Sabtu, 02 Agustus 2008

KENAIFAN ETIKA EUDAEMONISME ARISTOTELES

Oleh: Blasius Baene

Aristoteles (384-322), dalam bukunya yang berjudul “Nicomachean Ethics,” mencetuskan apa yang disebut sebagai etika “eudaemonisme” rasional (dari Yunani “eudaemon” yang berarti bahagia).

Cetusan etika “eudaemonisme” Aristotelian tampak dalam pembukaan buku “Nicomachean ethics.” Dalam pembukaan buku tersebut, Aristoteles mengatakan bahwa segala aktivitas hidup manusia terarah kepada kebaikan. Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan cetusan yang paling sempurna, ideal dan rasional dari aktivitas tindakan manusia. Namun, apa yang disebut sebagai kebahagiaan menurut Aristoteles, bukanlah sesuatu yang sudah selesai, rampung dan tuntas. Kebahagiaan harus disamakan dengan aktivitas, yaitu aktivitas mencari kebahagiaan. Dengan demikian, etika “eudaemonisme” Aristotelian adalah etika yang berhubungan dengan rasionalitas manusia.

Etika “eudaimonia” tidak hanya dipahami oleh Aristoteles. Etika ini juga telah dipahami oleh beberapa filsuf lain. Misalnya, Epicuros, kaum Epicurian dan Jeremy Bentham yang kemudian melanjutkan gagasan kaum Epicurian. Tetapi, kebahagiaan dalam cetusan Aristoteles, berbeda dengan paham Epicuros, kaum Epicurian dan Jeremy Bentham.

Gagasan “eudaimonia” dalam pemahaman Epicuros, terwujud dalam “kenikmatan” (pleasure), yaitu kenikmatan yang mengalir dari aktivitas makan dan minum (the roots of all good is the pleasure that comes from the eating and drinking). Sedangkan menurut kaum Epicurian, kebahagiaan terletak pada aktivitas dan kepuasan diri yang rendah. Tesis kaum Epicurian, kemudian dilanjutkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Bentham mengatakan, bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh dua unsur, yaitu perasaan sakit dan kenikmatan (pain and pleasure). Pengertian ini mengandaikan sebuah karakter untuk menghindari penderitaan dan mengejar kenikmatan, yaitu kenikmatan yang terbatas pada aktivitas makan dan minum.

Berbeda dengan Epicuros, Jeremy Bentham dan kaum Epicurian, Aristoteles tidak meletakkan “eudaimonia” pada “rasa, cita rasa dan kenikmatan.” Etika “eudaimonia” Aristoteles lebih mengarah kepada karakter rasional. Bagi Aristoteles, manusia dengan rasionya (akal budinya), dapat meraih kebahagiaan bagi hidupnya. Namun, menurut Aristoteles, manusia harus menjalankan aktivitasnya (akal budinya) menurut keutamaan (virtue) untuk mencapai kebahagiaan, karena aktivitas yang disertai keutamaan (virtue) dapat membuat manusia bahagia. Kebahagiaan menurut Aristoteles tidak terletak pada pengertian menikmati hasil atau prestasi, tetapi pada karakter kontemplasi rasional sebagai suatu aktivitas manusia untuk mengalami pencerahan.

Kenaifan Etika “Eudaimonia” Aristoteles

Etika “eudaimonia” Aristoteles, menghantar kita kepada sebuah pertanyaan mendasar, yaitu dimanakah letak “kenaifan” etika eudaemonisme Aristotelian? Sekali lagi, Aristoteles menggagas bahwa hidup manusia selalu terarah pada kebaikan. Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Dengan kata lain, manusia selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kedatipun ada manusia yang menginginkan penderitaan dalam hidupnya, hal itu disebabkan oleh karena situasi hidup yang dia hadapi. Artinya, manusia ingin menghindari penderitaan itu sendiri. Realitas inilah yang terjadi pada bangsa kita sekarang ini, bahwa rakyat hidup dalam realitas ketidakbahagiaan akibat kelaparan, kemiskinan, kekurangan perhatian pemerintah atas penderitaan rakyat.

Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang makmur. Namun, dalam kenyataannya, bangsa kita telah dikuasai oleh kehausan akan harta, kekuasaan, keserakahan, dan keegoisan. Aneka persoalan memporak-porandakan bangsa kita bagaikan lingkaran setan menghantui rakyat kecil. Rakyat menderita akibat ulah pemerintah sendiri yang lebih mengedepankan kebahagiaan individual daripada kebahagiaan bersama. Maka, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa pada tataran inilah etika “eudaimonia” Aristotelian berada dalam posisi kenaifan, yaitu ketika pemerintah mengedepankan kebahagiaan individu daripada kebahagiaan bersama.

Adalah benar bahwa dalam mencetuskan etika “eudaimonia,” Aristoteles menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi. Namun, terminologi kebahagiaan dalam etika “eudaimonisme” Aristotelian perlu disimak dengan rasionalitas yang baik. Maksudnya, terminologi kebahagiaan dalam Aristotelian, bukan hanya dimaksudkan pada kebahagiaan individu atau kelompok melulu, tetapi juga menyangkut kebahagiaan bersama.

Kebahagiaan bersama tercapai apabila masing-masing pihak menyadari apa arti kebahagiaan dalam hidup manusia. Namun, persoalan yang kita hadapi adalah justru para penguasa bangsa kita tidak mampu menciptakan kebahagiaan bersama. Yang terjadi sebaliknya adalah rakyat menderita akibat ulah penguasa bangsa kita. Penguasa yang sesungguhnya menjadi pendorong untuk menciptakan “eudaimonia” bagi rakyat, justru berbalik menjadi penghambat kebahagiaan itu sendiri. Rakyat kini terperangkap dalam kemiskinan akibat kenaikan harga-harga. Tidak kalah pentingnya, rakyat kita semakin menderita, bahkan kebahagiaan itu semakin menjauh dari harapan ketika apa yang kita miliki disewakan kepada orang lain.

Manusia yang serakah

Kerakusan, keserekahan dan keegoisan para penguasa bangsa kita, membuat perhatian pemerintah kurang tanggap pada penderitaan rakyat. Lebih-lebih karena penguasa itu sendiri menjadi penghambat kebahagiaan rakyat. Bagaimana mungkin kita dapat meraih kebahagiaan jika aparat pemerintah sendiri lebih mengedepankan kebahagiaan individu daripada kebahagiaan bersama? Jika sejumlah aparat kita yang seharusnya melindungi kelestarian hutan, justru terlibat dalam pembalakan liar dan penjualan kayu di Kalimanatan? Para tersangka yang ditangkap mengungkapkan, setiap perahu motor yang membawa kayu illegal ke negeri Jiran, membayar upeti Rp. 120 juta kepada aparat (Jawa Pos, 3/4/2008).

Sungguh, penguasa bangsa kita serakah dengan harta, uang dan kekayaan. Tidak peduli pada nasib rakyat yang menderita, mati kelaparan, tidur di bawah kolong jembatan. Penguasa di negeri ini seakan tidak pernah merasa berdosa atas tindakan yang mereka lakukan. Pembabatan kayu secara liar di Kalimantan tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mengurangi kebahagiaan kita bersama. Belum lagi persoalan PP No 2/2008 yang kini menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat, karena dengan keluarnya PP tersebut, pemerintah seakan mengobral hutan lindung kita (Jawa Pos, 27/3/2008). Pemerintah menyewakan hutan lindung kita kepada 13 perusahaan. Mereka tidak pernah memikirkan apa dampak dari penyewaan hutan tersebut 50 tahun ke depan. Mereka hanya memikirkan realitas hidup saat ini. Memang, kita menerima uang, tetapi persoalannya adalah apakah uang tersebut dapat menjamin kelestarian hutan kita?

Harus kita sadari bahwa harapan untuk mewujudkan “eudaimonia” kini semakin sirna. Bahkan, kebahagiaan itu mungkin tidak pernah tercapai kalau para penguasa di negeri ini tidak mempunyai kesadaran untuk mewujudkannya. Etika “eudaemonisme” Aristotelian menjadi naif ketika pemerintah mengedepankan kebahagiaan hanya pada individu dan bukan pada kebahagiaan bersama. Oleh karena itu, untuk menciptakan kebahagiaan bersama, para pengusa diharapkan memiliki kesadaran untuk menciptakan kebahagiaan bersama dan bukan kebahagiaan individu. Sehingga dengan demikian, kita sampai kepada apa yang kita sebut sebagai “bonum commune” (kesejahteraan bersama) dan bukan sebaliknya, yaitu “malum commune” (keburukan bersama).
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Tidak ada komentar: