Sabtu, 02 Agustus 2008

PERAN KAUM AWAM DALAM PELAYANAN GEREJA PASCA KONSILI VATIKAN II

Oleh: Blasius Baene

I. Pendahuluan

Salah satu buah terindah dari Konsili Vatikan II (1962-1965) adalah membangkitkan kesadaran baru tentang peran kaum awam dalam pelayanan Gereja. Kesadaran ini diungkapkan oleh Konsili Vatikan II dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam. Dalam Dekrit tersebut, Konsili Vatikan II mengatakan bahwa “kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap umat Allah dalam Gereja dan di dunia. Sesungguhnya, mereka menjalankan kerasulan dengan kegiatan mereka untuk mewartakan Injil dan demi penyucian sesama, pun untuk meresapi dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil, sehingga dalam tata hidup itu kegiatan mereka merupakan kesaksian akan Kristus dan mengabdi pada keselamatan umat manusia.”[1]

Keadaran Konsili Vatikan II untuk menekankan peran kaum awam dalam pelayanan Gereja, berangkat dari kenyataan bahwa sebelum Konsili Vatikan II, ada pendapat yang mengatakan bahwa tugas perutusan Gereja diserahkan sepenuhnya kepada hierarki. Hanya hierarki yang menjalankan tugas itu secara aktif sedangkan kaum awam bersifat pasif menerima pelayanan para gembala.[2] Lebih lanjut dikatakan bahwa hanya dalam keadaan “darurat” kaum awam bisa diperbantukan kepada hierarki melalui satu amanat khusus, misalnya: “aksi umat Katolik” menurut Paus Pius XII bertugas untuk membantu hierarki dalam tugas untuk mewartakan Injil di tempat di mana klerus tidak diterima, seperti di antara kaum buruh di Perancis.[3]

Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa peranan kaum awam dalam pelayanan Gereja sebelum Konsili Vatikan II, seakan-akan hanya merupakan “pemberian” kaum hierarki dalam situasi tertentu. Dengan kata lain, kaum awam dibutuhkan hanya ketika kaum hierarki membutuhkannya. Namun, sejak Konsili Vatikan II, terjadi suatu pergeseran paradigma bahwa tugas peutusan Gereja tidak hanya dilaksanakan oleh kaum hierarki, tetapi juga kaum awam mempunyai peranan dalam pelayanan. Bagaimana peran kaum awam dalam pelayanan Gereja pasca Konsili Vatikan II, menjadi tema sentral pembahasan saya dalam paper ini.

II. Kaum Awam
2.1. Istilah Kaum Awam

Istilah “kaum awam”[4] berasal dari terminologi latin, yaitu laicus. Dan kata ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu laikós, yang berarti termasuk dalam rakyat, anggota umat. Kata laikós berhubungan dengan laós, yang berarti rakyat, umat. Kata laós telah banyak dipergunakan untuk menunjukkan beberapa arti yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah, misalnya: Pertama: dalam Septuaginta, kata laós digunakan untuk menyebut “bangsa Israel.” Kedua: dalam Perjanjian Baru, istilah ini diartikan sebagai “umat Israel berhadapan dengan bangsa-bangsa.” Tetapi, di tempat lain, kata laós digunakan sebagai sebutan untuk “Jemaat Kristen.”

Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa istilah “kaum awam” tidak serta merta identik dengan umat Allah, karena dari pengertian di atas, tidak ada satu katapun yang menunjukkan kepada kita pengertian “umat Allah.” Tetapi, penggunaan istilah laikós dalam umat Yahudi menjadi jembatan bagi kita untuk masuk dalam terminologi awam dalam jemaat kristiani. Teks-teks Kristen yang pertama kali menggunakan kata laikós adalah surat pertama Klemens yang ditulis sekitar tahun 96. Kemudian, Klemens dari Elexandria menggunakan istilah laikós dalam suatu golongan jemaat kristiani untuk membedakan antara imam, diakon dan awam. Origenes (253/254) juga membandingkan golongan klerus dan awam dengan mengatakan bahwa lebih dari satu orang klerus akan binasa dan lebih dari satu orang awam akan bahagia. Juga Tertullianus dalam memahami awam, memakai kata “ordo” untuk membedakan ordo sacerdotalis dan ordo ecclesiae (kaum awam).[5]

Dari beberapa terminologi di atas, kita melihat bahwa identitas dan gambaran awam dalam jemaat Kristiani telah hidup di dalam dunia selama berabad-abad. Artinya, identitas dan gambaran awam yang kita lihat dan kita alami sekarang ini dalam Gereja telah terbentuk melalui pemikiran para Bapa-bapa Gereja.

2.2. Peran Kaum Awam dalam Gereja Sebelum Konsili Vatikan II

Setelah melihat bagaimana terminologi pemakaian laikós untuk membedakan kaum awam dan kaum klerus, kini penulis melihat bagaimana peran kaum awam dalam pelayanan Gereja sebelum digaungkannya Konsili Vatikan II (1962-1965). Peranan kaum awam dalam pelayanan Gereja sebelum Konsili Vatikan II dapat dikatakan memiliki keterbatasan dalam arti bahwa pelayanan di dalam Gereja semata-mata hanya diletakkan di tangan kaum klerus (kaum tertahbis). Dengan kata lain, antara klerus dan awam terdapat pemisahan dalam hal pelayanan. Hal ini dapat kita lihat pada abad pertengahan di mana perbedaan antara kaum awam dan klerus sangat tampak di dalam pelayanan, di mana pelayanan yang bersifat rohani diserahkan kepada kaum klerus (tertahbis) sedangkan pelayanan yang besifat jasmani diserahkan kepada kaum awam. Bahkan lebih lanjut, Kardinal Humbert da Siva Candida merumuskan pemisahan antara bidang jasmani dan rohani dengan mengatakan: “hendaknya para awam hanya menangani perkara mereka, yaitu hal-hal jasmani, dan hendaknya para klerus hanya mengurus perkara mereka pula, yaitu hal rohani-gerejawi. Para klerus jangan mencampuri hal duniawi, demikian pula kaum awam jangan mencampuri perkara gerejawi.[6]

Pembedaan antara klerus dan kaum awam sebelum Konsili Vatikan II menghantar kita kepada suatu kesimpulan bahwa realitas pelayanan di dalam Gereja sungguh-sungguh dikuasai oleh kaum klerus. Pelayanan kaum klerus di dalam Gereja dianggap sebagai sesuatu yang suci. Akibatnya, kaum awam tidak mendapat tempat dalam pelayanan di dalam Gereja, karena kaum awam dilihat hanya berperan dalam hal-hal yang bersifat jasmani. Dengan kata lain, kaum awam berada dalam posisi ketidakpastian dalam pelayanan Gereja, kendatipun mereka mempunyai keistimewaan sebagai orang Kristiani. Keistimewaan kaum awam yang dimaksud di sini adalah pertama-tama tidak terletak pada kehebatan prestasi manusiawi, melainkan karena kaum awam mengakui kekuasaan Roh Kudus. Kendatipun awam terlahir karena dosa, tetapi berkat baptis mereka diperkenankan mengambil bagian dalam hidup Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Oleh karena kaum awam berpartisipasi dalam hidup Ilahi melalui pencurahan Roh Kudus, mereka menjadi bagian “communio sanctorum” untuk menjadi saksi Kristus dan berani mengakui nama-Nya di tengah umat manusia.[7]

2.3. Peran Kaum Awam dalam Gereja Pasca Konsili Vatikan II

Angin segar yang dibawa oleh Konsili Vatikan II benar-benar menghadirkan suatu perubahan di dalam Gereja semesta. Perubahan yang dihadirkan oleh Konsili Vatikan II mengubah wajah Gereja yang cenderung menutup diri dan tidak mengakui eksistensi agama-agama lain menjadi semakin terbuka dan mengakui keberadaan agama-agama lain itu sebagai agama yang benar. Dengan kata lain, Konsili Vatikan II menghantar Gereja untuk membuka diri dari cara berpikir “egosentris” menuju kepada cara berpikir yang “universal.” Apa yang dikatakan sebagai cara berpikir “universal” adalah merupakan sebuah pengakuan yang betul-betul disadari oleh Konsili Vatikan II untuk melepaskan Gereja dari sikap “egosentrismenya” yang selama ini mengakui bahwa diluar Gereja tidak ada keselamatan (ecclesia nulla salus).

Undangan Konsili Vatikan II untuk merubah wajah Gereja, tidak hanya berorientasi pada kesadaran untuk melepaskan diri dari sikap “egosentrismenya,” tetapi juga bahwa Konsili Vatikan II betul-betul membawa pembaharuan atau perubahan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, teristimewa dalam mengubah peran kaum awam di dalam pelayanan Gereja yang selama ini pelayanan itu hanya dikerjakan oleh kaum tertahbis (imam).

Harus disadari bahwa sebelum Konsili Vatikan II, pelayanan di dalam Gereja merupakan tugas yang hanya dilakukan oleh para imam (klerus). Maka, tidak mengherankan jika sebelum Konsili Vatikan II terdapat perbedaan yang begitu tajam antara klerus dan kaum awam. Namun, angin segar yang dibawa oleh Konsili Vatikan II menghantar Gereja untuk menekankan peran kaum awam dalam pelayanan Gereja. Pelayanan dan tanggung jawab hidup menggereja tidak semata-mata hanya diletakkan kepada kaum klerus (tertahbis), melainkan juga kaum awam memiliki peranan yang sangat penting di dalamnya, di mana mereka ikut ambil bagian dalam perutusan Gereja untuk memelihara iman umat.[8] Lebih lagi, Konsili Vatikan II mengatakan bahwa para awam adalah orang kristiani yang bertugas menjaga tata tertib duniawi di dalam berbagai sektor, misalnya: sektor politik, budaya, seni, perusahaan, perdagangan, pertanian, dan lain sebagainya. Seluruh umat Allah diundang seperti Yesus sendiri untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin dan memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan. Di dalam dunia, kaum awam bagaikan ragi dan jiwa masyarakat manusia yang harus diperbarui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga.[9]

Kesadaran akan peran kaum awam dalam pelayanan Gereja menghantar Konsili Vatikan II untuk mendefiniskan kaum awam. Menurut Konsili Vatikan, kaum awam adalah: “semua orang beriman Kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam, atau status religius yang diakui dalam Gereja (LG 31). Definisi ini tidak memaksudkan perbedaan yang sangat tajam antara kaum klerus (imam) dan kaum awam. Definisi ini dimaksudkan untuk menujukkan peran masing-masing pihak, yaitu kaum klerus menjalankan fungsinya sebagai pemersatu, artinya mempersatukan agar seluruh jemaat menjadi paguyuban umat beriman. Sedangkan kaum awam menjalankan tugas pengutusan Gereja yang sama dengan meresapi seluruh tata hidup kemanusiaan dengan iman Kristiani.[10] Tata hidup yang dimaksud di sini menurut Gaudium et Spes adalah, meliputi: ekonomi, politik, komunikasi sosial dan lain sebagainya. Dalam pengertian ini, kaum awam dilihat sebagai pihak utama yang sangat berperan dengan segala kemampuan dan profesionalismenya.

Melalui Konsili Vatikan II, Gereja menekankan bahwa kaum awam dipanggil untuk berperan serta dalam pengudusan Gereja kendatipun mereka tidak termasuk dalam hierarki Gereja. Panggilan kaum awam untuk menguduskan Gereja dilihat sebagai suatu bentuk kerasulan yang berangkat dari status awam sebagai kalangan yang hidup di tengah-tengah dunia. Artinya, karena kaum awam memiliki kekhasan, yaitu sifat keduniaannya (LG 31), maka mereka dipanggil oleh Allah untuk menunaikan tugasnya sebagai ragi di dalam dunia dengan semangat Kristen yang berkobar-kobar (AA 2). Dengan kata lain, kaum awam bertugas untuk menguduskan dunia, meresapi pelbagai urusan duniawi dengan semangat Kristus supaya semangat dan cara hidup Kristus mengolah seluruh dunia bagaikan ragi, sehingga Kerajaan Allah dapat bersemi di tengah dunia.[11] Dari pernyataan ini kita dihantar pada suatu kesimpulan bahwa Konsili Vatikan II benar-benar menyadari peran serta kaum kaum dalam pelayanan Gereja kendatipun mereka tetap berbeda dengan kaum klerus yang tertahbis. Namun, dalam pelaksanaan tugasnya, mereka sama dengan kaum klerus berkat sakramen permandian. Peran ini semakin disadari oleh Konsili Vatikan II dengan mengatakan bahwa “berdasarkan panggilan khasnya, kaum awam bertugas untuk mencari Kerajaan Allah dengan mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, yakni dalam semua dan tiap jabatan serta kegiatan manusia, dan dalam situasi hidup berkeluarga dan hidup kemasyarakatan yang biasa. Di sana mereka dipanggil agar sambil menjalankan tugas khasnya, dibimbing oleh semangat Injil, mereka menyumbang pengudusan dunia dari dalam laksana ragi. Berkat kesaksian hidupnya, bercahayakan iman, harap dan cinta kasih, mereka memperlihatkan Kristus kepada orang lain. Jadi, tugas mereka secara khusus ialah menerangi dan menata semua ikhwal duniawi yang sangat erat berhubungan dengan mereka, sehingga dapat berkembang sesuai dengan maksud Kristus dan meruapakan pujian bagi pencipta dan penyelamat.”[12] Melalui panggilan kaum awam dalam sifatnya yang khas, kaum awam mengingatkan para imam, kaum rohaniwan dan rohaniwati betapa pentingnya kenyataan duniawi dan fana di dalam rencana penyelamatan Allah.[13]

Dari pemahaman di atas, pertanyaan yang dapat kita ajukan berkaitan dengan peran kaum awam dalam menjalankan tugas pelayanannya adalah bagaimana kaum awam menjalankan tugas perutusan Gereja di dalam dunia dalam sifatnya yang khas? Menurut Konsili Vatikan II, kaum awam menjalankan tugas perutusannya dengan mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi, dan raja. Dengan mengambil bagian di dalam tugas Kristus, kaum awam menjalankan perannya dalam perutusan seluruh umat Allah di dalam Gereja dan di dalam dunia.[14] Melalui jabatan sebagai imam, kaum awam bertindak sebagai pengantara antara Allah dan manusia untuk menyatukan Allah dan manusia, membawa Allah kepada manusia dan manusia kepada Allah. Tindakan keimamatan Kristus yang dijalankan oleh kaum awam menekankan suatu pelayanan murni bahwa pelayanan itu merupakan pelayanan yang sungguh-sungguh diprakarsai oleh Kristus sendiri dalam diri kaum awam. Dengan kata lain, kaum awam dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan jemaat, pertama-tama tidak bertindak atas kekuatannya sendiri, melainkan karena Kristuslah yang pertama-tama bertindak dan berkarya dalam diri mereka. Kristus sendirilah yang mengarahkan kaum awam dalam mengemban tugas dan pelayanannya di tengah-tengah jemaat untuk mewujudkan secara nyata dimensi Kerajaan Allah di dunia.
Dalam fungsi “kenabian,” kaum awam menjadi perantara Allah untuk menyampaikan kabar suka cita Allah kepada dunia. Sebab, nabi adalah orang yang dipenuhi dengan Roh Kudus melalui doa-doa, pergaulan yang intim dengan Allah sendiri, orang yang setia pada pesan Allah, orang yang berani mewartakan Sabda Allah walau mereka diterpa oleh berbagai persoalan ketika mereka menyampaikan Sabda Allah kepada dunia. Selanjutnya, dalam fungsi rajawi, kaum awam menjadi tonggak yang siap sedia untuk mengabdi dan berpegang pada apa yang dimulai oleh Kristus sendiri dalam perutusan-Nya di dunia.[15] Jadi, dalam fungsi rajawi kaum awam benar-benar menghayati panggilannya sebagai seorang pelayan, mengabdi, menaruh perhatian terhadap Gereja dan masyarakat.

2.4. Tugas Kaum Awam

Dalam LG 1 dikatakan bahwa Gereja adalah “sakramen,” artinya tanda dan alat kesatuan mesra dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia. Sebagai tanda dan sarana kesatuan mesra dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia, Gereja menghimpun seluruh umat dari berbagai tempat dan wilayah dan menjadikannya satu sebagai umat Allah yang bersatu hati, seiman dan sepenanggungan dalam membangun Gereja.[16] Dari sini dapat kita simpulkan bahwa dengan demikian Gereja mau tidak mau berada dalam dunia. Gereja yang berada di dunia ini semakin ditegaskan dalam LG 40. Konsili Vatikan II melalui LG 40 mengatakan bahwa Gereja sudah ada di dunia ini, dihimpun dari manusia, yaitu anggota masyarakat dunia, yang dipanggil untuk membentuk di dalam sejarah umat manusia itu sendiri, keluarga putra-putri Allah, yang senantiasa harus diperluas sampai kedatangan Tuhan.[17]

Gagasan Lumen Gentium di atas menghantar kita pada suatu pemahaman bahwa tugas pengembangan Gereja di dunia tidak hanya diletakkan kepada para klerus, tetapi juga diletakkan kepada para awam sebagai umat Allah yang dikuduskan berkat sakramen pembaptisan yang mereka terima. Peran kaum awam dalam membangun tugas pelayanan Gereja di dunia semakin ditegaskan dalam Dekrit tentang kerasulan awam. Di sana dikatakan bahwa “dalam melaksanakan tugas perutusan Gereja kaum awam menunaikan kerasulan mereka baik dalam Gereja maupun di tengah masyarakat, baik di bidang rohani maupun di bidang duniawi (AA 5). Pernyataan Konsili yang mengatakan bahwa kaum awam mengembangkan tugas pelayanan Gereja dalam sifatnya yang khas duniawi, itu berarti bahwa peran kaum awam dalam pelayanan Gereja diwarnai oleh pengalaman konkrit mereka di tengah dunia. Dan justru karena pengalaman konkrit inilah keterlibatan mereka dalam segala urusan gerejani sangat penting bagi Gereja, agar Gereja dapat memahami dan menghayati hakikatnya sendiri.[18]

2.5. Pembinaan Kaum Awam

Setelah melihat bagaimana terminologi kaum awam, dan perannya dalam pelayanan Gereja sebelum dan sesudah Konsili Vatikan II, maka pada bagian ini pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah perlukah pembinaan terhadap kaum awam dalam tugasnya untuk menunaikan perutusan Gereja? Harus diakui bahwa manusia tidak dapat berjalan dengan kekuatannya dan kemampuannya sendiri. Dengan kata lain, dalam menjalankan tugas perutusannya manusia harus didampingi dan diberi pengarahan yang terus menerus. Demikian pula kaum awam dalam mengembangkan tugas perutusannya di dunia harus didampingi dan diberi pengarahan secara terus menerus.

Pembinaan terhadap kaum awam dapat kita temukan dalam Christi Fideles Laici. Di sana dikatakan bahwa “kaum awam beriman harus dibina sesuai dengan persatuan yang timbul dari keberadaan mereka sebagai anggota-anggota Gereja dan warga masyarakat manusia agar mereka dapat menemukan dan menghayati panggilan serta tugas mereka yang sebenarnya” (CFL 59). Dari sini kita melihat bahwa kaum awam bukanlah orang-orang yang berada dalam posisi mengenal atau mengetahui segala sesuatu tanpa mereduksi keahlian mereka dalam bidang-bidang yang mereka tekuni. Sebaliknya, kaum awam adalah orang-orang yang masih merangkak dan belajar terus menerus untuk membangun pengetahuan mereka akan karya perutusan Gereja di tengah dunia. Oleh karena itu, mereka harus diarahkan dan dibina secara terus menerus.

Pertanyaannya adalah dalam bidang-bidang apakah kaum awam perlu mendapat pembinaan dalam karya perutusan Gereja? Konsili Vatikan II melalui Christi Fideles Laici menguraikan beberapa dimensi pembinaan terhadap kaum awam. Beberapa dimensi tersebut dapat kita temukan dalam CFL 60, antara lain: Pertama: Pembinaan rohani. Setiap orang dipanggil supaya bertumbuh terus menerus di dalam persatuan yang mesra dengan Yesus Kristus, sesuai dengan kehendak Bapa, dalam pengabdian mereka kepada orang lain dalam cinta kasih serta keadilan. Lebih lanjut dikatakan bahwa kehidupan dalam persatuan yang mesra dengan Kristus di dalam Gereja ini dipupuk oleh bantuan-bantuan rohani yang tersedia bagi semua umat beriman teristimewa dengan partisipasi yang aktif di dalam liturgi. Kedua: Pembinaan doktrinal. Pembinaan ini tidak hanya dimaksudkan sekadar dalam pengertian yang baik dalam dinamisme iman, tetapi bagaimana kaum awam diberi pemahaman dalam menjawabi iman mereka di tengah dunia yang serba pelik dengan berbagai persoalan iman. Oleh karena itu, perlu ada pendidikan katekese bagi kaum awam agar mereka dapat memberikan alasan akan pengharapan mereka dalam menghadapi situasi dunia yang rumit. Ketiga: Pembinaan terhadap Ajaran Sosila Gereja, artinya agar kaum awam dapat memahami dan mengerti persoalan-persoalan sosial yang kadang-kadang dihadapi oleh Gereja. Keempat: Pembinaan tentang nilai-nilai kemanusiaan yang dimaksudkan untuk kegiatan-kegiatan misioner dan apostolik kaum awam beriman.[19]

III. Penutup

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebelum Konsili Vatikan II (1962-1965), identitas kaum awam mengalami kehilangan jati dirinya. Kehilangan jati diri kaum awam sebelum Konsili Vatikan II dapat kita lihat dari kenyataan bahwa kaum awam seakan-akan tidak memiliki peran yang berarti di dalam Gereja. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan antara Klerus dan kaum awam yang begitu tajam dalam berbagai aspek bidang pelayanan terutama dalam tugas perutusan Gereja. Artinya, sebelum Konsili Vatikan II, tugas perutusan Gereja diserahkan sepenuhnya kepada hierarki atau kaum Klerus. Hanya hierarki yang menjalankan tugas perutusan itu secara aktif, sedangkan kaum awam bersifat pasif menerima tugas perutusan itu, karena kaum awam dianggap berada di tengah-tengah dunia yang penuh dengan kefanaan.

Namun, pembaharuan yang diwujudkan oleh Konsili Vatikan II benar-benar merangsang seluruh aspek kehidupan manusia. Paradigma tentang pelayanan di dalam Gereja mengalami pergeseran yang begitu dahsyat setelah Konsili Vatikan II. Artinya, Konsili Vatikan II melihat bahwa tugas pelayanan di dalam Gereja bukanlah hanya tugas para Klerus yang tertahbis, melainkan juga kaum awam memiliki peranan yang sangat penting dalam tugas perutusan Gereja. Bahkan Konsili Vatikan II melalui Lumen Gentium mengakui kesamaan martabat manusia di hadapan Allah. Konsili mengatakan bahwa “kendatipun di dalam Gereja tidak semua menempuh jalan yang sama, namun semua dipanggil kepada kesucian, dan menerima iman yang sama dalam kebenaran Allah. Lebih lanjut dikatakan bahwa kendatipun ada yang atas kehendak Kristus diangkat menjadi guru, pembagi misteri-misteri dan gembala bagi sesama, namun semua sungguh-sungguh sederajat martabatnya, sederajat pula kegiatan yang umum bagi semua orang beriman dalam membangun tubuh Kristus.[20] Dengan kata lain, Konsili Vatikan II mau menekankan kesetaraan di antara manusia kendatipun dalam kenyataannya manusia berbeda-berbeda dalam statusnya, tetapi dalam pelayanan setiap orang dipanggil pada kekudusan untuk mengembangkan tugas pertusan Gereja.
Blasius Baene adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang


DAFTAR PUSTAKA

Beding, Marcel, (terj), Seri Dokumen Gerejani No. 5, Para Anggota Awam Beriman Kristus, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1989

Budi Kleden, Paul dan Philipus Tule, (ed), Rancang Bersama Awam dan Klerus, Maumere: ----------Ledalero, 2006.

Hardawiryana, R, (terj), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.

Hasto Rosariyanto, F, (ed), Bercermin Pada Wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Krichberger, Georg, Allah Menggugat (Sebuah Dogmatik Kristiani), Maumere: Ledalero,
----------2007.

Pidyarto, Henricus, (ed), 40 Tahun Sesudah Konsili Vatikan II (Bagaimanakah Peran kaum Awam), Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, Vol. 14 No. Seri 13, 2005, Malang: STFT Widya Sasana, 2005.

Tondowidjojo, John, Arah dan Dasar Kerasulan Awam, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Yosef Bria, Benyamin, Peranan Kaum Awam dalam Hidup Menggereja menurut Kitab Hukum Kanonik Tahun 1983, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2002.

[1] R. Hardawiryana, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993, hal. 341.
[2] Georg Kirchberger, Allah Menggugat (Sebuah Dogmatik Kristiani), Maumere: Ledalero, 2007, hal. 618.
[3] Ibid.
[4] Dalam menelusuri pemakaian istilah “kaum awam” dalam Gereja, penulis tidak memuat historisitas pemakain istilah “kaum awam” dari masa ke masa, karena penulis mempunyai keterbatasan terutama berkaitan dengan data-data dan juga pemahaman penulis tentang pemisahan antara klerus dan kaum awam pada abad-abad permulaan kekristenan. Dalam bagian ini, penulis hanya menampilkan secara garis besar bagaimana penggunaan istilah “kaum awam” dalam Gereja untuk membedakannya dari kaum tertahbis.
[5] Paul Budi Kleden dan Philipus Tule (ed), Rancang Bersama (Awam dan Klerus), Maumere: Ledalero, 2008, hal. 22-23.
[6] Ibid, hal. 26.
[7] B.S. Mardiatmadja, SJ, Awam Sekitar Konsili Vatikan II, dalam Henricus Pidyarto (ed), 40 Tahun Setelah Konsili Vatikan II: Bagaimanakah Peran Kaum Awam? Seri Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, Vol. 14 No. Seri 13, Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2005, hal. 95.
[8] Mgr. A.G. Pius Datubara, OFMCap, Keuskupan Agung Medan Menyongsong Milenium III, dalam F. Hasto Rosariyanto, SJ, (ed), Bercermin Pada Wajah-wajah Gereja Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 180. Dikatakan bahwa ketika Jepang masuk di wilayah Keuskupan Agung Medan (1940-an) para imam ditahan di kamp. Situasi ini membuat kaum awam mengambil alih tugas memelihara dan mengembangkan iman umat selama kurang lebih 8 tahun. Bahkan setelah para imam kembali ke paroki masing-masing pada tahun 1959, ternyata hampir di semua tempat umat bertahan di beberapa tempat, khususnya di Nias Selatan umat semakin bertambah.
[9] John Tondowidjojo, Arah dan Dasar Kerasulan Awam, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 6.
[10] Ibid, hal. 37.
[11]Georg Kirchberger, Allah Menggugat (Sebuah Dogmatik Kristiani), Maumere: Ledalero, 2007, hal. 619.
[12] Ibid, hal. 620.
[13] Marcel Beding, Seri Dokumen Gerejani No. 5, Para Anggota Awam Umat Beriman Kristus (Imbauan Apostolik Pasca Sinode “Christi Fideles Laici”), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1989, hal. 131.
[14] John Tondowidjojo, Op. Cit. hal. 38-40.
[15] Dalam hal ini, penulis tidak mengecualikan kesipasediaan kaum klerus dalam tugas pelayanannya sebagai gembala umat. Yang ingin penulis tekankan di sini adalah sikap kesiapsediaan dalam pelayanan di dalam Gereja maupun di tempat-tempat lain, tidak hanya dilakukan oleh para klerus (kaum tertahbis), tetapi juga bahwa kaum awam memiliki sikap siap sedia seperti para klerus. Hal ini dapat kita lihat misalnya di paroki-paroki di mana kaum awam sungguh-sungguh terlibat secara penuh dalam pelayanan Gereja, seperti dalam bidang-bidang katekese umat, pelayanan orang sakit, berpartisipasi dalam mengembangkan dan membangun paroki, dan lain sebagainya.
[16] Gagasan umat Allah yang sehati, sejiwa, dan sepenanggungan dapat kita lihat dalam cara hidup jemaat perdana yang dikisahkan dalam Kis 4:32-37. Di sana dikatkan bahwa jemaat perdana berdoa bersama, sehati, sejiwa dan membagi-bagikan harta milik mereka kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan mereka. Apa yang mereka miliki tidak dimiliki secara pribadi melainkan kepunyaan bersama.
[17] John Tondowidjojo, Op. Cit. hal. 38.
[18] Paul Budi Kleden dan Philipus Tule (ed), Op. Cit. hal. 49.
[19] Seluruh uraian mengenai pemibinaan terhadap kaum awam penulis kutip secara langsung dari CFL 60.
[20] LG 32

Tidak ada komentar: