Sabtu, 02 Agustus 2008

MENGGAGAS DIALOG ANTARAGAMA SEBAGAI JEMBATAN MENUJU PERDAMAIAN MENURUT KONSILI VATIKAN II

Oleh: Blasius Baene

I. Pendahuluan

Merebaknya persoalan kekerasan terhadap agama dewasa ini telah menciptakan sejumlah persoalan sosial di antara umat manusia. Perbedaan agama seringkali dijadikan sebagai salah satu faktor pemicu lahirnya konflik di antara umat yang berlainan kepercayaan. Agama seringkali dijadikan sebagai tempat perdebatan yang tidak pernah kunjung selesai persaolannya. Maka, tidak heran jika konflik merebak di mana-mana karena masing-masing kelompok mengklaim agamanya sebagai kebenaran mutlak dibanding dengan agama-agama lain. Singkatnya, sikap eksklusif seperti ini membuat setiap kelompok agama mengasingkan diri dari agama-agama lain, sehingga segala usaha dan upaya yang dilakukan untuk mewujudkan perdamaian dan keselarasan di antara umat beragama menjadi semakin sulit untuk dikonkritkan dalam kehidupan beragama. Dengan kata lain, ketertutupan terhadap agama lain membuat setiap agama berada dalam ketidakharmonisan dengan agama-agama lain.

Menghadapi fakta seperti ini, tantangan bagi kita adalah bagaimana kita mewujudkan perdamaian di tengah kemajemukan agama-agama yang ada di bumi ini? Mungkinkah “dialog” menjadi landasan utama untuk memerangi setiap konflik, ketegangan dan kekerasan yang ada dalam realitas kemajemukan masyarakat kita? Mungkinkah “dialog” menjadi jembatan dalam memahami ketiga paradigma, yaitu ekslusivisme, pluralisme, dan inklusivisme dalam agama-agama? Bagaimana Gereja, khususnya Gereja Katolik berperan dalam membangun dialog antarumat beragama? Mungkinkah “dialog” antarumat beragama sebagai “dialog kehidupan”[1] dapat diwujudkan dalam membangun solidaritas bersama?

Menggagas “dialog” antaraumat beragama dewasa ini kiranya menjadi kebutuhan yang sangat penting dan mendesak kita guna menciptakan solidaritas, perdamaian, dan cinta kasih dengan agama-agama lain. Kemajemukan hendaknya bukan menjadi pemisahan manusia melainkan pemersatu setiap manusia yang beranekaragam. Tema “Dialog Antaragama Sebagai Jemabatan Menuju Perdamaian Menurut Konsili Vatikan II” menjadi tema sentral pembahasan saya dalam paper ini mengingat bahwa Konsili Vatikan II sangat memberi perhatian pada dialog antarumat beragama.

II. Beberapa Pandangan Tentang Dialog

2.1. Dialog Menurut Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II merupakan cikal bakal lahirnya dialog antarumat beragama. Hal ini dilatarbelakangi oleh karena sikap Gereja sebelum Konsili Vatikan II yang cenderung menutup diri serta kurang memandang secara positif agama-agama lain. Sikap ini didasarkan pada pernyaataan yang terkenal: “extra ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan).[2] Akibatnya, sikap positif yang ditujukan oleh Gereja kini menjadi sikap ekslusif, tertutup dan mengasingkan diri dari agama-agama lain.

Melihat kenyataan yang demikian berlangsung sekian lama dalam panggung sejarah, Konsili Vatikan II tidak berlarut-larut dalam kesalahan itu. Konsili menyerukan adanya “dialog” untuk memulihkan keadaan yang selama ini “retak” selama berabad-abad dengan agama-agama lain. Seruan Konsili untuk berdialog dengan agama-agama kemudian dicetuskan dalam Nostra Aetate (NA). Melalui dokumen ini Konsili mengatakan: “Gereja mendorong para putranya supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, “berdialog” dan “bekerjasama” dengan penganut agama-agama lain, sambil memberikan kesaksian tentang iman serta peri hidup Kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat pada mereka (NA 2).[3]

Berangkat dari kesadaran ini, Konsili Vatikan II mencoba membuka lembaran baru dalam kehidupan beragama dengan orang lain yang selama ini terjerat dalam sebuah kubangan paradigma eksklusivisme. Kesadaran Konsili ini memunculkan dua unsur penting dalam menyuburkan dialog antara umat beragama, antara lain: Pertama: Konsili Vatikan II mengubah paradigma “ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan) dengan mengatakan bahwa keselamatan dalam Yesus Kristus juga mungkin bagi agama-agama lain.[4] Kedua: Konsili mengakui bahwa dalam tradisi-tradisi keagamaan bukan kristen terdapat unsur-unsur yang benar dan baik (OT 16), unsur-unsur religius dan manusiawi (GS 92), benih-benih kontemplasi (AG 18), unsur-unsur kebenaran dan rahmat (AG 9), benih-benih Sabda (AG 11, 25), dan sinar kebenaran yang menerangi semua orang (NA 2).[5] Selain itu, Konsili Vatikan II juga mengatakan bahwa Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang dalam agama-agama itu apa yang benar dan suci.[6] Singkatnya, Konsili Vatikan II membuka pintu selebar-lebarnya bagi perkembangan dialog dengan agama-agama lain sebagai upaya untuk menciptakan agama-agama yang saling memahami satu dengan yang lain. Atas dasar sikap seperti inilah, Gereja Katolik tidak lagi mengambil sikap “oposisi” dengan agama-agama lain, melainkan menjalin “persahabatan” yang relasional dan bekerjasama dengan mereka yang berkehendak baik walaupun mereka tidak mengimani Allah.[7]

2.2. Paus Paulus VI

Paus Paulus VI dikenal sebagai “Paus Dialog”[8] karena gagasan-gagasanya tentang dialog mencerminkan sebuah sikap yang dialogis dengan agama-agama lain. Terutama dalam Enskliknya tentang “Ecclesiam Suam” (1964) dan Evangelii Nuntiandi (1975). Dalam Ecclesiam Suam, Paus Paulus VI melukiskan sejarah keselamatan sebagai “dialog” yang tidak pernah berhenti antara Allah dan manusia.[9] Dengan kata lain, dialog yang terjalin antara Allah dan manusia menjadi jembatan satu-satunya dalam memperbaiki relasi antara Allah dengan manusia yang selama ini retak akibat keegoisan manusia. Hanya melalui sikap “dialogis” inilah manusia dapat menemukan kembali identitasnya yang rusak. Demikian pula halnya dengan agama-agama yang berbeda akan menemukan identitasnya hanya apabila agama-agama itu bersedia berdialog dengan agama-agama lain. Selama agama itu berada dalam sikap eksklusivisme, maka agama itu tidak pernah mengenal dan memahami agama lain. Ia hanya memahami diri dan agamanya sendiri. Akibatnya, sikap “fanatisme”[10] dan “aboslutisme”[11] terhadap agama tidak dapat dielakkan.

Oleh karena ada berbagai sikap terhadap agama-agama lain, Paus Paulus VI melalui Ensikliknya tentang Ecclesiam Suam, memproklamasikan bahwa Gereja harus siap sedia menjalin “dialog” dengan siapa pun yang berkehendak baik. Sebab, “prinsip” dialog adalah membangun perdamaian satu sama lain. Dialog yang dijalin tanpa pamrih, objektif, tulus dengan sendirinya merupakan kondisi yang menguntungkan sekaligus menumbuhkan perdamaian. Dialog menyingkirkan kepura-puraan, persaingan, tipu daya dan pengkhianatan dan sekaligus mencegah pertikaian.[12]

Sikap dialogis yang dutujukan oleh Paus Paulus VI menunjukkan kepada kita betapa pentingnya nilai dari sebuah dialog. Dialog bukan hanya sekadar untuk berkomunikasi dengan orang lain. Tetapi, dialog lebih sebagai “pengenalan” untuk saling memahami setiap perbedaan dan persamaan dalam agama-agama pluralis. Kemudian sikap dialogal Paus Paulus VI semakin dipertegas dalam Surat Apostoliknya, tentang Evangelii Nuntiandi. Surat ini merupakan hasil refleksi Paus Paulus VI atas hasil pertemuan para Uskup sedunia pada tahun 1974. Melalui dokumen ini, Paus Paulus VI menyebut agama-agama non-Kristiani. Beliau menekankan secara tegas bahwa “Gereja menghormati nilai-nilai moral dan spiritual” yang tidak terdapat dalam agama-agama lain dan mengungkapkan keinginannya untuk bergabung bersama dengan mereka dalam memajukan dan membela cita-cita bersama kebebasan beragama, persaudaan, kebudayaan yang baik, kesejahteraan sosial dan tatanan sipil.”[13]

Apa yang digagas oleh Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi menghantar kita kepada sebuah pemahaman bahwa di tengah pluralitas religius umat manusia, dialog merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak manusia untuk menghadirkan relasi yang korelasionanl dengan agama-agama lain. Hanya melalui dialog manusia bisa saling mengerti, saling memahami setiap perbedaan yang ada. Inilah yang dimaksudkan oleh Raimundo Panikkar, bahwa melalui “dialog” pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran, yaitu Kristus bagi orang Kristen, Veda bagi orang Hindu, Muhammad bagi orang Islam, dan lain sebagainya dapat diperluas dan diperdalam sehingga menyingkap pengalaman-pengalaman baru mengenai kebenaran. Melalui dialog, hubungan antara agama bukan lagi hubungan yang bersifat asimilasi atau hubungan substitusi, melainkan hubungan yang saling menyuburkan.[14]

2.3. Paus Yohanes Paulus II

Pengguliran dialog antarumat beragama tidak hanya terbatas pada gagasan Paus Paulus VI dengan Ensikliknya tentang Ecclesiam Suam dan Evangelii Nuntiandi. Tetapi juga gagasan-gagasan mengenai dialog antarumat beragama dilanjutkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Bahkan, Paus Yohanes Paulus II menyebut dirinya sebagai pembawa pesan perdamaian antaragama.[15]
Gagasan-gagasan dialog yang dicetuskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam membangun relasi dengan agama-agama lain dapat kita temukan dalam Ensikliknya yang berjudul Redemptoris Missio (1990). Pengalaman berjumpa dengan agama-agama lain menghantar Paus Yohanes Paulus II untuk mencetuskan sebuah ensiklik yang mencoba membuka babak baru dalam melanjutkan dialog dengan agama-agama lain.[16] Dalam ensiklik ini, Paus Yohenes Paulus II mengedapankan dua tujuan utama misi Gereja, yaitu “ad intra” dan “ad extra.” Tujuan “ad intra” dimaksudkan oleh Yohanes Paulus II bahwa dokumen Redemptoris Missio pertama-tama berangkat dari pembaharuan yang berasal dari dalam, artinya pembaruan iman dan kehidupan iman Kristen yang tidak lain menunjuk kepada pembaruan semangat misioner (RM 2). Sedangkan tujuan “ad extra” dimaksudkan bahwa dokumen ini juga dihadirkan sekaligus untuk orang-orang bukan Kristen, terutama para penguasa negara yang menjadi tujuan karya misioner.[17]

Paus Yohanes Paulus II selain dikenal sebagai tokoh penggagas “perdamaian,” ia juga dikenal sebagai pribadi yang memiliki perhatian pada dialog sebagai dialog kehidupan. Dalam beberapa kunjungannya ke berbagai negara selama masa kepausannya, Yohanes Paulus II tidak henti-hentinya mengajak umat beriman untuk bersedia berdialog dengan agama-agama lain. Menurut Paus Yohanes Paulus II, umat beriman merupakan pembawa pesan perdamaian dan pemberi kesaksian akan solidaritas universal, yang mengatasi kepentingan pribadi maupun kelompok, agar tidak seorang pun dilupakan dan disingkirkan.[18] Lebih lanjut, Yohanes Paulus II melihat bahwa perdamaian senantiasa memiliki dimensi spiritual karena perdamaian itu sendiri merupakan rahmat Allah. Oleh karena itu, upaya manusia untuk membangun perdamaian harus didasarkan pada sikap kerendahan hati manusia, terutama dalam doa, mendengarkan kehendak Allah dan menjalankannya.[19]

Dalam upaya menegakkan dialog antarumat manusia, Paus Yohanes Paulus II menekankan peran manusia sebagai pelaku utama dalam dialog itu sendiri dengan disertai kerendahan hati dan kesipasediaan untuk berdialog dengan orang lain. Gagasan-gagasan yang disampaikan dalam Redemptoris Missio menghantar kita kepada beberapa dimensi dialog, teristimewa dialog antaragama. Pertama: dialog antaragama merupakan tugas evangelisasi Gereja. Jika dialog dipahami sebagai metode dan sarana untuk memperkaya dan saling mengenal, maka dialog tidak pernah bertentangan dengan tugas perutusan Gereja kepada bangsa-bangsa (RM 55). Kedua: Dialog tidak berasal dari perhatian taktis atau kepentingan diri, tetapi merupakan suatu kegiatan yang mengenal prinsip-prinsip, syarat-syarat dan martabatnya sendiri. Artinya, melalui dialog, Gereja berusaha menemukan benih-benih sabda, sinar yang menerangi semua orang. Oleh karena itu, setiap orang yang terlibat dalam dialog harus konsisten dengan tradisi-tradisi keagamaan dan keyakinan mereka sekaligus juga terbuka untuk memahami mereka dari pihak lain tanpa pretensi atau pikiran yang picik, tetapi dengan kebenaran dan kerendahan hati (RM 56). Ketiga: Dialog mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Melalui dialog, kaum beriman memberi kesaksian bagi semua orang tentang realitas pengalaman hidup sehari-hari dan saling membantu agar hidup sesuai dengan nilai-nilai guna membangun suatu masyarakat yang lebih adil dan bersaudara (RM 57).

III. Tiga Paradigma Dalam Dialog Antaragama

Kemajemukan agama seringkali melahirkan konflik dan berbagai pemikiran yang menghantar agama-agama pada sikap fanatik dan ketertutupan terhadap agama-agama lain. Sikap semacam ini membuat konflik tidak dapat dielakkan dalam kehidupan keberagamaan. Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah apa yang melatarbalakangi munculnya konflik dalam agama-agama itu? Ada tiga paradigma yang cenderung melahirkan konflik dalam agama-agama, yaitu eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Ketiga poin ini akan penulis uraikan berikut ini.

3.1. Eksklusivisme

Eksklusivisme dimengerti sebagai paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat,[20] menjauhkan diri dari, mengasingkan diri dari, mencegah masuknya, mengecualikan, mengucilkan, menutup pintu bagi.[21] Singkatnya, eksklusivisme adalah paham yang menutup diri dari agama-agama lain dan memandang agamanya sebagai satu-satunya yang benar menuju jalan keselamatan. Misalnya: jika agama Islam mewujudkan diri sebagai agama yang benar, maka kebenaran yang non-Islam tidak dapat digologkan dalam kebenaran agama-agama.

Paradigma eksklusivisme dalam setiap agama melahirkan sejumlah konsekuensi yang tidak hanya merusak hubungan antaragama itu sendiri, melainkan juga sikap ini mematahkan dan menghancurkan relasi antar sesama manusia. Sebab, sikap yang mengganggap agamanya sebagai satu-satunya yang benar, tidak memungkinkan lahirnya “dialog” dengan agama-agama lain untuk saling mengerti, saling memahami dan saling menghargai antara satu dengan yang lain, karena pengakuan terhadap adanya kebenaran dalam agama-agama lain itu jauh dari harapan. Akibatnya, muncul sikap intoleransi,[22] kesombongan dan penghinaan terhadap agama-agama lain.[23] Sikap semacam ini juga kita temukan dalam Gereja Katolik dengan sebuah pernyataannya yang cukup terkenal, yaitu “di luar Gereja tidak ada keselamatan” (extra ecclesiam nulla salus).

3.2. Inklusivisme

Paradigma inklusivisme memiliki nada lebih “lunak” daripada eksklusivisme yang cenderung ekstrim terhadap agama-agama lain. Jika eksklusivisme dipahami sebagai paham yang memandang agamanya sebagai satu-satunya kebenaran menuju keselamatan, inklusivisme dimengerti sebagai paham yang mengatakan bahwa kelompoknya memiliki kebenaran, tetapi juga dalam kelompok-kelompok lain itu terdapat unsur-unsur kebenaran.[24]

Tampaknya paham inklusivisme menghadirkan sebuah pemahaman yang universal dengan mengakui adanya kebenaran dalam agama-agama lain. Tetapi dibalik sikap demikian, paham inklusivisme hanyalah sebuah wacana pengakuan adanya kebenaran dalam agama-agama lain, karena paham ini sesunguhnya lebih mengedepankan kebenaran di dalam agamanya sendiri. Pengakuan akan adanya kebenaran dalam agama-agama lain bukanlah sebuah pengakuan yang “lengkap” atau “penuh.” Melainkan sebuah pengakuan yang parsial. Hal ini tampak dari apa yang dikatakan oleh Raimundo Panikkar, bahwa paham inklusivistik mengandung konsekuensi, yaitu melahirkan sikap kesombongan, kerena kelompok itu sendiri yang memiliki sikap toleransi menurut pandangan mereka, sedangkan yang lain tidak.[25] Paradigma seperti ini juga dapat kita lihat dalam agama Kristen yang disebut sebagai “inklusivisme-kristosentris,” artinya paradigma inklusif yang berpusat pada Kristus. Kristus dinyatakan sebagai pusat keselamatan yang didambakan oleh agama-agama.[26]

3.3. Pluralisme

Pluralisme agama merupakan sebuah paham yang mengakui bahwa semua kelompok keagamaan memiliki ajaran dan praktek religius yang valid (sah). Oleh karena kelompok-kelompok tersebut memiliki ajaran yang valid dan sah, maka paham ini menekankan “kesetaraan hak” semua agama untuk mengungkap diri sebagai jalan keselamatan atau pemilik kebenaran.[27] Apa yang digagas oleh Knitter berkaitan dengan pengakuan “kesetaraan hak” dalam agama-agama, pertama-tama bukan untuk merealisasikan bahwa semua agama itu memiliki kebenaran yang sama dan baik. Knitter memaksudkan pengakuan “kesetaraan hak” dalam level dialog,[28] artinya dengan cara seperti ini agama-agama yang berbeda dimungkinkan untuk merealisasikan dirinya dalam melahirkan dialog untuk mencapai sebuah pemahaman dalam realitas perbedaan yang ada dalam setiap agama. Dengan cara seperti ini, maka mustahil setiap agama berada dalam posisi ketidakmengertian antara satu dengan yang lain.

IV. Peran Dialog Dalam Pluralitas Religius

Setelah melihat ketiga paradigma dalam agama-agama, pada bagian ini penulis mencoba menggagas bagaimana peran Gereja sendiri melalui para pelayan Gereja membangun dialog di tengah realitas kemajemukan agama-agama. Singkatnya, bagaimana Gereja melibatkan diri dalam menciptakan dialog sebagai “dialog kehidupan” bersama dengan agama-agama lain. Untuk mengggas peran Gereja dalam membangun dialog dengan agama-agama lain, penulis mendasarkan diri pada gagasan Paus Yohenas Peulus II sebagai salah satu tokoh yang selalu menekankan dialog sebagai jembatan menuju perdamaian antarsesama manusia.

Belajar dari Paus Yohanes Paulus II sebagai pencetus “dialog kehidupan,” maka kita melihat beberapa poin penting dari apa yang dia sampaikan mengenai keterlibatan Gereja dalam membangun dialog bersama dengan agama-agama lain. Dalam Ensikliknya tentang Redemptor Missio (1990), Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa “dialog harus dijalankan dan diimplementasikan dengan keyakinan bahwa Gereja merupakan sarana keselamatan yang biasa dan bahwa hanya dia sendiri yang memiliki kepenuhan saran keselamatan (RM 92). Gagasan ini mengandaikan bahwa jika Gereja merupakan sarana keselamatan, maka hal ini bukan berarti bahwa Gereja tidak mengakui adanya keselamatan dalam agama-agama lain. Sebaliknya, Yohanes Paulus II mengajak Gereja untuk secara aktif melibatkan diri sepenuhnya dalam membangun dialog dengan agama-agama lain.

Keterlibatan Gereja dalam membangun dialog dengan agama-agama lain merupakan suatu pengakuan bahwa hanya dengan dialog, setiap kelompok-kelompok keagamaan dapat saling mengerti, saling memahami antara satu dengan yang lain. Lebih dari itu, keterlibatan Gereja dalam mengupayakan lahirnya perdamaian melalui dialog, merupakan suatu ungkapan imannya akan kasih Allah, iman yang memperbarui kehidupan. Menurut Yohanes Paulus II, dialog merupakan unsur mendasar bagi Gereja sekaligus hal yang sentral dan esensial dalam pemikiran etis umat manusia, sebab setiap orang ingin untuk mengenal apa yang baik, benar, dan adil dalam pribadi maupun kelompok-kelompok lain. Dengan kata lain, hanya dialog memungkinkan manusia dari pihak manapun untuk mengakui serta menerima secara terbuka adanya perbedaan dan sekaligus berusaha mencari apa yang dibutuhkan oleh setiap manusia di tengah segala perbedaan yang ada, kendatipun usaha ini kadang berada dalam situasi ketegangan.[29]

V. Penutup

5.1. Kesimpulan

Setelah melihat bagaimana Konsili Vatikan II menggagas peran dialog antaragama dalam rangka membangun relasi dengan agama-agama lain, pertanyaan bagi kita adalah apa yang dapat kita simpulkan dari gagasan Konsili Vatikan II tentang dialog? Menurut saya, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang digagas oleh Konsili Vatikan II mengenai dialog antaragama, antara lain: Pertama: Konsili Vatikan II menyadari sikap eksklusivisme Gereja Katolik terhadap agama-agama lain, terutama dengan pernyataannya tentang “extra ecclesiam nulla salus,” menyebabkan sejarah kekristenan berada dalam kegelapan. Oleh karena itu, sesudah Konsili Vatikan II, pertama-tama melalui Paus Paulus VI dalam ensikliknya tentang Ecclesiam suam dan Surat Apostolik tentang Evangelii Nuntiandi, Gereja mulai membuka diri untuk berdialog dengan agama-agama lain sekaligus menghapus luka lama yang melanda Gereja akibat sikapnya yang egois. Kedua: Sikap dialogal antaragama menjadi kebutuhan yang sangat mendesak bagi setiap kelompok-kelompok agama untuk membangun pengertian yang baik dan benar terhadap agama-agama lain. Hanya melalui dialog yang baik, setiap agama dapat membangun sebuah bonum commune dengan agama-agama lain. Kematian “dialog” dalam agama-agama bebarti meniadakan relasi dengan agama-agama lain.

5.2. Relevansi

Kemajemukan agama merupakan realitas sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Namun, tidak jarang persoalan kemajemukan agama seringkali menimbulkan persoalan yang menghantar manusia kepada sikap konflik horizontal. Para penganut agama tertentu seringkali mengkalim agamanya sebagai satu-satunya kebenaran mutlak dan mengabaikan kebenaran yang ada dalam agama-agama yang lain. Akibatnya, kekerasan terhadap agama menjadi sebuah realitas sosial yang membuat kelompok-kelompok agama barada dalam situasi ketegangan, kecurigaan, sikap sektarian dan lain sebagainya.

Peristiwa yang terjadi di Monas-Jakarta pada tanggal 1 Juni 2008 yang lalu mengingatkan kita pada kematian realitas dialogal yang tidak menyentuh sendi-sendi kehidupan manusia untuk membangun relasi dengan yang lain. Agama yang seharusnya menjadi pemersatu manusia yang majemuk ini berbalik menjadi suatu realitas sosial yang menghantar manusia ke dalam kelompok-kelompok. Dengan kata lain, sikap kekerasan terhadap agama seakan mengembalikan manusia kepada sebuah renaisans “tribalisme” primitif yang melihat kebenaran agama dari sikap “suku saya melawan suku kamu, dan tuhanku melawan tuhanmu.”[30]

Menghadapi realitas kemajemukan agama-agama dewasa ini yang cenderung melahirkan konflik dan mengatasnamakan agama, maka saya melihat bahwa sangat tepat apa yang digagas oleh Konsili Vatikan II bahwa dialog merupakan satu-satunya langkah yang tepat untuk menuju perdamaian dengan kelompok-kelompok agama lain. Hannya melalui dialog setiap agama dapat saling memahami dan mengerti kebenaran dalam agama-agama lain. Menurut saya, tidak ada jalan lain untuk memahami setiap perbedaan dalam agama-agama selain melalui dialog sebagai dialog kehidupan. Dialog bukan hanya sekadar dialog, melainkan betul-betul menjadi milik setiap manusia yang berdialog dengan orang lain. Hanya dengan cara demikian, kekerasan dan berbagai perbedaan dalam agama dapat diatasi dengan baik.
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang


DAFTAR PUSTAKA

Beding, Marcel (terj), Seri Dokumen Gereja: Ensiklik Redemptoris Missio Dari Yohanes Paulus II, Ende: Nusa Indah, 1992.

Cahyadi, T. Krispurwana SJ, Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, Jakarta: Obor, 2007.

Coward, Harold, Pluralisme: Tantangan Bagi Agama-agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Hardawiryana, R. (terj), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.

Jurnal Agama dan Kebudayaan, Vol. II – No. 1, Malang: Aditya Wacana Pusat Pengkajian Agama dan Kebudayaan, 2003.

Kirchberger, Goerg, (ed), Dialog dan Pewartaan, Maumere: LPBAJ, 2002.

Kamus Besar Bahasa Indonesai (KBBI), Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Knitter, Paul F. Menggugat Arogansi Kekristenan, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Orientasi Baru, Pustaka Filsafat dan Teologi No. 5. tahun 1991, Mewartakan Dalam
Kebebasan,
Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Rausch, Thomas P. Katolisisme: Teologi Bagi Kaum Awam, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Riyanto, Armada CM, Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta:
-------------- Kanisius, 1995.

--------------, (ed), Agama-Kekerasan: Membongkar Eksklusivisme, Malang: Dioma dan STFT Widya Sasana Malang, 2000.

--------------, (ed), Agama Anti Kekerasan: Membangun Iman Yang Merangkul, Malang: Dioma dan STFT Widya Sasana Malang, 2000.

Rembeth, Victor, Pancasila dan Kekerasan Agama, dalam Opini Kompas, Kompas, 3 Juni 2008.

Sudhiarasa, Ray, Dialog: Siasat Hidup Bersama Dalam Masyarakat Multikultural, (Makalah), Malang, 2008.

[1] Orientasi Baru Pustaka Filsafat dan Teologi, No. 5 tahun 1991, Mewartakan dalam Kebebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hal. 28.
[2] FX. E. Armada Riyanto, CM, Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hal. 25-26. Ungkapan extra ecclesiam nulla salus dapat ditemukan dalam tulisan para Bapa Gereja terutama St. Cyprianus pada abad ke-3 yang nadanya bersifat apologetis. Pandangan ini kemudian menjadi sangat populer dan lebih keras sejak disebarluaskan oleh Flugentius (567-533). Dalam Konsili Florence (1442) menyebut untuk pertama kalinya ungkapan extra ecclesiam nulla salus. Konsili Florence menunjukkan ungkapan ini untuk orang kafir (sesat).
[3] Georg Kirchberger, (ed), Dialog dan Pewartaan, Maumere: LPBAJ, 2002, hal. 75.
[4] Ibid, hal. 72.
[5] Ibid, hal. 74. Bandingkan pula pernyataan yang serupa dalam FX. E. Armada Riyanto, CM, Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hal. 54.
[6] Thomas P. Rausch, Katolisisme: Teologi bagi Kaum Awam, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 361.
[7] FX. E. Armada Riyanto, CM, Op. Cit. hal. 30.
[8] Georg Kirchberger, (ed), Op. Cit. hal. 76. Lihat juga pernyataan yang sama dalam Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, (terj. M. Purwatma, Pr), Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal. 260-266.
[9] Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, (terj. M. Purwatma, Pr), Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal. 261.
[10] Fanatisme merupakan sikap atau keyakinan yang terlalu kuat terhadap agama, politik dan lain sebagainya. Sikap ini memicu persoalan jika diterapkan dalam agama-agama, karena sikap seperti ini hanya berorientasi pada agamanya sendiri sebagai kebenaran satu-satunya. Dengan kata lain, mencintai agamanya sendiri dan mengabaikan yang lain.
[11] Paham yang mengatakan bahwa kebenaran satu-satunya hanya terdapat pada agama.
[12] FX.E. Armada Riyanto, CM, Ibid, hal. 37.
[13] Georg Kirchberger, Ibid, hal. 77.
[14] Harold Howard, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hal. 79.
[15] T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, Jakarta: Obor, 2007, hal. 321. Patut diakui bahwa selama hidupanya, Paus Yohanes Paulus II dikenal sebagai salah satu tokoh yang memberi perhatian pada dialog antarumat beragama, perdamaian dan lain sebagainya.
[16] Redemptoris Missio (RM) merupakan sebuah ensiklik yang diterbitkan setelah dua puluh lima tahun Dekrit tentang kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes (1965), dan lima belas tahun Amanat Apostolik Paus Paulus VI tentang Evangelii Nuntiandi (1975).
[17]Marcel Beding, (terj), Seri Dokumen Gereja: Ensiklik Redemptoris Missio Dari Paus Yohens Paulus II, Ende: Nusa Indah, 1992, hal. 14-15. Lihat pula dalam FX. E. Armada Riyanto, CM, Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hal. 71-75; Juga dalam Georg Kirchberger, (ed), Dialog dan Pewartaan, Maumere: LPBAJ, 2002, hal. 80-84.
[18] T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, Jakarta: Obor, 2007, hal. 322.
[19] Ibid
[20] KBBI, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, hal. 289.
[21]Armada Riyanto, CM, Membongkar Eksklusivisme Hidup Beragama, dalam Armada Riyanto, CM, (ed), Agama-Kekerasan: Membongkar Eksklusivisme, Malang: Dioma dan STFT Widya Sasana Malang, 2000, hal. 16.
[22] Menurut Paus Yohanes Paulus II, sikap “intoleransi” merupakan suatu hambatan yang serius bagi terciptanya perdamaian, terisitmewa intoleransi antarumat beragama yang cenderung melahirkan penindasan kepada kaum minoritas. Sikap seperti ini menyangkal bisikan suara hati untuk mencari kebenaran Tuhan dan berpangkal pda fundamentalisme.
[23] Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 19.
[24]Raymundus Sudhiarsa, Dialog: Siasat Hidup Bersama Dalam Masyarakat. Tulisan merupakan makalah yang dipresentasikan oleh Raymundus Sudhiarsa, SVD di Aula Magna Seminari Tinggi SVD Suryawacana Malang pada tanggal 4 Mei 2008 dalam rangka memperingati 25 Tahun Seminari Tinggi SVD Suryawacana Malang.
[25] Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 21.
[26] Yohanes Wayan Marianta, Menuju Teologi Agama-Agama Liberatif (Studi atas Pemikiran Paul F. Knitter), dalam Aditya Wacana: Jurnal Agama dan Kebudayaan, Vol. II, No. 1, Malang: Pusat Pengkajian Agama dan Kebudayaan, 2003, hal. 31.
[27] Paul F. Knitter, dalam Yohanes Wayan Marianta, Menuju Teologi Agama-Agama Liberatif: Studi Atas Pemikiran Paul F. Kintter, Aditya Wacana (Jurnal Agama dan Kebudayaan), Malang: Pusat Pengkajian Agama dan Kebudayaan, 2003, hal.32.
[28] Ibid
[29] T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, Jakarta: Obor, 2007, hal. 362-363.
[30] Victor Remberth, Pancasila dan Kekerasan Agama, Opini Kompas, 3 Juni 2008, hal. 6.

Tidak ada komentar: