Sabtu, 16 Agustus 2008

RELIGIOSITAS KODRATI (NATURAL RELIGION

Blasius Baene
I. Konteks

Abad ketujuh belas adalah abad pertentangan antara rasionalisme dan empirisme berkenaan dengan sumber pengetahuan.[1] Rasionalisme yang dibangun oleh Rene Descartes (1596-1650) berpendapat bahwasumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah rasio (akal). Akal tidak memerlukan pengalaman. Pengalaman hanya meneguhkan pengtahuan. Sedangkan empirisme yang dibentuk oleh Francis Bacon (1561-1626) berpendapat bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Baik pengalaman batiniah maupun pengalaman lahiriah adalah sumber pengetahuan. Akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang siperoleh pengalaman.

Edward Herbert, Lord of Cherbury (1583-1648) dariInggris berangkat dari pengalaman empiris meramu kesalehan religius dan ketertarikan intelektual akan kenampakan alam menjadi sebentuk doa kepada Allah yang menciptakan-menggerakkan-menyelenggarakan dunia. Titik tolak “mencari” menghantar Edward menghampiri Allah Yang Tak Tidak-Berbatas dan Yang-Indah-Kekal. Apa yang dia temukan adalah khas personal cita rasa miliknya sendiri. Karena itu, Edward berpendapat bahwa religiositas yang lahir dari ajaran doktriner adalah palsu. Keberadaan Allah sendiri adalah sejati. Namun apa yang sejati itu tidak boleh disandarkan keapada instansi atau institusi tertentu yang menentukan apa yang harus dipercayai manusia atau apa tang harus ditinggalkan oleh manusia.

Ramuan gagasan Edward Herebert dan filsafat pencerahan melahirkan Deisme yang memberikan alas konsep religi kodrati (natural religion) pada abad ke-18 di Inggris.[2] Deisme adalah aliran yang mengakui adanya Sang Pencipta alam semesta. Akan tetapi, setelah dunia diciptakan, Sang Pencipta itu menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Allah dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Maksud dari aliran ini adalah menaklukan wahyu Ilahi beserta dengan kesaksian-kesaksiannya, yaitu Kitab Suci, kepada kritik akal serta menjabarkan religiosita menurut pengetahuan yang alamiah, bebas dari segala doktrin gerejani. Hanya akallah satu-satunya sumber pengetahuan dan patokan kebenaran.

David Hume (1711-1776) bertitik tolak dari konsep keunggulan akal yang menjadi media pengolahan pengalaman empiris di atas menghantar kita untuk selalu meragu-ragukan apa pun. Hume membedakan antecedent skepticism dan consequent skepticism.[3] Filsafat Rene Descartes dinilai oleg Hume sebagai antecedent skepticism. Filsafat ini mengajarkan pemahaman kepada Hume bahwa pengalaman meragu-ragukan sebagai proses berpikir adalah dasar keberadaan manusia (cogito ergo sum). Penekanan pada kemungkinan salahnya pengetahuan manusia dalam proses meragu-ragukan itu menolong Hume lepas dari jerat kesalahan, prasangka dan dogmatisme buta.consequent skepticism bergrak dari penemuan bahwa kemampuan manusia (indra dan akal) tidak selalu tanpa salah. Consequent Skepticism berpendapat bahwa pengetahuan sejati adalah sebuah kemustahilan.[4] Manusia harus mengoreksi bukti langsung dari indra dengan memakai akal. Tak seorang punu terikat dan menerima pandangan tertentu karena segala sesuatu mungkin adalah tidak mungkin. Manusia harus membangun teori sendiri dengan mendasarkannya sedekat mungkin dengan pengalaman dan lepas dari belenggu dogmatisme.


II. Religiositas Kodrati

2.1. Edward, Lord of Cherbury (1583-1648)

“Pengalaman adalah suatu pengetahuan yang timbuk bukan pertama-tama dari pikiran melainkan terutama dari pergaulan praktis dengan dunia.[5] Pergaulan tersebut bersifat langsung, intuitif dan afektif. Dalam mengalami sesuatu, orang pertama-tama mesra “kena” atau “disentuh.” Edward merasakan pengalaman itu pada saat ia tak mampu menembus batas keberadaannya. Ia berkata:
“Aku tak mampu mengenali dan memahami betapa besar dan baiklah penyelenggaraan-Mu yang kekal yang telah menjadikanku sebagaimana adaku sekarang, yang menghantarku masuk ke dalam dunia, sebuah ciptaan yang hidup, bebas dan dapat bernalar, bukan sebuah ciptaan tanpa rasa, namun sebaliknya mampu untuk melihat dan memahami karya-Mu yang mengagumkan sedang bekerja sekarang.[6]
Manusia dirinyalah yang dimaksudkan oleh Edward dalam doanya itu. Potensi manusia menembus batas-batas kemungkinan yang mampu dipikirkan oleh akal budi. Akal mempunyai otonomi mutlak di bidang religi. Karena itu, Edward menolak religiositas yang menjadikan pewahyuan ilahi atau ajaran doktriner sebagai dasar. Semua ajaran yang dikatakan oleh otoritas berasal dari pewahyuan harus ditinggalkan, termasuk juga religiositas kristiani.
“Teori-teori berdasarkan iman implisit, yang dipegang teguh bukan hanya di tempat kita, tetapi juga di tempat-tempat jaun lainnya, tidak ada sangkutpautnya dengan religiositas. Hal-hal dalam keprcayaan itu, seperti: nalar manusia harus ditinggalkan agar ada cukup ruang bagi iman, Gereja mempunyai hak untuk menggariskan cara-cara ibadat ilahi yang harus ditepati detail-detailnya, tak seorang pun boleh menyangsikan otoritas suci para imam dan pewarta Sabda Allah... tak dapat dipastikan kesjatan atau kepalsuannya.”[7]

Edward menawarkan pemikiran bahwa pengalaman religius adalah pengalaman rasionalisasi. Dasar pengetahuan di bidang religi adalah beberapa pengertian namun umum yang pasti bagi semua orang dan langsung tampak jelas karena naluri alamiah, yangmendahului segala pengalaman dalam pemikiran akali. Ukuran kebenaran dan kepastiannya adalah persetujuan umum segala manusia karena kesamaan akal manusia. Ada 5 azas yang harus dijadikan sebagai landasan penyusunan religiositas kodrat (natural religion), antara lain:
1. Ada pribadi yang tertinggi di antara Pribadi-pribadi yang ditinggikan (entah dengan nama apa pun mereka disebut). Ia mempunyai delapan dimensi dalam menyatakan kerahiman ilahinya yang universal (kebijaksanaan alam).

2. Sang pribadi Ilahi ini harus diakui karena kemurah-rahiman penyelenggaraan ilahinya yang karenanya manusia tergantung kepada rahmat-Nya (kerahimana khususnya).

3. Inti terpenting praktik religius adalah paduan antara keutamaan (produk dari hati nurani) dan Kesalehan. Keutamaan diramu dengan kesalehan melahirkan pengharapan, dari pengharapan sejati melahirkan iman, dari iman sejati melahirkan kasih, dari kasih sejati melahirkan kegembiraan, dari kegembiraan sejati melahirkan hidup yang terberkati.

4. Manusia karena kodratnya benci akan keburukan mereka. Tiap keburukan dan kejahatan yang nyata dalam hidup mereka harus ditebus dengan silih.

5. Atas segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, ada ganjaran untuk kebaikan atau hukuman untuk keburukan setelah kehidupan ini.

2.2. David Hume (1711-1776)

Hume menawarkan “Teori Pengenalan” yang mengajarkan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu: kesan (impression) yang berasal dari pengalaman langsung baik lahiriah maupun batiniah dan pengertian (idea) yang berasal dari perenungan atau perefleksian kembali dalam kesadaran kesan-kesan yang diterima oleh pengalaman.[8] Idea adalah gambaran samar-samar dari kesan-kesan. Tapi, karena idea adalah tembusan (kopi) dari kesan maka isi kesan dan idea adalah sama. Ketika kesan dan idea menyatu, maka lahrilah “kepercayaan.” Kepercayaan ini tidak lagi salah atau menyesatkan. Tapi, untuk sampai ke kepercayaan ini manusia harus meragu-ragukan semuanya sampai benar-benar yakin bahwa kesan dan idea adalah satu karena keterbatasan indra manusia.

A. Politeisme adalah Religi Awali Manusia

Hume berpendapat bahwa tidak ada bukti yang membuktikan bahwa ada Pribadi Tertinggi di antara Pribadi-pribadi Tinggi dan bahwa Ia menyelenggarakan dunia. Di dalam praktik, orang meengikuti “kepercayaan” yang adalah hasil abstraksi atas yang kurang sempurna saat dihadapkan kepada apa yang sempurna. “Nalar manusia bergerak dari yang inferior ke yang superior dengan mengabstraksikan apa yang kurang sempurna terbentuklah idea akan kesempurnaan, dan secara perlahan-lahan dengan membedakan bagian yang terpenting dari yang tidak penting, idea itu bertumbuh dan termurnikan menjadi yang diilahikan.”[9]
Dalam konteks ini, Hume berpendapat bahwa religiositas asali manusia adalah politeisme. Bentuk-bentuk praktik religius manusia menunjukkan bahwa manusia menemukan banyak elemen tak terlihat yang mempunyai gradasi. Gradasi itu ditentukan oleh seberapa kuat dan menakutkan ancaman dari elemen tak terlihat itu. Itulah sebabnya, Hume percaya bahwa religiositas tidak lahir dari kontemplasi atas alam semesta dan penyelidikan sebab-sebabnya, melainkan lahir dari pengharapan dan ketakutan manusia.[10]

B. Kelahiran Politeisme

Kehadiran banyak Pribadi berkuasa dalam politeisme berasal dari kesenangan manusia melebih-lebihkan dan membanding-bandingkan apa yang kurang sempurna dengan yang lebih sempurna. Padahal, apa yang sempurna adalah akal budi manusia. Karena akal budi tergerogoti khayali ini, maka lahirlah politeisme dan aneka ragam takhyul. Dalam kesadaran khayali ini, dirasakan bahwa tidaklah mungkin hanya ada satu azas saja yang mengatur semesta. Konklusi kesadaran ini adalah bahwa pasti ada banyak elemen yang mengatur alam semesta ini.

2.3. Robert A. Segal

Segal (1994) mengakui Hume telah menyediakan landasan kokoh bagi pemahaman kodrati (a non-supernatural account) atas religi dan melemahkan pengaruh para pengikut aliran Deisme.[11] Segal yaki bahwa Hume berhasil menunjukkan bahwa praktik dan kepercayaan religius manusia lahir dari penggunaan akal budi untuk megolah pengalaman indra manusiawi.[12]

A. Kelahiran Religi

Religiositas lahir tidak di suatu tempat atau pada masa tertentu. Religiositas lahir bersamaan dengan kemanusiaan karena religiositas adalah jawaban manusia atas rasa yang sifatnya universal, yakni: rasa takut. Pengakuan akan adanya rasa takut ini menyebabkan manusia mempunyai objek tetap tempat dia mengolah ketakutan dan pengharapannya. Jadi, adalah salah jika mengatakan bahwa religiositas lahir dari kesadaran akan hadirnya Pribadi Ilahi Tertinggi. “Religi tidak lahir karena perasaan atau kehadiran Pribadi Ilahi. Religi terlahir karena perasaan berhubungan dengan perasaan takut di dalam hidup. Kepercayaan kepada Pribadi Ilahi hanyalah kesimpulan dari perasaan itu. Jadi, hal tersebut lebih merupakan idea bukan kesan.”[13]

B. Dampak dari Religi

Segal memaparkan bahwa Hume menolak baik monoteisme maupun politeisme. Kedua bentuk religiositas itu menggerogoti dan menghancurkan keberadaan kodrati manusia.kodrat manusia yang berlandaskan di atas etikalah yang menunjukkan sifat baik atau jahat secara susila, bukan religi. Suatu tindak susila berlaku jika disetujui atau ditolak oleh perasaan orang-orang yang ada di sekitar pelaku. Suatu tindakan adalah baik jikalau pelakunya merasa bahwa perbuatannya melahirkan keseangan dan persetujuan mereka yang ada di sekitarnya.

Monoteisme tidak memberikan modus vivendi (alasan membiarkan terus hidup) kepada bentuk religiositas lain. Dalam kenyataannya, akibat monoteismelah manusia menjadi kejam kepada sesamanya. Fanatisme lahir dari monoteisme. Di sisi lain, walaupun politeisme membiarkan tiap manusia menemukan bentuk religiositasnya sendiri, politeisme tak mampu memberikan bentuk otentik sejati kepada akal atas pengalaman indrawi. Karena itu, Segal yakin bahwa Hume bukanlah seorang teis. Hume adalah seorang agnostis sebagaimana ia menyatakan sendiri: “Keragu-raguan, ketidakpastian, penundaan keputusan tampak sebagai satu-satunya hasil dari penyuelidikan kita yang paling akurat berkenaan dengan sebuah subjek.”[14]

III. Pencarian Manusia Kristiani Menemukan Dia Yang-Asali-Sejati

Dalam arti kata luas, kebesaran, keindahan serta ketaraturan alam semesta mewahyukan sesuatu tentang asal usulnya, yakni tentang penciptanya. Hal ini dirasakan manusia hampir segala zaman dan lingkungan kebudayaan. Banyak di antara ahli fisika (Plank, Einstein, atau Heisenberg) yakin bahwa hukum-hukum alam memperlihatkan ide-ide atau prinsip yang ada di balik fakta yang diselidiki dengan semakin menemukan dan mengetahui alam, susunan serta hukumnya. Karena gagasan mengenai “prinsip yang ada di balik fakta itu,” banyak di antara ahli fisika itu berpandangan deterministis pengikut aliran Deisme (semua sudah ditentukan dengan pasti).[15] A. Einstein (+ 1955) berkata: pengetahuan ktia tentang yang-tak-dapat-ditembus (oleh akal budi kita), tentang manifestasi rasionalitas yang amat mendalam dan tentang keindahan yang bernyala-nyala, yang dapat didekati akal budi kita hanya dengan rumus-rumus sangat sederhana, pengetahuan dan rasa itulah pokok religiositas sesungguhnya. Dalam arti ini dan hanya di arti ini, aku adalah seorang yang sangat religius.[16]

Para teolog abad ini juga tidak asing dengan sikap agnostis. Beberapa teolog modern berpendapat bahwa kehadiran Allah tidak akan ada artinya jika manusia tidak mengalaminya. Mereka yakin bahw kehadrian Allah itu adalah pengalaman insani. Karena tidak “merasa” dan tidak “menemukan” Allah, maka banyak orang merasa bahwa Allah menyembunyikan diri dalam kegelapana.[17]

Paul Tillich (1886-1974) berpendapat bahwa “ketidakhadiran” Allah disebabkan oleh pemahaman orang bahwa Allah adalah seorang pribadi yang bersemayam di atas dunia dan umat manusia. Jika Allah datang ke dunia ini, Ia datang sebagai seorang pengunjung dari “dunia sana.” Untuk mengubah paham ini, maka Allah harus dihadirkan sebagai “pokok” kepedulian dan keprihatinan tertinggi (ultimate concern) manusia. Keprihatinan manusia atau dasar manusia itulah yang disebut Allah. Karena itu, Allah tak boleh diobjektivasi atau dihadirkan sebagai sebuah entitas. Ia hanya harus ditampilkan sebagai simbol dari situasi universal manusia.[18]

Gagasan Tillich di atas dianggap kurang radikan oleh generasi yang lebih muda. Generasi baru ini melangkah lebih jauh ke arah agonstisisme dalam suatu teologi yang diberi nama “Teologi Radikal.”[19] Titik tolak ini bukan hanya kesadaran akan pentingnya dunia melainkan juga pengakuan bahwa Allah tidak penting lagi. Harus diterima bahwa bagi seorang modern Allah telah mati. Apa yang masih tinggal ialah “manusia-bagi-orang lain,” yaitu Yesus Kristus yang juga hidup dan menderita seperti kita manusia. Karena itu, tema hidup religius dan teologi yang terpenting bagi masa sekarang bukan lagi pengakuan akan Allah, melainkan kepada keterlibatan (engagement) dalam dunia.

Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang. Tulisan ini merupakan makalah/seminar yang disampaikan oleh P. Denny A. Firmanto, Pr dalam mata kuliah Seminar Teologi Sistematis. Tulisan ini kemudian saya dokumentasikan sebagai ruang untuk mengenal dan mamahami berbagai persoalan teologi.

DAFTAR PUSTAKA

H. Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

J.K. Roth, Persoalan-persoalan Filsafat Agama, Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2003.

Syukur N. Diester, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

I. Strenski, Thinking About Religion, A. Reader, London: Blacwell Publishing, 2006.

A. Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2006.

J.H.S. Kent, Christian Theology In the Eighteenth to the Twentieth Centuries. Dalam Jones, H.C. (ed), A History of Christian Doctrine, London: T & T Clark.

T. Huijbers, Mencari Allah: Pengantar ke dalam Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Catata Kaki

[1] Hadiwijono, H, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 18.
[2] Ibid, hal. 49.
[3] Roth, J.K. Persoalan-persoalan Filsafat Agama, Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2003, hal. 195.
[4] Ibid, hal. 197.
[5] Diester Nico Syukur, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hal. 21.
[6] Edwar, The Autobiography of Edward, Lord Herbert of Cherbury. Dalam Strenski I, Thinking About Religion, A. Reader, London: Blacwell Publishing, 2006, hal.1.
[7] Edward, Common Nations Concerning Religion. Dalam Strenski I, Thinking About Religion, A Reader, London: Blacwell Publishing, 2006, hal. 3.
[8] Hadiwijono, H. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 53.
[9] Hume, D. The Natural History of Religion. Dalam Strenski I. Thinking About Religion, A Reader, London: Blacwell Publishing, hal. 9.
[10] Segal, R.A. Hume’s Natural History of Religion and the Beginning of the Social Scientific Study of Religion. Dalam Strenski I, Thinking About Religion, A Reader, London: Blacwell Publishing, 2006, hal. 15.
[11] Ibid, hal. 13.
[12] Ibid, hal. 14.
[13] Ibid.
[14] R.A. Segal, Hume’s Natural History of Religion and the Beginning of the Social Scientific Study of Religion. Dalam Strenski I, Thinking About Religion, A Reader, London: Blacwell Publishing, 2006, hal. 16.
[15] Teori Determinisme ini goyang sejak penemuan Teori Kwantum.
[16] Heuken, A. Ensiklopedi Gereja, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2006, hal. 103.
[17] Bonhoeffer, Tillich dan para Teolog Allah-Mati (teologi radikal) berangkat dari gagasan ini.
[18] Kent, J.H.S. Christian Theology In the Eighteenth to the Twentieth Centuries. Dalam Jones, H.C. (ed), A History of Christian Doctrine, London: T & T Clark, hal. 572.
[19] Huijbers, T. Mencari Allah: Pengantar ke dalam Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal. 279.

Tidak ada komentar: