia, maka dapat dikatakan bahwa pasien yang menderita tidak menghargai nilai-nilai kehidupan yang ia terima. Demikian pula jika seorang medis menyetujui pelaksanaan euthanasia, maka ia tidak menghargai nilai-nilai kehidupan manusia sebagai makhluk yang luhur. Dengan perkataan lain, saya mau mengatakan bahwa seseorang yang mengambil keputusan dengan cara demikian berarti seseorang yang menggunakan kebebasan hati nuraninya secara keliru. Boleh dikatakan bahwa ia mengambil keputusan dengan didasarkan atas keputusan yang keliru.
Oleh karena hati nurani manusia sering lalai dalam mengambil suatu keputusan, maka hal utama yang paling penting menurut saya adalah memberikan kesadaran kepada setiap orang untuk membentuk dan membina hati nuraninya secara terus-menerus, agar setiap keputusan yang diambil tidak didasarkan pada suatu keputusan yang keliru, karena konsekuensi dari keputusan seperti itu tidak hanya merugikan nilai-nilai kehidupan subjek yang mengambil keputusan, tetapi juga merugikan orang lain. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hati nurani sebagai jalan terakhir dalam mengambil suatu keputusan sangat penting dalam kehidupan manusia.

VI. Kesimpulan

Apa yang dapat disimpulkan setelah membahas kebebasan hati nurani sebagai norma moral subjek? Menurut saya, ada beberapa poin yang dapat disimpulkan dari kebebasan hati nurnai sebagai norma moral subjek dalam mengambil suatu keputusan. Pertama-tama harus dikatakan bahwa kebebasan hati nurani bukan suatu persoalan yang mudah diselesaikan dalam kehidupan manusia, karena kebebasan hati nurani berkaitan erat dengan pribadi manusia sebagai subjek yang mengambil keputusan. Artinya, dalam mengambil keputusan, si subjek yang mengambil keputusan atas dasar hati nuraninya tidak dipengaruhi oleh orang lain. Dengan demikian, segala konsekuensi dari apa yang dia putuskan adalah merupakan tanggung jawab dari subjek yang mengambil keputusan. Kedua, adalah hati nurani merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama dalam mengambil keputusan hati nurani menjadi pilihan yang terakhir dalam hidup manusia. Ketika menghadapi suatu persoalan di mana manusia berada dalam kesendirian, di sanalah manusia berhadapan dengan dirinya sendiri untuk memutuskan mana yang baik dan mana yang buruk.
Ketika hati nurani menjadi pilihan terakhir dalam hidup manusia untuk mengambil keputusan, maka itu bukan berarti bahwa hati nurani seseorang tidak pernah salah dalam mengambil suatu keputusan. Oleh karena hati nurani dapat salah, maka hati nurani harus terus-menerus dibina dan dibentuk sedemikian rupa, sehingga dalam mengambil suatu keputusan, subjek yang mengambil keputusan dapat membedakan apa yang baik dan apa yang buruk/jahat.


Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana (STFT) Malang


DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia, 1993.

-------Keprihatinan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Chang, William, Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Go, Piet, Teologi Fundamental 2, (Diktat Kuliah), STFT Widya Sasana Malang: Malang, 2003.

Hardawiryana, R. Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.

Hadiwardoyo, Al. Purwa, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Katekismus Gereja Katolik, Ende: Arnoldus, 1995.

Peschke, Karl Heinz, Etika Kristiani (Pendasaran Teologi Moral), jilid I, Maumere: Ledalero,-------2003.
Catatan Kaki

1 Dr. William Chang, OFMCap, Pengantar Teologi Moral, Yogayakarta: Kanisius, 2001, hal. 125.
2 Ibid, hal. 146.
3 Ibid, hal. 129.
4 Karl-Heinz Peschke, SVD, Etika Kristiani, Jilid I, Pendasaran Teologi Moral, Maumere: Ledalero, 2003, hal. 226
5 Dr. William Chang, OFMCap, Op. Cit. hal. 127 (bdk.. juga Peschke, hal. 182).
6 Karl Heinz Peschke, Op. Cit. hal. 182.
7 Ibid, hal. 183 (bdk. juga William Chang, hal. 127).
8 Ibid,
9 Ibid, hal. 184.
10 William Chang, Op.Cit. hal. 128.
11 R. Hardawiryana, S.J. Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, hal. 526.
12 William Chang, Op. Cit. hal. 134 (bdk juga Piet Go, Teologi Fundamental 2 (Diktat Kuliah), STFT Widya Sasana Malang: Malang, 2003, hal. 285).
13 Katekismus Gereja Katolik, art. Keputusan Hati Nurani no. 1777, Ende: Arnoldus, 1995, hal. 472.
14 William Chang, Op. Cit. hal. 150.
15 K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 1993, hal. 63.
16 Ibid, hal. 64.
17 Katekismus Gereja Katolik, art. Pembentukan Hati Nurani, no. 1783-1784.
18 William Chang, Op. Cit. hal. 137.
19 Karl-Heinz Peschke, Op. Cit. hal. 205.

Tidak ada komentar: